Home » Indonesia Ikut Bersiap Hadapi Risiko Konflik Laut China Selatan

Indonesia Ikut Bersiap Hadapi Risiko Konflik Laut China Selatan

by Erna Sari Ulina Girsang
5 minutes read
Kapal selam dok. PAL Indonesia

ESENSI.TV - JAKARTA

“Indonesia sangat berkepentingan dengan Laut China Selatan yang telah menjadi sebuah konflik geopolitik sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya di antara negara-negara anggota Asean yang dilintasi perairan itu, tetapi juga kepentingan negara lain, seperti Amerika Serikat”.

Pemerintah melalui SKK Migas baru saja menyetujui rencana pengembangan lapangan gas lepas pantai (offshore) di Laut China Selatan, yaitu Lapangan Tuna. Nilai investasi diestimasi sekitar US$3,07 miliar atau sekitar Rp47 triliun

Lapangan Tuna dikelola oleh Harbour Energy plc, perusahaan migas berbasis di Edinburgh, Skotlandia. Lokasi pertambangan berada di perairan Indonesia dan Vietnam dan ditargetkan mencapai puncak produksi 115 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2027.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto, dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (2/1/2023), mengatakan gas alam dari lapangan akan diekspor ke Vietnam mulai 2026.

Sebagai negara maritim, Indonesia terus berupaya mengoptimalkan pengelolaan sumber daya perairan Indonesia. Selain manfaat ekonomi, pengembangan proyek migas di Laut China Selatan sekaligus memperkuat hak maritim Indonesia.

“Lapangan Tuna berada di wilayah perbatasan salah satu hot spot geopolitik dunia, sehingga Angkatan Laut Indonesia juga akan ikut mengamankan proyek hulu migas. Secara ekonomi dan politik ini menjadi penegasan kedaulatan Indonesia,” jelasnya.

Laut China Selatan menjadi sebuah konflik geopolitik yang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya diantara negara-negara yang dilintasi perairan itu, seperti Indonesia, tetapi juga kepentingan negara lain.

Senada dengan SKK Migas, Laksamana Yudo Margono, Panglima Tentara Nasional Indonesia, seusai dilantik oleh Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Senin (19/12/2022), juga memberikan pernyataannya soal konflik di Laut China Selatan (LCS).

Panglima berencana membentuk Pasukan Pengamaman (PAM) perbatasan khusus di Wilayah Natuna dan menggelar operasi khusus di wilayah itu dengan menggandeng TNI Angkatan Udara.

Seperti diketahui, hingga saat ini wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna telah dimasuki China dengan klaim 9 Garis Putus-Putus. Padahal, tahun 2016, untuk kasus yang sama, Filipina telah memenangkan gugatannya di Permanent Court of Arbitration di Den Haag.

Pengadilan memutuskan bahwa sembilan garis putus-putus yang dinyatakan China tidak memiliki dasar hukum di bawah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Gejolak konflik LCS juga menjadi sorotan DPR RI. Anggota DPR Komisi XI Kamrussamad, bahkan telah meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengantisipasi dampak konflik di Laut China Selatan saat penyusunan APBN 2023 pada Agustus tahun lalu.

Anggota Legislatif menilai tensi Beijing dan Taipei bisa berubah menjadi sumber konflik militer di Laut China Selatan menurut banyak pengamat, setelah kedatangan Ketua DPR AS Nancy Pelosi di Taipei.

Dia memperkirakan dampak konflik LCS bisa saja terjadi seperti Perang Ukraina dan Rusia yang tidak diantisipasi dalam APBN sebelumnya. Kemungkinan terburuk, menurutnya, perang dapat saja terjadi.

Asean Melawan China

Persaingan geopolitik di LCS antara China dan negara-negara anggota Asean semakin mencuat. Masing-masing negara tampak memperkuat armada militernya, terutama kapal selam, meskipun China dan Amerika Serikat sudah unggul terlebih dahulu.

Angkatan Laut Singapura telah meluncurkan dua kapal selam terbaru buatan Jerman pada Selasa (13/12/2022). Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menegaskan sebagai negara maritim, Angkatan Lautnya perlu memastikan keamanan laut.

Dalam artikel di South China Morning Post (SCMP) yang ditulis Maria Siow, disebutkan bahwa di kawasan ini, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Myanmar saat ini memiliki kapal selam, sementara Thailand, dan Filipina sedang dalam proses order.

Aristyo Darmawan, Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia, dalam sejumlah kesempatan di publik, mengatakan tingginya kebutuhan kapal selam oleh negara-negara Asia Tenggara didorong persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Data lembaga non profit Nuclear Threat Initiative, menunjukkan AS memiliki sekitar 66 kapal selam, termasuk lebih dari 50 kapal selam serang bertenaga nuklir.

Sedangkan, menurut laporan Departemen Pertahanan AS yang dikeluarkan tahun lalu, China juga disebutkan memiliki 6 kapal selam rudal balistik bertenaga nuklir, 6 kapal selam serang bertenaga nuklir, dan 46 kapal selam serang bertenaga diesel.

