Home » ISU GENDER CONTEMPORER: TANTANGAN DAN RESPON KEBIJAKAN

ISU GENDER CONTEMPORER: TANTANGAN DAN RESPON KEBIJAKAN

by Raja H. Napitupulu
5 minutes read
kesetaraan gender

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Keadilan dalam Relasi Gender dan Kebangsaan

Kesetaraan gender dan kebangsaan di Indonesia menjadi topik diskusi yang hangat dan terus diperdebatkan.

Hari ini kita berbicara tentang gender. Gender adalah relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Akar persoalan gender adalah budaya patriarki, yaitu nilai sosial atau sistem sosial yang menempatkan laki-laki secara struktural dalam posisi superior dan perempuan pada posisi subordinat. Laki-laki yang hidup di masyarakat seperti ini mudah terperangkap ke dalam perilaku bersifat eksploitatif, koersif, dan diskriminatif terhadap perempuan.

Dari sini muncul banyak masalah sosial seperti: kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik atau kekerasan seksual, poligami, pernikahan dini, perdagangan perempuan dan anak, sunat perempuan, juga diskriminasi terhadap hak-hak perempuan, baik di rumahtangga, di tempat pendidikan, di tempat kerja, di pelayanan publik, serta di politik dan di pemerintahan.

Saya, sebagai laki-laki akan mengupas masalah gender ini dari perspektif laki-laki.  Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan adalah bagaimana laki-laki harus bersikap dalam gender. Di gender, laki-laki menjadi tertuduh, sebagai biang masalah. Apakah laki-laki harus marah dan melawan claim seperti itu, atau dapatkah laki-laki justru harus bersikap lebih arif dan bijaksana dengan melakukan refleksi dan reorientasi sikap?

Sebagai laki-laki yang sejati, kita harus anti-gender, atau justru, untuk menjadi demikian, kita harus pro-gender? Apakah laki-laki harus berjuang untuk membela harkat dan martabatnya, untuk memulihkan kembali hegemoninya yang hilang oleh maraknya feminisme, atau kita justru harus menjadi bagian dari perjuangan kemanusiaan, yang bersama-sama dengan para perempuan, membentuk masyarakat baru yang lebih adil gender?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengajak Saudara untuk melihat dua bidang atau ranah dalam relasi sosial, yaitu etnisitas dan agama, yang jika diangkat lebih luas lagi, menjadi ranah kebangsaan. Sama dengan di gender, hubungan sosial di ranah tersebut bisa berlangsung secara adil, tapi bisa juga timpang. Bisa terjadi hegemoni, eksklusi, marginalisasi, eksploitasi dan koersi, atau sebaliknya.

Sentimen Pribumi dan Non-Pribumi

kesetaraan gender 2

kualitas kesetaraan gender/Kementerian ppa

Pada kasus etnisitas, ada sentimen anti-Cina atau anti-Arab dari penduduk pribumi. Tentang ini kita bisa bertanya: apakah kita harus memperjuangkan dan mempertahankan hegemoni kita sebagai pewaris syah tanah air Indonesia dari para leluhur kita? Apakah orang keturunan Cina dan Arab, misalnya, yang hanya numpang hidup di Indonesia, harus dipinggirkan atau diusir balik ke negeri asal mereka?

Ketika di Indonesia terjadi aksi eksklusi, kekerasan, atau pembatasan hak dari pribumi terhadap non-pri, bagaimana kita, sebagai pribumi, harus bersikap? Apakah kita harus membela pihak yang melakukan kekerasan tersebut semata-mata karena kita pribumi dan yang dimusuhi adalah non-pri? Atau kita justru harus mengkritisi mereka yang anti non-pri dan melindungi pihak non-pri yang dizalimi? Saya yakin kita lebih memilih jawaban yang terakhir.

Sama halnya dengan relasi agama. Di Indonesia berkembang radikalisme Islam. Ada teror bunuh diri oleh orang Islam, ada gerakan radikal HTI dan FPI yang dengan keras menuntut penerapan syariah Islam, dan dalam banyak kesempatan melakukan kekerasan terhadap non-Islam, baik terhadap orang yang berjualan di bulan puasa, atau mensegel tempat-tempat ibadah mereka, gereja atau wihara.

Kita perlu bertanya, apakah dapat dibenarkan jika kita menempatkan agama kita sendiri secara radikal sebagai satu-satunya agama yang harus dibela, dan agama lain harus kita musuhi?

Ketika orang Islam, misalnya, melakukan aksi yang sifatnya koersif dan diskriminatif terhadap non muslim dalam beribadah, atau membangun tempat ibadahnya, apakah kita, sebagai muslim harus membela teman seagama kita tersebut? Apakah kita mendiamkan perilaku orang seiman kita tersebut? Atau kita harus mengkritisi mereka dan membela hak beragama dari non-muslim? Saya yakin juga, semua kita lebih memilih jawaban terakhir.

Krisis Kebangsaan Akut

Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis kebangsaan yang akut. Masyarakat seperti terbelah ke dalam dua kutub, yang masing-masing merasa benar secara mutlak, dan menyalahkan pihak lain, juga secara mutlak. Labelisasi yang mereka buat terhadap pihak lawan, telah mempertajam perpecahan tersebut. Ada label “kadrun” yang disematkan kepada kelompok radikal Islam, dan ada label “cebong” yang dilekatkan kepada kelompok moderat yang mendukung Jokowi.

