Home » Mempertahankan Semangat Jiwa Politik Kebangsaan di Tengah Perbedaan Jelang Pemilu 2024

Mempertahankan Semangat Jiwa Politik Kebangsaan di Tengah Perbedaan Jelang Pemilu 2024

by Erna Sari Ulina Girsang
4 minutes read
DPR Minta Kemenkes Periksa RSUD Subang karena Tolak Pasien/Ist

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Semangat jiwa politik kebangsaan memiliki kewajiban dalam menjaga keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan, politik identitas menjadi persoalan, jika memunculkan sikap dan perilaku intoleransi untuk mendapatkan pendukung.

Indonesia sedang dalam proses persiapan dan konsolidasi untuk pesta demokrasi Pemilihan Umum tahun 2024. Menjelang Pemilu 2024 akan muncul perbedaan dan gesekan yang dapat menjadikan ancaman integrasi bagi masyarakat.

Siti Nurjanah, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Lampung, mengatakan berkaca dari Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya gesekan berupa isu SARA akan muncul kembali dihadapan publik.

Rektor IAIN Metro Siti Nurjanah Foto IAIN Metro

Rektor IAIN Metro, Lampung Siti Nurjanah. Foto: IAIN Metro

Namun, sebenarnya di atas kontestasi politik ada politik kebangsaan yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok.

Dia mengatakan politik kebangsaan menjadi spirit atau semangat jiwa untuk kontestasi politik yang sehat dan menjadi energi positif, di tengah perbedaan gerakan politik. Politik kebangsaan berorientasi pada penegakkan konsensus bangsa.

Dalam konsep ini, politik adalah suatu kepentingan utuh. Politik tidak dipandang hanya sebagai perebutan kekuasaan karena melalui politik kebangsaan ada cita-cita lebih besar, yakni mewujudkan kepentingan bangsa agar tetap berada dalam rel persatuan dan kesatuan.

Politik kebangsaan adalah politik yang menitikberatkan bangsa sebagai individu-individu yang memiliki negara dan sekaligus agama sebagai pondasinya.

Mengutip Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten periode tahun 2022-2027, KH Imaduddin Utsman Al-Bantani, Siti Nurjanah menyebutkan politik kebangsaan merupakan salah satu moderasi dalam berpolitik.

Politik seperti ini menitikberatkan pada persoalan negara dan kemaslahatan masyarakatnya. Pada politik kebangsaan ada kewajiban dalam menjaga keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Politik Identitas

Jika ditarik ke kebelakang, masalah krusial yang juga muncul dalam kontestasi Pileg dan Piplres serentak 2019 adalah politisasi identitas, baik berkenaan dengan hubungan antar-umat dan internal umat beragama maupun antarsuku/ras.

Prof. Siti Zuhro. Foto BRIN

Majelis Profesor Riset BRIN Prof. Siti Zuhro. Foto: LIPI/BRIN

Prof Siti Zuhro, Majelis Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan meskipun sudah menjadi anugerah bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, politisasi agama masih juga dijadikan komoditas politik.

Keberagaman yang seharusnya menjadi keunggulan Indonesia, justeru di bawa ke zona negatif. Apalagi, di Indonesia ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia. Hasil survey BPS tahun 2010, bahkan, menyebutkan ada 1.340 suku bangsa, 41% di antaranya suku Jawa.

Sementara itu, dilihat dari keyakinan agamanya, menurut hasil sensus tahun 2010, terdapat 87,18% dari 237,64 juta penduduk beragama Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lain dan 0,38% tidak menjawab.

Dalam Catatan Awal Tahun 2023: Politik Kebangsaan dan Politik Identitas, Siti Zuhro mengatakan, dengan kondisi sosial ini politik identitas hal yang umum terjadi. Dan merupakan sesuatu yang sah karena manusia tak bisa dilepaskan dari aspek-aspek pembentuk identitasnya.

Namun, Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Universitas Insan Cita Indonesia ini, menegaskan politik identitas menjadi persoalan, jika memunculkan sikap dan perilaku politik intoleransi dalam upayanya untuk mencari dukungan politiknya.