Baca Juga  Panglima TNI Lepas 39 Prajurit Evakuasi WNI di Sudan

Indonesia juga telah menandatangani perjanjian dengan Prancis pada Februari 2022, untuk berkolaborasi dalam pembangunan dua kapal selam Scorpène, yang diklaim sangat baik menghindari pengamatan, sangat cepat dan mampu melakukan misi perang bawah laut dan serangan jarak jauh.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat bagaimana Laut China Selatan semakin termiliterisasi. Masuk akal juga bagi negara-negara untuk mengikuti perkembangan pertahanan di kawasan, kata Darmawan,” dikutip dari SCMP, Senin (2/1/2023).

Laut China Selatan berada di marjinal Samudra Pasifik Barat yang berbatasan kawasan perairan sejumlah negara, yaitu Taiwan, Filipina, Indonesia dari Kalimantan, Sumatera dan Kepulauan Bangka Belitung, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Laut Cina Selatan mengandung sumber daya ekonomi yang luar biasa, seperti lalu lintas jasa perdagangan, cadangan minyak dan gas dan perikanan

Seperti dilansir dari CSIS, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memperkirakan bahwa sekitar 80 persen volume perdagangan global dan 70 persen nilai diangkut melalui laut. Dari volume, 60 persennya maritim melewati Asia, dengan Laut China Selatan membawa sekitar sepertiga pelayaran global.

Daftar Sengketa LCS

Besarnya potensi ini menjadikan Laut China Selatan menjadi rebutan banyak negara. Laporan The Recent History of the South China Sea: A Timeline, yang didata oleh International Crisis Group, menunjukkan China mulai merebut pulau-pulau di LCS dari Vietnam Selatan pada awal tahun 1974.

Kemudian, berlanjut menduduki Kepulauan Paracel tahun 1988. Sedikitnya 74 pelaut Vietnam tewas dalam bentrokan Angkatan laut China dan Vietnam setelah China merebut terumbu karang Fiery Cross dan Cuarteron di Spratly.

Akhirnya, tahun 1994, United Nations Conventional on the Law of the Sea (UNCLOS) menetapkan kerangka hukum untuk yurisdiksi maritim, termasuk definisi laut teritorial, eksklusif zona ekonomi dan landas kontinen.

Namun, invasi China terhadap LCS terus berlanjut. Tahun 1995, China menduduki Mischief Reef, lepas pantai Pulau Palawan, setelah melalui pertempuran dengan Angkatan Laut Filipina.

Tahun 2002, negara-negara anggota Asean dan China mencapai kesepakatan tentang Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (Declaration of Conduct of the Parties in the South China Sea), sambil menunggu Kode Etik yang lengkap.

Namun, tujuh tahun kemudian, China membuat peta dan mengklaim sembilan garis putus-putus, merepons pengajuan bersama Malaysia dan Vietnam untuk mendapatkan landasan kontinen.

Tahun 2012, China memperluas aksinya dengan merebut pulau karang Beting Scarborough, Filipina. Filipina mengambil tindakan hukum atas aksi ini melalui arbitrase di bawah UNCLOS untuk menantang klaim China atas hak bersejarah dan hak maritim atas Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal.

Tahun 2013, China mulai melakukan reklamasi atau membangun pulau buatan Spratly. Tahun 2014, kapal penegak hukum Vietnam dan China bertabrakan. Vietnam mencegah penempatan anjungan minyak China di perairan yang diklaim oleh Hanoi.

Tahun 2015, Amerika Serikat mulai melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOP) di Laut China Selatan. Tahun 2018, China dan Asean menyepakati Teks Negosiasi Rancangan Tunggal, yang mencerminkan kompilasi proposal dari penuntut dan bukan konsensus.

Tahun 2019, di tengah kebutuntuan perundingan dengan China dan Vietnam, Malaysia mulai pengeboran minyak di LCS. Terakhir tahun 2021, China memasukkan sekitar 200 kapal, termasuk diduga kapal milisi maritim, di perairan di sekitar Whitsun Reef di Kepulauan Spratly. Filipina menuntut agar kapal itu ditarik kembali.

Tanggal 21 Desember 2022 lalu, kapal perang Amerika Serikat dan China berada di posisi hampir bertabrakan. Setelah kejadian itu, militer kedua negara mengeluarkan informasi publik yang bertentangan.

AS mengatakan J-11 Angkatan Laut PLA milik Tiongkok mencegat pesawat pengintai udara AS yang sedang melakukan operasi rutin secara sah. Sedangkan, China mengklaim RC-135 Angkatan Udara AS sengaja melakukan pengintaian jarak dekat di sekitar garis pantai selatan China dan Kepulauan Xisha (Kepulauan Paracel).

Akankah aksi militer China dan AS ini berbuntut panjang? Kemudian, cukupkan kesiapan negara-negara Asean, termasuk Indonesia, mengoptimalkan potensi ekonomi dan mempertahankan kedaulatannya di Laut China Selatan?*

 

Sandy Christian Wibowo (Pengamat Militer dan Geopolitik UI)
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

#beritaviral
#beritaterkini

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life