Home » Humor Berfungsi Lebih Dari Sekadar Candaan

Humor Berfungsi Lebih Dari Sekadar Candaan

by Addinda Zen
4 minutes read
Ilustrasi Tertawa

ESENSI.TV - JAKARTA

Manusia sejatinya ingin selalu mencari kebahagiaan, sekecil apapun. Humor berfungsi untuk menciptakan kebahagiaan. Tidak ada budaya yang asing dengan humor dan hampir semua orang bisa menerima lelucon.

Humor, lawak, lelucon, canda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merujuk pada makna yang mirip yaitu sebagai sesuatu yang lucu; keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan.

Joseph Polimeni, seorang professor psikiatri di University of Manitoba menjelaskan kerumitan terkait bagaimana semua orang memiliki naluri untuk tertawa, tetapi dapat berbeda ketika menerima arti dari kata, frasa, dan lelucon itu sendiri. Ia mengatakan hal ini sama dengan kemampuan untuk memahami bahasa, manusia juga memiliki refleks untuk memahami humor sehari-hari.

Terlepas dari itu, ada beberapa orang yang memiliki keahlian lebih untuk membuat orang lain tertawa. Orang yang lucu akan diidolakan di budaya pop. Orang lucu cenderung memiliki tingkat kecerdasan dan kreativitas kognitif serta emosional yang lebih tinggi.

Cara kerja humor disebut masih misteri dan bersifat universal. Humor dapat ditemukan di semua bentuk media, seperti film, televisi, meme, atau Tiktok sekalipun. Komedi populer pun berhasil menghasilkan banyak uang.

Mencari kebahagiaan melalui humor juga memberikan pengaruh tentang bagaimana memilih orang yang akan menemani kita dalam waktu lama. Banyak yang lebih memilih menghabiskan waktu dengan orang yang lucu.

Survey singles in America tahun 2022 dari layanan kencan daring Match menunjukkan 92 persen lajang mencari pasangan yang membuat mereka tertawa.

Beda Zaman, Beda Humor

Saat ini berbeda dengan humor zaman dahulu yang menjadikan bermain sebagai humor. Hewan seperti anjing, berang-berang, tikus, monyet, kuda hingga simpanse yang bermain dengan berpura-pura berkelahi, sering berhasil membuat orang-orang tertawa.

Perkembangan humor kemudian tidak hanya sebatas pada konteks candaan saja, tetapi juga bagaimana humor itu berfungsi serta diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Situasi yang aman disertai emosi positif dapat ditandai dengan kehadiran tawa dan hiburan. Hal ini menunjukkan humor dapat berguna untuk ‘memoles’ percakapan yang canggung. Sederhananya, ketika dihadapkan pada situasi yang sulit atau kurang nyaman, humor dapat diselipkan untuk memperbaiki hal itu. Contoh, ketika teman tidak cukup membantu dalam pekerjaan kelompok, kita dapat melemparkan pertanyaan “ada yang bisa saya kerjakan lagi, agar kamu bisa terus bersantai?” secara sarkas dan dengan senyuman.

Joseph Polimeni kembali menambahkan, humor dan candaan bermanfaat untuk mengatasi konflik serta kerja sama sosial. Memiliki orang-orang sekitar yang mengerti humor akan memberikan manfaat sosial yang mendalam. Seringkali status seseorang meningkat ketika berhasil membuat candaan, sekaligus menurunkan status yang dijadikan bahan candaan. Namun, semua yang terlibat dalam candaan akan merasakan persahabatan yang besar.

Pembedahan kecil dari lelucon dianggap lucu atau konyol bagi sebagian orang. Kenyataannya, terdapat bidang penelitian yang bertujuan untuk menganalisis dan mengukur humor/lelucon serta bagaimana menggunakannya. Para intelektual berupaya mengungkap sesuatu yang penting untuk hubungan dan kesejahteraan tetapi tidak berwujud ini. Walaupun, sesuatu yang lucu selalu berkembang dan berubah. Untuk memahami cara kerja humor yaitu dengan mengukur masyarakat, budaya, dan psikologi kita. Alasannya, karena humor melekat di mana-mana dan menyesuaikan lingkungannya.

Alasan Humor Sebagai Hal Yang Menghibur

Filsuf dan akademisi humor menganut tiga aliran pemikiran ketika menjelaskan mengenai alasan manusia menemukan humor sebagai hal yang menghibur. Terdapat teori superioritas, teori kelegaan, dan teori ketidaksesuaian.

Teori superioritas merupakan yang tertua. Pada teori ini dianggap bahwa hal lucu yaitu ketika menganggap orang lebih rendah daripada kita (merasa superior) atau merasa rendah diri. Humor yang termasuk dalam teori ini adalah jenis humor mengejek dan mencela diri sendiri.

Teori kelegaan, yaitu teori yang menjelaskan bahwa tindakan tertawa melepaskan energi atau ketegangan saraf yang terpendam, seperti menertawakan topik seksual.

