Sejumlah ekonom mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo untuk melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023, meskipun larangan bijih nikel yang sudah berlaku sebelumnya, telah mendapatkan gugatan di World Trade Organization (WTO).
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Madam Fahmy Radhi mengatakan tujuan Pemerintah melarang ekspor bahan baku mineral adalah untuk meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tujuan ini juga telah diamanatkan Undang Undang Dasar 1945 pasar 33, yaitu mengoptimalkan hasil kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sehingga meski mendapatkan perlawanan dari negara lain, seharusnya memang Pemerintah taat kepada Undang Undang Dasar.
“Presiden Joko Widodo (Jokowi) rupanya pantang mundur, malah melanjutkan larangan ekspor pada bijih bauksit, setelah bijih nikel di gugat di WTO. Maka perlu maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara,” jelas Fahmy Radhi, Sabtu (24/12/2022).
Padahal, jelasnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebenarnya sudah ada UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara yang mengamanatkan agar Pemerintah melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa dihilirisasi di dalam negeri paling lambat pada 2014.
Namun, jelasnya, Pemerintahan Presiden SBY mengudur berlakunya larangan ekspor tersebut, setelah mendapatkan penolakan dari perusahaan tambang, seperti Freeport yang disertai acaman diadukan ke WTO. Dia mengapresiasi keberanian Jokowi melarang ekspor bijih nikel dan bauksit.
“Jangka pendek, larangan ekspor bauksit itu akan menurunkan pendapatan ekspor hingga mencapai sebesar Rp 21 triliun per tahun,” paparnya.
Sementara itu, untuk jangka panjang, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauiksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp62 triliun per tahun dengan adanya nilai tambah dari kegiatan ekonomi yang dihasilkan dari hulu ke hilir.
Lebih jauh, dia mengakui memang tidak mudah untuk memperoleh tambahan pendapatan sebesar itu melalui larangan ekspor bauksit karena Pemeritah masih akan menghadapi berbagai tantangan dan penolakan, seperti kapasitas smelter masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil bijih bauksit.
Namun, larangan ekspor bauksit akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh kosorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter.
Untuk itu, Fahmy menganjurkan Pemerintah memberikan fiscal incentive berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter.
Sedangkan, penentangan dari WTO harus dilawan meskipun ujung-ujungnya akan kalah. Namun, proses persidangan gugatan WTO sampai keputusan final butuh waktu sekitar 4 tahun. Selama 4 tahun larangan ekspor bauksit harus tetap dilakukan hingga menghasilkan ecosystem industry bauksit dari biji bauksit dan produk hilirisasi hingga produk turunan.
Adapun produk turunan bauksit, jelasnya, dalam bentuk alumunia sebagai bahan baku industri mesin dan semiconductor. Produk turunan itu akan memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit.*
Editor: Erna Sari Ulina Girsang
ernasariulinagirsang@esensi.tv
PENELITI Pusat Studi Energi (PSE) UGM Yogyakarta Dr. Rachmawan Budiarto, mengatakan, teknologi desalinasi air dengan…
Telkomsel, singkatan dari Telekomunikasi Selular, didirikan pada 26 Mei 1995. Perusahaan ini merupakan hasil joint…
BNPB merencanakan melakukan peledakan batuan material atau demolish Gunung Marapi. Berdasarkan keadaan pasca-bencana banjir lahar…
HUJAN dengan intensitas tinggi serta durasi yang cukup lama menyebabkan banjir melanda sebagian wilayah Provinsi…
Kebersihan kamar sangat penting dalam menjaga kesehatan karena dapat mengurangi risiko penyakit. Kamar yang bersih…
Final FA Cup Liga Inggris tahun ini akan mempertemukan dua raksasa Manchester, yaitu Manchester United…