Home » Laju Kenaikan Suhu di Kalimantan Timur Tertinggi se Indonesia

Laju Kenaikan Suhu di Kalimantan Timur Tertinggi se Indonesia

by Lyta Permatasari
4 minutes read
BMKG

ESENSI.TV - JAKARTA

Kalimantan Timur, atau Ibu Kota Negara Indonesia yang baru, mengalami laju kenaikan suhu udara permukaan tertinggi se Indonesia. Selain faktor pemanasan global, variasi kenaikan suhu di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal, terutama maraknya perubahan tata guna lahan.

”Laju peningkatan suhu udara permukaan tertinggi se Indonesia terekam di Stasiun Meteorologi Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur, yakni mencapai 0,47 derajat celsius per dekade,” kata peneliti perubahan iklim dan dosen Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG), Dodo Gunawan, di Jakarta, Senin (5/6/2023) dikutip dari laman kompas.com.

Dodo mengatakan, data tren peningkatan suhu udara permukaan ini didasarkan pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) selama 40 tahun terakhir di berbagai stasiun BMKG di Indonesia. Data BMKG ini juga menunjukkan, laju peningkatan suhu udara permukaan yang paling kecil tercatat di Stasiun Meteorologi Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, yaitu 0,01 derajat celsius per dekade.

”Faktor yang turut memengaruhi kenaikan suhu ini, selain secara pemanasan global, juga tergantung pada kondisi lokal. Sifat-sifat permukaan apakah dia menyerap panas atau sebaliknya memantulkan kembali radiasi yang jatuh pada permukaan, akan turut menentukan pemanasan di setiap tempat,” ujar Dodo.

Secara rata-rata, Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan, dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan suhu udara permukaan di atas 0,3 derajat celsius per dekade. Laju kenaikan suhu udara permukaan di beberapa wilayah Indonesia ini juga lebih tinggi dari rata-rata kenaikan suhu global, yang menurut laporan Goddard NASA untuk Studi Luar Angkasa (GISS), sebesar 0,15-0,2 derajat celsius per dekade.

Ahli iklim BMKG, Siswanto, mengatakan, kenaikan suhu global merupakan rata-rata di seluruh permukaan bumi, daerah lintang tinggi hingga daerah kutub. Adapun di Indonesia, hampir sebagian besar berada di zona tropis yang menerima radiasi matahari lebih besar sehingga jika dirata-rata laju kenaikannya bisa lebih tinggi dari rata-rata global.

Siswanto menambahkan, dalam catatan jangka panjang juga menunjukkan kenaikan suhu di Indonesia, dalam hal ini Jakarta, lebih tinggi dari kenaikan suhu global yang seharusnya. Data Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan, suhu bumi telah menghangat sekitar 1,1 derajat celsius dibandingkan periode praindustri atau tahun 1850-1900. Adapun data BMKG menyebutkan, suhu di Jakarta 1,6 derajat celsius lebih panas dibandingkan periode praindustri.

Perubahan Tata Guna Lahan

Selain faktor tropis, menurut Siswanto, sebagian wilayah Indonesia mengalami laju kenaikan suhu yang sangat tinggi karena maraknya perubahan tata guna lahan. ”Daerah-daerah di Indonesia yang mengalami laju kenaikan suhu lebih tinggi rata-rata yang seharusnya biasanya daerah mengalami perubahan tata guna lahan secara drastis, misalnya di wilayah yang sebelumya hutan lalu ditebang atau ditambang pasti akan mengalami laju peningkatan suhu lebih cepat,” ujar Siswanto.

Sebelumnya, laporan peneliti The Nature Conservancy, Nicholas H Wolff dan tim dalam jurnal Lancet Planetary Health (2021) menunjukkan, kenaikan suhu permukaan tanah di Berau, Kalimantan Timur, mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun atau 0,59 derajat celcius per dekade. Penghitungan ini didasarkan pada perubahan suhu permukaan yang terekam di satelit dalam periode 2002-2018.

Mengacu pada temuan Wolff, kenaikan suhu yang sangat tinggi di Berau ini dipicu oleh masifnya deforestasi. Dalam periode 16 tahun itu, seluas 4.375 km² hutan di Berau telah dibuka, setara dengan sekitar 17% dari luasan lahan di seluruh wilayah kabupaten ini.

