Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras tindak kekerasan seksual yang diduga terjadi di Pondok Pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat yang diduga dilakukan oleh LMI (43) dan HSN (50).
Keduanya merupakan pimpinan lembaga dan diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023 dan diantaranya 3 (tiga) orang korban telah membuat laporan polisi. Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan kasus dengan modus diantaranya “janji masuk surga” melalui “pengajian seks”. Ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat. Bahkan, terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16–17 tahun.
“Terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan. Tidak hanya melindungi anak tapi juga seharusnya menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini terduga pelaku justru melanggarnya dengan melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada anak didiknya,” tegas Nahar.
Nahar mengemukakan apabila perbuatannya memenuhi unsur Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terduga pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan. Korbannya lebih dari 1 (satu) orang, dan perbuatannya dilakukan berulang.
Maka pelaku terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Ancaman hukuman maksimal dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan. Yakni pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Penegakan hakum kasus ini diharapkan juga dapat memperhatikan dan menggunakan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dimana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan. Termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual.
“Berpedoman pada UU No. 17 Tahun 2016 dan UU 12 Tahun 2012, KemenPPPA mendorong Aparat Penegak Hukum agar dapat memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan hak-hak korban dapat dipenuhi,” tegas Nahar.
Nahar berharap kepolisian dapat terus mendalami dan mengembangkan kasus ini. Termasuk dapat membuka layanan pengaduan bersama untuk mengantisipasi masih ada korban lainnya yang belum berani lapor karena berbagai alasan.
KemenPPPA, akan terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban TPKS ini yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinsos-PPPA. Bersama UPTD PPA Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur, LBH Apik, serta Lembaga pendamping korban lainya.
Editor: Nabila Tias Novrianda
PENDAFTARAN sekolah kedinasan 2024 dibuka mulai 15 Mei, seleksi terbuka untuk 8 kementerian/lembaga penyelenggara yang terdiri atas 30…
KEPALA Kanwil Kemenag Daerah Istimewa Yogyakarta Dr. Masmin Afif, M.Ag menyampaikan, waiting list jemaah haji…
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Pattrick Wauran menilai, perputaran uang saat pelaksanaan Idul Adha…
Menjelang Juni 2025, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengubah aturan teknis Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS…
Rencana Perjalanan Haji (RPH) 1445 H/2024 M telah diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Pemberangkatan perdana…
Aku pandang sejauh mata memandang, melihat awan menutup bukit di ufuk Barat, menyibak tirai jendela…