Home » Banding di WTO Masih Mandek, Jumlah Smelter Terus Bertambah

Banding di WTO Masih Mandek, Jumlah Smelter Terus Bertambah

by Erna Sari Ulina Girsang
3 minutes read
Komisi VI DPR Optimistis Smelter Freeport Gresik Selesai Dibangun 2023 (Ilustrasi)/Ist

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Indonesia maju terus melaksanakan program hilirisasi, terutama membangun smelter, untuk menciptakan ekosistem industri pertambangan di dalam negeri.

Caranya, Pemerintah mendorong para perusahaan tambang, baik BUMN, perusahaan swasta dalam negeri maupun asing, untuk segera memiliki smelter atau pabrik pemurnian dan pengolahan mineral.

Dengan kata lain, smelter menjadi keharusan karena program hilirisasi komoditas pertambangan bukan lagi pada tahap komitmen, tetapi sudah harus dilaksanakan.

Sehingga, pabrik pemurnian mineral ini diharapkan dapat menampung dan mengolah semua bijih nikel yang sudah dilarang dijual ke luar negeri sejak 1 Januari 2020.

Selain itu, Indonesia juga membutuhkan tambahan pabrik untuk mengolah bauksi yang juga akan dihentikan ekspornya mulai Juni 2023 ini.

Gugatan Banding Masih Digantung

Hilirisasi tambang semakin gencar dilakukan, di tengah gugatan banding Pemerintah kepada keputusan WTO untuk kebijakan melarang ekspor bijih nikel masih menggantung.

Soalnya, pejabat di Badan Banding (Appellate Body) di WTO hingga saat ini masih kosong, sehingga gugatan banding Indonesia belum di proses hingga batas waktu yang belum diketahui.

“Mengingat masih kurangnya kesepakatan di antara anggota WTO mengenai pengisian kekosongan Badan Banding, tidak ada Divisi Badan Banding yang tersedia saat ini untuk menangani banding tersebut,” tulis Dispute Settlement Body WTO, Rabu (22/2/2023).

Di tengah senyapnya respons WTO, di dalam negeri, program hilirisasi tampak disambut antusias oleh perusahaan pertambangan.

Buktinya, mereka sudah merealisasikan komitmennya untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan bahan baku mineral di dalam negeri.

Lihat saja, PT Freeport Indonesia yang sempat maju mundur membangun smelter sejak tahun 2013, saat ini juga sedang mempercepat penyelesaian pabriknya.

Bahkan, Freeport Indonesia sedang merampungkan pabrik pemurnian dan pengolahan konsentrat tembaga di Kabupaten Gresik di Provinsi Jawa Timur.

Tentu saja langkah Freeport ini mendapatkan sambutan positif dari Pemerintah sebagai pemilik mayoritas saham.

Pemerintah langsung memberikan target agar smelter dapat rampung tahun ini dan mulai dioperasikan tahun 2024.

“Pemerintah mengapresiasi kepada PTFI karena progress sejak di-groundbreaking oleh Bapak Presiden ini sudah mencapai 51,7%,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat meninjau smelter bulan ini.

Kesadaran Investor Bangun Smelter

Sejalan dengan kesadaran investor membangun smelter di dalam negeri, data Kementerian Perindustrian menunjukkan, saat ini Indonesia telah memiliki 91 unit smelter.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan dari jumlah itu, sebanyak 48 smelter sudah beroperasi dan memurnikan bijih nikel.

“Berdasarkan data Kementerian Perindustrian per 1 Februari 2023 terdapat 91 smelter di Indonesia. Rincian 48 sudah beroperasi dan lainnya tahap feasibility study atau konstruksi,” jelasnya.

Baca Juga  Apa Visi ke Depan? Pertahanan Negara, Kedaulatan Bangsa

Data ini disampaikan Agus Gumiwang dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VII DPR RI, Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Dari semua smelter yang telah beroperasi, pabrik pengolahan mineral terbanyak dibangun di Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 25.

Selanjutnya, di Maluku sebanyak 22 smelter, Sulawesi Utara 12 smelter dan Kalimantan Barat 10 sebanyak smelter. Sisanya, sebanyak 34 smelter tersebar pada sejumlah provinsi di seluruh Indonesia

Padahal, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun 2021, Indonesia baru memiliki 21 fasilitas pemurnian mineral.

Data menunjukkan jumlah smelter bertambah terus setiap tahun. Tahun 2015 yang mencapai 10 smelter dan tahun 2017 meningkat menjadi 14 smelter.

Pabrik pemurnian dan pengolahan mineral yang dibutuhkan adalah berbasis bijih tembaga, berbasis biji besi, pasir besi, industri nikel untuk bahan baku baterai, industri berbasis bauksit dan industri berbasis monosit.

Roadmap Investasi Strategis Hilirisasi

Sementara itu, untuk memastikan progam hilirisasi berjalan terarah dengan terintegrasi, BKPM telah merampungkan peta jalan (roadmap) investasi strategis hilirisasi.

Prototipe hilirisasi nikel secara teknis akan menjadi referensi pada sektor lainnya. Dengan hilirisasi tersebut, Indonesia akan betul-betul fokus pada peningkatan nilai tambah.

“Peta jalan tersebut telah selesai disusun dengan total investasi hingga USD545,3 miliar sampai tahun 2040,” dalam siaran persnya Kepala BKPM/Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, belum lama ini.

Secara terpisah, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, mengatakan kebijakan Pemerintah membangun ekosistem hirilisasi komoditas tambang perlu direspons cepat oleh jajaran Menteri teknis.’

Konkritnya, jajaran Menteri harus dapat menciptakan iklim investasi kondusif. Contohnya, Menteri Perindustrian menerbitkan regulasi yang memudahkan hilirisasi.

Kemudian, Mendag memastikan tidak ada ekspor mineral mentah. Menteri Luar Negeri melakukan diplomasi politik di luar negeri, termasuk WTO atas kebijakan hilirisasi di dalam negeri.

“Menteri Keuangan dengan isentif pajaknya hingga Kepala BKPM harus memastikan penyerapan tenaga kerja,” jelasnya, kepada esensi.tv, belum lama ini.

Soal tenaga kerja, Ekonomi Senior INDEF Aviliani dalam Seminar HUT ke-33 lembaga bantuan hukum Dentons HPPRP, Senin (20/2/2023), mengatakan BKPM harus memastikan investasi baru menyerap tenaga kerja.

Dia mengatakan dari sejumlah informasi diketahui ada smelter yang dibangun dengan investor asal China, tetapi tenaga kerja juga banyak didatangkan dari China, sehingga tidak signifikan menambah lapangan kerja bagi angkatan kerja di Indonesia.*

Editor: Erna Sari Ulina Girsang

#beritaviral
#beritaterkini

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life