Baca Juga  Serap 400 Tenaga Kerja, PT LG Electronics Indonesia Investasi dalam Bidang R&D

Hal yang hilang dalam konflik kebangsaan dan tengah mendera bangsa kita ini adalah nilai keadilan. Mereka yang mengembangkan politik radikalisasi Islam lupa, bahwa relasi hubungan antar agama di Indonesia yang berdasar Pancasila ini haruslah berbasis keadilan.  Keadilan antara muslim dan non muslim, antar suku yang jumlahnya ratusan di Indonesia, termasuk keadilan terhadap penduduk keturunan asing yang telah menjadi WNI.

Definisi Keadilan adalah prinsip penting dalam mengembangkan kebangsaan madani. Keadilan antar agama dan antar etnis inilah yang ditegakkan Rasul Muhammad ketika beliau membangun kota Madinah yang plural. Karena itu, kebangsaan yang mengedepankan pada pengakuan akan perbedaan dari warga yang dalam Bahasa Inggris disebut sebagai “civic nationalism,” diIndonesiakan menjadi “nasionalisme madani.” (mengambil dari kata Madinah)

Keadilan Berbasis Gender

Keadilan pula yang seharusnya ada dalam relasi gender, relasi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Budaya patriarki yang memberi pembenaran terhadap hegemoni laki-laki adalah budaya anti-keadilan. Dan jika kita, dalam membangun bangsa menekankan keadilan, tidak meminggirkan pihak lain yang berbeda identitas, maka seperti itu pulalah yang seharusnya kita dalam gender: kita membangun relasi gender yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, pensikapan kita tentang gender menjadi segaris dengan pensikapan kita terhadap isu kebangsaan.

Laki-laki dan perempuan adalah identitas gender yang melekat pada diri kita masing-masing. Perbedaan identitas tersebut haruslah bukan dijadikan alasan untuk membedakan, merendahkan, meminggirkan, atau memarginalkan. Sebaliknya, hal tersebut haruslah menjadi alasan untuk bekerjasama, untuk saling memperkuat.

Hubungan gender dan hubungan kebangsaan demikian hanya bisa terbangun, jika masing-masing bersedia untuk saling bersikap adil, saling melindungi, saling percaya, saling menghormati, dan saling memperkuat.

Sepertinya, situasi sekarang mungkin belum seperti yang kita idealkan. Sikap laki-laki terhadap gender masih terbelah. Ada laki-laki yang secara terang-terangan, atau secara tersembunyi, masih anti-gender. Di dunia Barat muncul gagasan “male supremacy,” dan gerakan sosial “Mens Right Movement,” yang memperjuangkan supremasi laki-laki, dan ada gerakan yang lebih ekstrim lagi, namanya Men Going Their Own Way (MGTOW) yang secara eksplisit anti-feminis dan misogynistic.

Di Indonesia kita punya sosok yang dekat dengan itu, yaitu Puspowardo yang secara terang-terangan mengkampanyekan poligami, berbasis syariat Islam, yang dijuluki oleh para pendukung dan pengikutnya sebagai Pendekar atau Presiden Poligami.

Para Pembela Gender

Pada sisi lainnya, di dunia, ada laki-laki yang progresif pro-gender. Misalnya ada di Barat, New-Men Movement, dan di Indonesia ada sosok laki-laki, namanya Nur Hasyim, sekarang menjadi dosen di UIN Walisongo, Semarang, yang mendirikan organisasi laki-laki: yaitu Aliansi Laki-laki Baru yang pro gender dan kritis terhadap nilai patriari dan hegemoni laki-laki. Di tingkat global, PBB menggelorakan gerakan laki-laki untuk kemajuan perempuan. Namanya He for She Movement. Ban Ki-Moon, Sekretaris Jendral PBB, adalah pencetusnya. Gerakan ini menjadikan para kepala negara di dunia, termasuk Jokowi di Indonesia, sebagai ambasadornya.

Jokowi saya kira, pada tingkat tertentu telah menerapkan fungsinya sebagai ambassador HfSM di dalam memimpin negara. Terundangkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah contoh dari keberpihakan negara terhadap keadilan gender. Dan sekarang sedang diproses undang-undang baru untuk melindungi perempuan yang menjadi pekerja rumahtangga, yaitu RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jika DPR berhasil mengesyahkan RUU tersebut, dan Presiden menandatanganinya, ini menjadi prestasi penting dari perjuangan bangsa bagi keadilan gender di Indonesia.

Penutup

Menutup pembahasan kali ini, ijinkan saya mengutip seruan penting dari Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon, dalam salah satu kesempatan. Beliau mengatakan: “’Marilah kita mencurahkan seluruh kesungguhan, advokasi yang berani dan kemauan politik yang tidak tergoyahkan untuk mencapai kesetaraan gender di seluruh dunia. Karena tidak ada investasi yang lebih besar dari itu untuk mencapai masa depan yang lebih maju.”

Seruan tersebut adalah seruan untuk kita semua, saat ini. Mudah-mudahan semua laki-laki pembaca artikel ini adalah laki-laki pro gender, dan siap, bersama para perempuan, memperjuangkan keadilan gender di Indonesia.

 

Prof. Dr. Muhadjir Darwin (Guru Besar FISIP UGM, Yogyakarta)

Editor: Raja H. Napitupulu

rajanapitupulu@esensi.tv

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life