Baca Juga  Problematika Gizi Buruk dan Stunting di Indonesia

”Metode pengukuran Wolff dan BMKG berbeda, walaupun hasilnya cenderung sama, yakni bahwa Kalimantan Timur mengalami tren kenaikan suhu rata-rata tertinggi dan ini sangat mungkin disebabkan oleh perubahan tata guna lahan yang drastis di kawasan ini,” kata Siswanto.

Menurut Siswanto, data satelit yang digunakan Wolff dan tim adalah untuk mengukur suhu permukaan tanah, sedangkan BMKG mengukur suhu udara permukaan. ”Wajar kalau tren kenaikan suhu tanah lebih tinggi,” ujarnya.

Selain itu, rentang waktu pengukuran BMKG lebih panjang, yaitu 40 tahun, padahal tren kenaikan suhu semakin cepat dalam dekade terakhir. ”Sejalan dengan data global, kenaikan suhu udara mengalami percepatan dalam beberapa dekade terakhir,” ujarnya.

Panas Perkotaan

Siswanto menambahkan, selain maraknya perubahan tata guna lahan, variasi kenaikan suhu juga dipengaruhi fenomena urban heat island (pulau panas perkotaan). Di wilayah tengah kota, laju perubahan suhu minimum lebih nyata terlihat dibandingkan suhu rata-rata harian dan maksimum. Adapun untuk wilayah di luar kota atau perdesaan, perubahan suhu maksimum lebih kuat dibanding suhu rata-rata dan minimum. ”Ini menandakan fenomena urban heat island,” ujarnya.

Kajian Siwanto menunjukkan, daerah batas antara urban-rural atau daerah pengembangan urban baru juga cenderung memiliki laju pemanasan suhu permukaan yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Daerah Ciledug di Tangerang dan Ciputat di Tangerang Selatan, misalnya, memiliki laju kenaikan suhu lebih tinggi dari Jakarta Pusat.

”Hal ini diakibatkan oleh perubahan drastis tata guna lahan di wilayah pinggiran yang dapat memicu peningkatan panas permukaan yang lebih kuat karena perubahan kesetimbangan radiasi panas pada permukaan tanah,” ujarnya.

Meningkatkan Bencana

Dodo mengatakan, tren kenaikan suhu yang terjadi saat ini telah memicu kejadian cuaca yang lebih ekstrem. ”Beberapa wilayah yang sering mengalami kejadian cuaca ekstrem tidak bisa lepas dari kondisi kenaikan suhu ini,” ujarnya.

Menurut Dodo, dengan kondisi iklim yang sudah mulai berubah, mau tidak mau kita semua harus menyesuaikan pola kehidupan atau aktivitas. ”Ini namanya adaptasi kita terhadap perubahan iklim,” ujarnya.

Marwan (45), anggota Kelompok Kerja Program Karbon Hutan Berau, mengatakan, pola hujan di Kabupaten Berau saat ini sudah berubah seiring dengan kenaikan suhu. ”Dulu hujan di Berau bisa lebih lama durasinya. Sekarang cenderung tiba-tiba dan lebih pendek, tetapi bisa sangat deras dan diikuti angin kencang,” ujarnya.

Selain beradaptasi dengan cuaca ekstrem, para petani di Berau dan sejumlah wilayah Kalimantan Timur lain mesti menyesuaikan jam kerja. Mereka tidak bisa lagi bekerja di ladang pada siang hari dan memilih bekerja di pagi dan sore hari, bahkan hingga malam hari.

Secara nasional, kejadian bencana terkait cuaca juga cenderung meningkat. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto, jumlah kejadian bencana alam di Indonesia selama 2010-2022 telah meningkat hingga 82%.

Dalam lima bulan di awal tahun 2023 ini saja terjadi 1.675 kejadian bencana yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1%. Sebanyak 92,5% berupa bencana hidrometeorologi basah seperti banjir dan longsor dan 6,6% merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi.

Frekuensi kejadian banjir dari laut atau rob juga meningkat. Menurut Suharyanto, dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah kejadian bencana banjir rob meningkat 46% dari 35 kali kejadian di tahun 2020 menjadi 75 kejadian di 2022.

Editor: Raja H. Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life