Teori ketidaksesuaian. Filsuf James Beattie, Immanuel Kant, Arthur Schopenhauer, Soren Kierkegaard, dan lainnya menyampaikan dalam teori ini bahwa manusia menemukan hiburan pada hal-hal yang bertentangan dengan harapannya. Kontradiksi antara proses dan puncaknya (set up and punchline). Hal ini mudah ditemui pada komika atau standup comedy. Komika akan menyusun cerita sedemikian rupa seakan memberi harapan mengenai akhir yang bagus. Namun, mematahkan semuanya di akhir cerita.

Baca Juga  RoboCop: Remake Film Klasik Favorit Lawas

Meski begitu, konteks dalam candaan tetap penting dan harus digunakan dengan tepat. Tidak semua genre humor dapat diterima. Salah satunya yaitu gore, aliran humor yang membawa narasi mengenai luka dan hal-hal mengerikan lainnya. Ada sebagian orang yang menikmati genre ini dan tertawa saat mendengarnya. Namun, tidak semua.

Teori lainnya yang menjelaskan bagaimana humor menjadi lucu yaitu teori dari ahli bahasa, Thomas Veatch. Dalam teori ini dijelaskan bahwa humor terjadi ketika seseorang menganggap suatu situasi adalah pelanggaran dari prinsip moral subjektif sekaligus menyadari bahwa itu merupakan situasi yang normal.

Teori ini diperjelas dengan memaparkan sebuah contoh. Terdapat teka-teki yang berbunyi “Mengapa monyet itu jatuh dari pohon? Karena sudah mati.” Ini sejalan dengan teori Veatch. Situasi ‘monyet yang jatuh’ adalah pelanggaran dari prinsip moral subjektif, di mana seharusnya monyet pandai bergelantungan di pohon. Selanjutnya, situasi ‘sudah mati’ di sini dianggap normal karena makhluk mati akan jatuh dari pohon akibat gravitasi.

Fungsi Sosial Humor

Penelitian menunjukkan bahwa fungsi sosial humor sangat besar. Tertawa bersama orang lain dapat meningkatkan kerja sama dan kekompakan dalam kelompok. Ketawa yang tulus dikenal juga sebagai tawa Duchenne. Sebutan ini diciptakan oleh Ilmuwan Prancis Guillaume Duchenne pada tahun 1862 setelah melakukan eksperimen yang mengidentifikasi otot-otot wajah dalam senyum dan ketawa tulus. Ketawa yang tulus dapat meningkatkan suasana hati dan ikatan sosial. Kerutan yang terbentuk di wajah ketika merespon sesuatu yang sangat lucu tidak dapat dipalsukan.

Rod Martin, seorang pensiunan profesor psikologis klinis di University of Western Ontario menulis buku tentang psikologi humor berjudul “The Psycholofy of Humor”. Sepanjang tahun 1980-an hingga 2016, Martin mempelajari aspek humor seperti efek baik humor pada kesehatan fisik dan stres. Pada tahun 2003, Martin dan seorang mahasiswa pascasarjana mengembangkan Kuisioner Gaya Humor untuk memperhitungkan perbedaan individu dalam selera humor. Hasilnya, sebagian menyukai humor yang mengejek atau meremehkan. Sebagian lainnya menyukai humor yang berkaitan dengan keanehan duniawi.

Berbagai teori di atas memberikan kita pandangan mengenai berbagai hal yang dapat menimbulkan humor. Namun, bukan tentang apa yang dapat diterima secara sosial.

Humor Rasis dan Seksis

Sheila Kennison, profesor psikologi di Oklahoma State University mengatakan mungkin kita masih menertawakan apa yang seharusnya tidak boleh karena belum mengikuti norma sosial. Ketika norma sosial tidak dipatuhi, saat itulah humor/candaan jadi menyinggung. Humor rasis dan seksis menjadi salah satu yang perlu penyesuaian ketika akan dibawakan.

Kennison kemudian mengambil contoh yaitu Dave Chappelle, komedian yang terkenal serta difitnah karena materi humor regresif miliknya. Kennison berpikir ia adalah komedian yang cerdas. Dave sengaja ingin orang berpikir dengan cara yang tidak nyaman, tanpa takut kehilangan orang. Namun, orang yang menyukai humor miliknya, justru akan merasa diizinkan untuk meniru. Lebih lanjut lagi, akan semakin banyak orang yang nyaman mengungkapkan humor-humor ‘berbahaya’ di forum lain.

Seperti di Indonesia, saat Coki dan Tretan atau dikenal juga dengan MLI (Majelis Lucu Indonesia), berulang kali mendapat ancaman dari golongan tertentu sebagai buntut dari lelucon yang mereka sampaikan di muka umum. Lain lagi ketika salah satu komedian melontarkan lelucon spontan di acara televisi, justru memberikan ketersinggungan pada yang dikaitkan. Ini menunjukkan semakin banyak yang mendengar lelucon kita, akan semakin banyak arti yang ditimbulkan, tergantung siapa yang mendengarnya.

Pada akhirnya humor akan menemukan sasarannya sendiri. Orang-orang akan mencari mana yang sekiranya bisa dijadikan hiburan tanpa takut merasa tidak nyaman ketika menertawakannya.

Humor yang bisa ditertawakan bersama orang-orang terdekat adalah humor terbaik.

Dr. Sri Handiman (Pengamat Sosial Masyarakat dari Universitas Gadjah Mada)

Editor: Addinda Zen

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life