Home » Mengapa Bali “Murah”?

Mengapa Bali “Murah”?

by Administrator Esensi
3 minutes read
Bali, Indonesia.

ESENSI.TV - JAKARTA

Mengapa Bali “Murah”? adalah Sebuah hipotesa. Atau dengan pendekatan lain: mengapa Bali belum dapat dijual mahal?

Catatan: asumsi “mahal” yang digunakan disini adalah kenaikan harga jual akomodasi minimal 100%  dan makan minum 50% harga jual saat ini. Batasan asumsi angka ini bisa diteliti lebih lanjut. Perbandingan dengan Singapore masih lebih murah atau hampir menyamai dalam kelas akomodasi tertentu.

– Biaya hidup di Indonesia termasuk yang rendah di Asia. Bali adalah bagian dari Indonesia.

– Mata uang Indonesia (rupiah) termasuk mata uang yang lemah dibandingkan negara2 pasar yang datang ke Bali.

– Promosi Bali selama ini adalah sebagaidestinasi murah (affordable).

Branding Bali selama ini adalah destinasi murah (affordable)

– Salah satu daya tarik utama Bali didunia adalah “murah”.

– Destinasi saingan Bali di luar negeri juga adalah destinasi murah. Terutama Thailand dan Vietnam.

– Target promosi adalah mendatangkan wisman sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain fokus pada kenaikan volume dan kuantitas. Hukum pasar menunjukkan volume bisa besar bila harga rendah (pasar nya besar) dan demikian pula sebaliknya.

Pariwisata di Bali Membludak

– Model bisnis sebagian besar usaha pariwisata di Bali selama ini mengandalkan volume.

– Sejak awalnya pariwisata Bali berkembang dari wisatawan backpacker yang memang mencari destinasi terjangkau (affordable)

– Pasar terbesar wisatawan ke Bali berasal dari golongan menengah (ke bawah).

– Sebagian besar amenitas pariwisata di Bali dibangun dengan konsep “murah”.

– Amenitas mewah (luxury) yang lebih mahal kebanyakan dimiliki investor luar dan amenitas “murah” dimiliki warga lokal yg jumlahnya jauh lebih banyak.

– Bali “mahal” akan mendorong inflasi di Bali sehingga daya beli masyarakat Bali kebanyakan akan terganggu. Perhitungan inflasi ini dapat disimulasikan berdasar asumsi “kemahalan” diatas. Bilamana memungkinkan simulasi untuk menemukan “sweet spot” tingkat “kemahalan” yg masih dapat di toleransi (dalam hal ini berlaku teori Limit of Acceptable Change sektor ekonomi).

– Bali yg “mahal” akan mendorong eksodusnya tenaga kerja luar Bali utk lebih berbondong-bondong ke Bali mencari pekerjaan, ancaman bagi warga lokal Bali.

– Supply produk pendukung pariwisata “mahal” di Bali sebagian besar masih didatangkan dari luar. Ini akan semakin meningkatkan “kebocoran ekonomi” pariwisata Bali.

– Bali sudah mengalami over supply kamar dibuktikan occupancy rate rata-rata (sebelum covid) hanya sekitar 60%. Supply yang lbh tinggi dari demand menyebabkan persaingan harga sampai pada tahap yang tidak wajar. Disisi lain, jumlah wisatawan yg datangpun sudah menyebabkan masalah over carrying capacity.

Khususnya dibeberapa wilayah di Bali (Badung, Denpasar, Gianyar). Bilamana semakin banyak wisatawan maka masalah ini akan semakin besar pula dan ini semakin mengganggu wisatawan yang akhirnya destinasi tidak bisa dijual mahal.

Infrastruktur di Bali

– Infrastruktur Bali belum cukup memadai sebagai destinasi yang berkualitas. Yang paling terlihat adalah belum adanya angkutan umum yang terintegrasi, jalan-jalan yang kecil, lalu lintas yang semrawut, kemacetan yang makin parah, manajemen sampah dan limbah yang belum baik. Ketersediaan air bersih juga perlu mendapat perhatian serius.

Baca Juga  Simulasi Pemilu 3 Nama Calon Presiden, Ganjar Pranowo Tertinggi

– Belum berjalannya pengaturan tarif dan komisi menyebabkan persaingan harga yang tidak wajar. Dihadapkan pada masalah butir diatas mengenai supply – demand maka hal ini juga tidak mudah untuk diwujudkan.

– Belum adanya upaya pengaturan investasi pariwisata yang mengakibatkan over supply akan sulit diatasi. Disisi lain malah adanya insentif Pemerintah Pusat melalui izin tinggal (visa) yg berpotensi semakin mendorong alih fungsi lahan yang berakibat semakin over supply properti di daerah-daerah tertentu di Bali.

– “Pricing paradox“. Pada saat dimana Bali sering kali disebut sebagai destinasi murah. Setelah pandemi  ternyata terjadi perubahan pasar (market shift) di beberapa daerah. Misal di Canggu, Uluwatu, dan Ubud dimana sebagian profil wisatawannya berubah menjadi semakin “long stay” dengan maraknya digital nomad yg mendorong terjadinya kenaikan harga sewa (rata2 30% – 50%) properti khususnya villa dan “privateaccommodation.

Fenomena ini perlu dicermati dan bisa berlanjut pada model bisnis baru untuk jenis-jenis akomodasi tertentu khususnya yang memang cocok untuk gaya hidup “new emerging market” tersebut. Pemerintah (dan industri) seharusnya jeli melihat hal ini dan tidak terjebak dalam model bisnis lama dalam industri hospitality yang berkembang dan berubah pesat (salah satunya diakselerasi dengan digitalisasi pariwisata).

Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua segmen akomodasi mengalami “over supply“, ada segmen tertentu yg masih “under supply” namun inipun berpotensi mengalami over supply bilamana tidak dicermati. Banyaknya investasi “tidur/seasonal business” (apalagi yang dimiliki asing secara ilegal)” bisa mengganggu struktur harga dan keseimbangan pasar.

Catatan: inflasi di Bali yang mencapai 6+% kiranya berperan juga dalam hal peningkatan harga akomodasi diatas.

Wisatawan yang Datang ke Bali

– Ekonomi dunia saat ini yang cenderung menurun berakibat pada pengetatan pengeluaran yang diperkirakan akan berdampak pada pilihan destinasi yang lebih terjangkau bagi kebanyakan kelas menengah pasar.

– Hubungan antara “low spender tourists” dengan kelakuan buruk: perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Namun dapat dianalisa sebagai berikut:

– Murah/affordable: higher volume (target jumlah wisatawan)

– Semakin banyak yang datang semakin banyak pula (volume/kuantitas) yang berpotensi menimbulkan masalah

– Tidak ada jaminan bahwa “high spending tourists” tidak menimbulkan masalah. Ekspektasi “high spending tourists” berbeda dengan “low spending” dan bilamana ekspektasi tersebut tidak terpenuhi maka masalah/komplain pun bisa terjadi.

“High spending” hanya bisa dicapai bilamana kualitas destinasi sesuai dengan harga tinggi yang ditawarkan. Konsekuensinya volume pasar berkurang.

Kesimpulan

Produk-Market Fit
– High price-Low Volume
– Over supply-Over Carrying Capacity 
– Inflasi
– Urbanisasi
Local own business
– Tourism economic leakage
– Miss behave-local example-law enforcement

Penulis: Cipto AG (Pemerhati Pariwisata Indonesia)
Editor: Dimas Adi Putra

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life