Dalam kenyataannya, hal tersebut juga kadang dilakukan oleh partai politik non-identitas. Padahal, sikap dan perilaku intoleransi jelas merupakan hal yang harus dihindarkan oleh semua pihak, termasuk oleh penyelenggara negara.

Dengan kata lain, persoalannya muncul ketika politik identitas dimanipulasi dan dieksploitasi sedemikan rupa secara berlebihan untuk kepentingan politik yang sempit kelompoknya.

Baca Juga  Escape Plan: Membobol Penjara Teraman Dunia

Para elit politik harus dapat menahan diri agar tidak memprovokasi pemilih dengan memanipulasi politk identitas. Lepas dari itu, yang penting adalah mengedukasi warga untuk menyalurkan paham keagamaannya melalui sarana demokrasi yang sah.

Siti Zuhro mengatakan fakta empiris menunjukkan bahwa di satu sisi partai Islam semakin kurang mendapat dukungan. Di sisi lain, kesadaran umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya semakin meningkat.

Kondisi ini menjadi indikasi bahwa pilihan sebagai negara Pancasila merupakan pilihan yang tepat dan oleh karena itu pilihan terhadap bentuk NKRI merupakan pilihan yang final, pilihan terbaik untuk bangsa yang sangat majemuk.

Teori ini, jelasnya, terbukti dari kondisi di mana meskipun mayoritas pemilih Indonesia adalah muslim, tapi hal tersebut tidak berbanding lurus dengan kenaikan secara signifikan suara partai-partai Islam. Dalam perkembangannya politik aliran cenderung memudar.

Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Sharma et al (2010) (International Foundation for Electoral Systems) tentang Pemilu menemukan bahwa sebanyak 62% orang Indonesia memandang agama berpengaruh terhadap politik.

Kemudian, sebanyak 44% orang Indonesia memandang agama memengaruhi keputusan mereka sampai batas tertentu, sebanyak 18% orang Indonesia memandang agama memengaruhi sebagai besar keputusan mereka, dan 38% orang Indonesia memandang agama tidak berpengaruh terhadap keputusan mereka.

Kalau memang politik aliran berlaku, seharusnya perolehan suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada Pemilu 1955 sebesar 43,7%, sedangkan total suarapartai-partai nasionalis sebanyak 51,7%.

Data lainnya, pada Pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36,8%. Pada pemilu 2004, suara partai Islam naik menjadi 38,1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam berkurang.

Pada pemilu 2009 perolehan seluruh partai Islam kembali turun menjadi 164 kursi atau 29,29% suara dengan rincian PKS 57 kursi, PAN 43 kursi, PPP 37 kursi dan PKB 27 kursi. Pada pemilu 2014 jumlah total suara partai Islam naik sedikit menjadi 175 kursi atau 31,25%.

Pada pemilu 2014 PBB kembali tidak memperoleh kursi. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam berkurang.

Keagamaan orang Islam itu mengalami peningkatan, tapi perilaku politiknya makin nasionalis karena dikotomi santri abangan relatif cair dan cenderung kurang relevan. Dalam Pilpres faktor agama belum terbukti karena hingga saat ini belum pernah ada capres/cawapres non-Islam.

Demikian juga di tahun 2009, meski marak dengan politik identitas, partai peraih suara tertinggi adalah partai nasionalis yang mengedepankan politik kebangsaan. PDI Perjuangan (PDIP) meraih 19,33% suara, Partai Gerindra 12,57% suara dan Partai Golkar 12,31% suara.

Jauh sebelum merdeka, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi toleransi sosial tanpa membedakan suku, agama dan ras. Semangat jiwa politik kebangsaan yang menjadi fondasi para pahlawan meraih kemerdekaan tentunya harus bisa bertahan meskipun telah melalui banyak tahun-tahun politik, termasuk dalam Pemilu 2024 nanti.*

Dr. Agus H. Suwoto (Pengamat Politik dari Universitas Diponegoro)

Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life