Home » Arkeolog Tolak Pemasangan Chatra di Candi Borobudur, Ini Makna Chatra Menurut Sejarahnya

Arkeolog Tolak Pemasangan Chatra di Candi Borobudur, Ini Makna Chatra Menurut Sejarahnya

by Junita Ariani
2 minutes read
Candi Borobudur

ESENSI.TV - JAKARTA

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan pemasangan Chatra (payung bertingkat tiga) di Candi Borobudur.

Usulan ini untuk mengoptimalkan Candi Borobudur sebagai bagian dari lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP). Dan, dibahas bersama dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan lima DPSP di hotel Plataran Borobudur, 21 Juli 2023.

Namun, usulan ini ditolak para Arkeolog. Para Arkeolog menganggap pemasangan Chatra tidak memenuhi kriteria rekonstruksi arkeologi. Karena persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru. Chatra itu pun akhirnya dilepas kembali.

Chatra Candi Borobudur ditemukan saat proses pemugaran yang dipimpin Van Erp tahun 1907-1911. Chatra diduga pernah terpasang megah di puncak stupa utama Candi Borobudur.

Dirjen Bimas Buddha, Kemenag, Supriyadi mengatakan, sebagai bangunan bersejarah Candi Borobudur tidak hanya dimaknai dari sisi disiplin arkeologi semata.

Tetapi akan lebih sempurna jika candi Borobudur sebagai situs peninggalan keagamaan juga dimaknai dari disiplin ilmu keagamaan.

“Yakni filosofi agama (Buddha) yang menjadi fondasi pada masa pembangunan Candi Borobudur,” terang Supriyadi di Jakarta, Sabtu (29/7/2023).

Kepala Sangha Sangha Theravadha Indonesia, Bante Sri Pannyavaro juga setuju dengan pemasangan Chatra di puncak stupa utama Candi Borobudur. Menurutnya, pemasangan itu merupakan penyempurnaan akan keagungan Candi Borobudur.

juga Hal senada disampaikan Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia, Biksu Bhadra Ruci. Tokoh agama Buddha ini mengatakan, Candi Borobudur sebagai sebuah mandala tak akan terpisahkan dari elemen chatra atau payung mulia.

Dari aspek tantra, chatra akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi buddhis. Dan, dalam praktik meditasi mandala tantra maka ornamen chatra pun selalu hadir dalam visualisasi.

Dan keberadaannya tidak sekedar sebuah hiasan belaka namun mengandung makna dan fungsi spiritualitas tertentu.

“Karena kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya,” maka ketiadaan chatra ibarat tubuh tak berkepala,” terangnya.

Makna Chatra (Payung) pada Candi Borobudur

Menurut Supriyadi, Agama Buddha memandang Chatra atau payung dalam perspektif filosofi spiritualitas yang sangat mendalam. Di dalam Kitab Lalitawistara Sutra dapat ditemukan pengunaan kata payung berkali-kali.

Baca Juga  Tiket Masuk Candi Borobudur Rp500.000 per Turis Asing Segera Diresmikan

Kitab Lalitawistara ini juga terukir dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur. Sutra ini, menceritakan riwayat Buddha mulai dari sebelum lahir hingga mencapai Penerangan Sempurna. Dan, memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya.

Dalam Sutra Lalitawsitara itu pula digambarkan kualitas-kualitas Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya. Bahwa, “Buddha memiliki kualitas layaknya seorang anggota keluarga kerajaan. Karena Buddha adalah sang pembawa payung permata.”

Penggunaan kata Payung, kata Supriyadi, juga dapat ditemukan dalam Kitab Gandawyuha Sutra. Sutra ini mengisahkan Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru. Untuk mengejar pencapaian Pencerahan Sempurna.

Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Gambaran payung tersebut terukir dalam 332 keping relief di Candi Borobudur.

Selain tertuang dalam Kitab Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra, kata Chatra (payung) juga ditemukan dalam kisah-kisah Jataka, Awadana dan Karmawibhangga Sutra.

Kisah-kisah Jataka dan Awadana terukir dalam 720 keping relief di Candi Borobudur. Payung tersebut tergambar di mana para brahmin dilindungi oleh payung di atas kepalanya.

Selanjutnya, di dalam Karmawibhangga Sutra menghiasi 160 keping relief di kaki Candi Borobudur. Di mana diajarkan bahwa salah satu cara menghimpun kebajikan adalah dengan mempersembahkan payung kepada objek-objek suci.

Melalui persembahan payung akan membawa hasil dapat terlahir sebagai orang yang berwibawa, berlimpah kekayaan. Bisa terus bersama-sama dengan para Buddha dan Bodhisatwa, bahkan hingga bisa membawa pada pencapaian pembebasan.

“Karena itulah menjadi sangat penting dalam memaknai Chatra tidak hanya dari disiplin Arkeologi semata. Namun juga dalam perspektif spiritualitas agama Buddha. Chatra atau payung memiliki makna filosofi sebagai objek persembahan surgawi dan sebagai perlindungan,” tegas Supriyadi. *

#beritaviral
#beritaterkini

Email : junitaariani@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life