Perspektif

Mawas Diri Pendidikan Tinggi Indonesia

Pendidikan Tinggi telah lama menjelma menjadi industri besar sekaligus industri strategis. Tidak hanya itu, bagi Motorola, Pendidikan Tinggi juga bagian dari industri. Di Indonesia sendiri, Pendidikan Tinggi masih menjadi patokan untuk melanjutkan karier di dunia kerja.

Konon, menurut George Soros, pada tahun 2020 USA berhasil menambah pundi-pundi devisa yang besarnya diperkirakan triliunan rupiah (ratusan juta USD) hanya dari satu negara yang mengirim para pemudanya untuk melanjutkan studi di sana. Dana sebanyak itu tentu dapat menciptakan lapangan kerja yang tidak sedikit. Itu belum termasuk dana untuk food and lodging. Inilah contoh bagaimana Perguruan Tinggi (PT) berperan dalam menciptakan lapangan kerja bagi penduduk.

Kita menjadi saksi dan dengan jujur mengatakan, “Tidak ada negara maju yang tidak memiliki PTN/PTS yang hebat-hebat.” Jadi, tidak heran apabila negara-negara seperti USA menjadi negara tujuan para pemuda dari seluruh penjuru dunia untuk melanjutkan studi. PT yang hebat-hebat tersebut memang layak menjadi tempat studi. Mengapa? Karena mereka sangat profesional dalam melaksanakan fungsi Perguruan Tinggi.

Fungsi Perguruan Tinggi

Fungsi Perguruan Tinggi hanya ada dua, yakni:

1. Memproduksi ilmu baru (new scientific knowledge), dan

2. Menyiapkan manusia baru yang berilmu pengetahuan (new knowledgeable people)

Di Indonesia, fungsi yang pertama belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini tampak dari profil PTN/PTS dalam produktivitas penerbitan karya ilmiah di Jurnal Internasional Bereputasi (JIR). Kinerjanya jauh tertinggal bahkan oleh PTN/PTS negeri jiran terdekat sekalipun.

Dikutip dari Antara pada Rabu (22/2), tahun 2022 lalu para ilmuwan diaspora Indonesia membincangkan kebijakan salah satu organisasi riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait artikel di penerbit internasional. Organisasi riset tersebut tidak mengakui artikel yang terbit di MDPI, Hindawi, dan Frontiers.

BRIN menyebut alasan pencegahan perisetnya menerbitkan artikel di MDPI, Hindawi, dan Frontiers karena patokan bayaran yang tinggi pada penulisnya ketika karyanya hendak diterbitkan.

Hal ini tentu berseberangan dengan prinsip open access yang memang menyediakan akses gratis bagi para pembaca jurnal-jurnal internasional.

Beberapa penerbit menyediakan pilihan untuk membayar atau tidak membayar bagi penulis yang ingin menerbitkan artikelnya di jurnal open access. Namun, ketika penulis memilih tidak membayar, maka hasil riset yang diterbitkan harus menunggu 2 tahun. Peneliti yang mengutip hasil risetnya pun akan lebih rendah.

Dibandingkan dengan pelaksanaan fungsi pertama, fungsi kedua sudah berjalan lebih dulu. Namun, lulusannya secara umum masih sulit bersaing di kancah global. Mengapa demikian? Karena kita terisolir dari International Scientific Community (ISC), sehingga terjadilah lack of standard seperti terpampang dalam data TWAS (The World Academy of Science).

Dalam hal Science and Technology (S&T), tahun 2007 TWAS memasukkan Indonesia ke dalam daftar “The Lagging Countries in S&T”, yaitu daftar negara terbelakang dalam hal S&T. Kemudian, Indonesia baru dikeluarkan dari daftar tersebut pada 6 Februari 2017 lalu. Walaupun sudah keluar, saat ini Indonesia masih tertatih-tatih.

 

Lantas, apa yang perlu kita perbuat?

1. Kembalikan Perguruan Tinggi sebagai Pusat Kebudayaan.

2. Mendorong Perguruan Tinggi sebagai Pusat Ketahanan Nasional.

3. Buka isolasi dari ISC. Sehingga secara berjenjang, PTN/PTS Indonesia satu per satu masuk ke kelas dunia.

4. Laksanakan fungsi pertama PT dengan meningkatkan produktivitas publikasi di JIR. Maka, fungsi kedua akan dapat dilaksanakan dengan optimal.

Ingin berhasil menerbitkan publikasi di JIR? Kuncinya ada 2, kualitas isi serta kualitas penyajian. Untuk memenuhi tuntutan kualitas isi, tulislah hanya artikel yang masuk dalam kategori inovator. Sedangkan untuk memenuhi tuntutan kualitas penyajian, diperlukan kepandaian dalam menjual ide inovatif yang menjadi primadona artikel tersebut. Menjual kepada siapa? Kepada ISC!

Bagaimana gambaran innovator article itu? Jurnal NATURE memberikan deskripsi sebagai berikut.

Innovator article adalah artikel yang menampilkan kedua features, yaitu Pure Curiosity dan Technical Rigor. Pure curiosity artinya ide liar (wild idea) yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Sedangkan technical rigor dimaksudkan kepada artikel yang memamerkan kompleksitas cara berpikir, bergabungnya argumentasi logis dengan metode scientific yang paten.

 

Semoga bermanfaat.

Selamat berkarya.

 

Oleh: Maman A. Djauhari (Pensiun dari ITB tahun 2009)

Editor: Addinda Zen

Administrator Esensi

Recent Posts

8 Negara dengan Hukuman Mati Tertinggi

Pada tahun 2024, laporan terbaru menunjukkan bahwa sepuluh negara dengan tingkat hukuman mati tertinggi masih…

4 hours ago

Fokus Utama Taiwan terhadap Shang-Ri La Dialogue

Pertemuan Shangri-La Dialogue 2024 yang berlangsung di Singapura menyoroti beberapa isu penting, termasuk fokus Taiwan…

8 hours ago

Pertemuan ke-49 ASEAN Audit Committee

Pertemuan ke-49 ASEAN Audit Committee (AAC), para anggota dari 10 negara anggota ASEAN dan Timor…

10 hours ago

Resmi Pensiun, David Beckham Sekarang Bertani dan Beternak

David Beckham, mantan bintang sepak bola, kini menjalani kehidupan yang berbeda setelah pensiun. Terkenal karena…

12 hours ago

Dukung Penjual Kopi Keliling, Kapal Api Group Sumbang 1M

Kapal Api Group telah mengumumkan komitmennya untuk mendukung para pedagang kopi keliling dengan menyumbangkan dana…

24 hours ago

ISEI Fasilitasi Sosialisasi LPS – Industri Asuransi

Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memfasilitasi upaya sosialisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan…

1 day ago