Home » LKHPN Akal-akalan Pejabat atau Realita?

LKHPN Akal-akalan Pejabat atau Realita?

by Erna Sari Ulina Girsang
3 minutes read
Ilustrasi pencucian uang. Foto: Ist

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Prilaku hedonisme (pamer kemewahan) di media sosial oleh anak mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo akhirnya merembet ke LHKPN atau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara pejabat lainnya.

Masyarakat ingin tahu, berapa sih sebenarnya nilai harta dari para pejabat pajak itu saat ini?

Jawaban yang cukup mengherankan datang dari pejabat KPK dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) karena ternyata nilai aset Rafael Alun Trisambodo lebih tinggi dibandingkan profilnya.

Tentu heran karena data harta Rafael senilai Rp56 miliar sudah bertengger di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2021.

Mengapa ketika ada kasus baru dipertanyakan? Jadi selama ini apakah aset-aset para pejabat yang mereka tuliskan secara mandiri di aplikasi LHKPN KPK tidak diklarifikasi atau tidak dibuktikan dulu baru diterima? Alias apakah tidak ada tanda lolos verifikasi?

Apalagi, sebenarnya, tahun 2021, KPK pernah mengumumkan bahwa sebanyak 95 persen data yang dimasukkan pejabat ke dalam laporan aset pejabat negara di KPK tidak akurat dengan kekayaan semestinya alias tidak sesuai realita.

Namun, sebatas itu saja, tidak ada proses penelusuran lebih jauh yang disampaikan ke publik.

Harta Pejabat Diatur Dalam UU No 28 Tahun 1999

Padahal, pelaporan aset penyelenggara negara sudah diatur khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara (Pejabat) yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pasal 2 UU itu menyebutkan Penyelenggara Negara yang wajib melaporkan asetnya adalah Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi. Menteri, Gubernur dan Hakim.

Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara.

Dalam pasal 5, ayat 2 hingga 5 disebutkan, setiap Penyelenggara Negara diwajibkan untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat. Wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.

Kemudian, dipertegas dengan ayat 4 bahwa setiap Penyelenggara Negara tidak boleh melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Untuk memenuhi amanat Undang Undang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, makanya KPK membuka aplikasi LHKPN.

Jadi pejabat negara wajin melaporkan penerimaan brutto, baik yang rutin maupun tidak rutin yang diterima setiap Penyelenggara Negara, pasangannya dan anak dalam kandungan selama satu tahun.

Baik yang diterima dari pekerjaan, seperti gaji dan tunjangan, penghasilan dari profesi atau keahlian, honorarium, tantiem, bonus, jasa produksi dan THR, serta penerimaan dari pekerjaan lainnya.

Tidak hanya dari tugasnya di kantor, pejabat negara juga harus melaporkan penerimaan dari usaha dan kekayaan lain, seperti hasil investasi dalam surat berharga, hasil usaha atau sewa, bunga tabungan atau deposito dan lainnya, serta penjualan atau pelepasan harta.

Penerimaan lainnya juga wajib dilaporkan, seperti penerimaan hutang, warisan hingga hibah atau hadiah. Selain penerimaan, pengeluaran Penyelenggara Negara dan keluarganya juga harus dilaporkan.

Baca Juga  Jack Reacher: Mengungkap Misteri dengan Gaya Khasnya

Kembali kepada contoh mantan pejabat eselon III, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, menunjukkan bahwa nilai harta yang dilaporkan, tidak serta merta diklarifikasi dan dibuktikan meski sudah masuk data LHKPN KPK.

Apalagi, selama ini hampir tidak terdengar jika KPK menyelurusi kasus gratifikasi atau korupsi dari data nilai harta yang tidak wajar di LHKPN.

Koordinator Siaga 98, Hasanuddin, menilai kasus Rafel bisa menjadi momentum bagi KPK untuk mulai bergerak mengusut kasus gratifikasi dan korupsi dari nilai aset yang tidak wajar di LHKPN. (RMOL Senin 27 Februari 2023).

Harta Tidak Dilaporkan Bisa Jadi Modus Pencucian Uang

Melaporkan harta tetapi tidak sama dengan realita adalah sebuah persoalan. Namun, bukan berarti menyelundupkan aset lain yang masih dimiliki terbebas dari masalah. Semuanya ada konsekuensinya.

Berdasarkan data KPK per 27 Februari 2023, tingkat kepatuhan pejabat negeri melaporkan hartanya ke aplikasi LHKPN sebesar 48,23 persen atau 179,952 orang. Sedangkan yang tidak patuh sebanyak 51,77 persen atau 193.190 orang.

Kembali ke kasus Rafel Alun Trisambodo. Dalam akun media sosial, putranya Mario Dandy sering memamerkan kemewahan mengendarai Jeep Rubicon yang harganya berkisar antara Rp1, 69 miliar hinga Rp1,98 miliar.

Dia juga pernah memposting kendaraan mewah, seperti motor gede Harley-Davidson, mobil Jeep Wrangler Rubicon dan Toyota Land Cruiser VX-R.

Namun, setelah muncul ke publik, Rafael mengatakan kendaraan mewah itu bukan miliknya. Artinya bukan asetnya dan buka juga aset anggota keluarga yang masuk dalam tanggungan pajaknya, sesuai dengan ketentuan di LHKPN.

Dalam data LHKPN KPK per 31 Desember 2021, Rafael Alun Trisambodo tercatat memiliki harta Rp56,1 miliar, terdiri dari 11 bidang tanah dan bangunan, surat berharga, kas dan setara kas, serta dua mobil, yaitu Toyota Camry 2008 dan Toyota Kijang tahun 2018.

Konsekuensinya adalah jika terbukti memiliki aset yang tidak dilaporkan dalam LKHPN, maka Penyelenggara Negara (PN) bisa dijerat kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, pidana pokok dari dugaan money laundering harus ada.

Jadi, pejabat negara yang memiliki aset, tetapi tidak didaftarkan atas namanya karena menghindari pajak atau harta diperoleh dari sumber yang tidak halal, disebut dengan praktik nominee atau pinjam nama orang lain.

“Nomine merupakan penggunaan nama orang lain yang menjadi modus pelaku korupsi dalam TPPU. Iya bisa pencucian uang, bisa. Dicari dulu pidana pokoknya, kan begini pencucian uang harus ada dulu pidana pokoknya,” kata Samad (Kompas.com, Senin tanggal 27 Februari 2023).

Pidana pokok yang dimaksud bisa dalam bentuk dugaan suap, gratifikasi atau korupsi. Biasanya, pejabat korup membutuhkan wadah untuk menyimpan atau meletakkan dana hasil suap, gratifikasi atau korupsi itu atas nama orang lain.

Dengan adanya tanda lolos verifikasi, tentunya tidak ada lagi pertanyaan LKHPN Akal-akalan Pejabat atau Realita?*

Editor: Erna Sari Ulina Girsang

#beritaviral
#beritaterkini

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life