Home » Partai Golkar: Kuat di Pileg, Loyo di Pilpres

Partai Golkar: Kuat di Pileg, Loyo di Pilpres

by Administrator Esensi
3 minutes read
Ketum Golkar, Airlangga Hartarto

ESENSI.TV - JAKARTA

Sejak dibentuk dan mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1971, Partai Golkar tumbuh menjadi partai terbesar di Indonesia.  

Bahkan di masa Orde Baru, Pemerintah mewajibkan semua ASN/PNS, pegawai BUMN, pejabat Pemerintah non-PSN, TNI/Polri dari pusat hingga tingkat dusun masih menjadi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). 

Ini tentu memperkuat partai kuning karena KORPRI adalah Kelompok Induk Organisasi (KINI) Partai Golkar. 

Ross H McLeod dalam bukunya bertajuk Indonesia Assessment 1994: Finance as a Key Sector in Indonesia’s Development, Institute of Southeast Asian, menyebutkan tahun 1993, Ketua Umum Pengurus KORPRI Pusat mengatakan KORPRI tidak akan mentolerir anggota-anggotanya untuk memilih selain Golkar. 

Tidak heran, jika selama era Presiden Soeharto, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara. Dalam Pemilu 1987, menguasai 299 kursi di DPR RI. Menjelang pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden tahun 1997, Golkar juga meraih suara mayoritas sebanyak 70,2%. 

Partai Golkar Tidak Pernah Redup Meski Era Berganti

Nah, era orde baru berganti dengan era reformasi, tetapi ternyata sinar Partai Golkar tidak pernah redup. Pada Pemilu setelah reformasi, Pemilu yang seharusnya digelar tahun 2002, dipercepat menjadi tahun 1999. 

Namun, Golkar masih memenangkan 22% suara rakyat dalam pemilihan calon anggota legislatif (Pileg), atau peringkat kedua setelah PDI Perjuangan yang menempati peringkat pertama.

Padahal, setelah Soeharto lengser dari jabatannya tahun 1998, tidak ada lagi keharusan bagi PNS, TNI/Polri atau pegawai BUMN untuk memilih partai ini. Selain tak ada lagi keistimewaan bagi Golkar, jumlah partai melonjak dari hanya tiga partai menjadi 48 partai.

Bahkan di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, Partai Golongan Karya kembali menjadi pemenang Pemilu di tahun 2004. Golkar mendapatkan 127 kursi atau 23,09% dan meraih suara 21,58% rakyat. Mengalahkan PDI Perjuangan dengan 109 kursi atau 19,82% dengan perolehan suara di Pileg 18,53%.

Dalam tiga musim pesta demokrasi terakhir, Golkar juga bertahan menjadi partai papan atas di Tanah Air. Tahun 2009, Golkar mendapatkan 107 kursi atau 19,2% di DPR RI, setelah meraih 14,5% suara dalam Pileg, terbesar kedua.

Tahun 2014, Golkar mendapatkan 91 kursi atau 16,3% di DPR RI setelah mengumpulkan 14,75% hasil Pileg sebagai peraih suara terbesar kedua. Terakhir, tahun 2019, Golkar mendapatkan 85 kursi atau 14,8% di DPR RI, setelah memenangkan dukungan 12,31% rakyat Indonesia di Pileg. 

Hal ini jelas menunjukkan para caleg Partai Golkar memiliki kapasitas dan kemampuan yang sangat baik. Apalagi sejak tahun 2020, Partai Golkar mendirikan Golkar Institute sebagai wadah pelatihan dan Kawah Candra dimuka bagi para calon kader dan kader Golkar menimba ilmu seputar kebijakan publik, pemerintahan, ketatanegaraan, dan politik. Ilmu ini tentu sangat dibutuhkan setiap anggota parlemen saat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.

Prestasi Caleg Kurang Sejalan dengan Capres 

Prestasi para calon legislatif (caleg) Golkar pada Pileg ternyata kurang sejalan dengan sejak era reformasi hingga kini. Kader Golkar belum pernah lagi berhasil memasuki Istana Negara sebagai Presiden Republik Indonesia. Contohnya, meski menang Pemilu tahun 2004, Capres Golkar Wiranto dan Salahuddin Wahid gagal mewujudkan target itu.

Baca Juga  Tarif Tol Tangerang-Merak Naik Mulai 3 Januari 2023

Pilpres dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang diusung partai baru, yaitu Demokrat, PBB dan PKPI.

Demikian juga Pilpres tahun 2014, Capres Golkar, yaitu Prabowo-Hatta dikalahkan oleh Jokowi-Jusuf Kalla. 

Pada saat itu, viral pernyataan sejumlah senior Partai Golkar. Fahmi Idris, Ginandjar Kartasasmita dan Suhardiman menyampaikan di ruang publik bahwa Abu Rizal Bakrie alias Ical gagal mewujudkan harapan besar itu. 

Sejumlah pengamat menilai kegagalan Golkar dalam Pilpres terjadi karena kisruh dan konflik yang masih ada di internal partai. Akibatnya, banyak kader yang menilai tidak dihargai atau tidak mendapatkan tempatnya.

Contohnya, Wiranto yang mendirikan Hanura, Surya Paloh membangun Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Prabowo Subianto menciptakan Partai Gerindra. 

Terbaru adalah, salah satu kader Golkar yang dinilai sebagai tokoh karismatik, Dedi Mulyadi, mundur dari Golkar. Surat pengunduran diri Dedi Mulyadi itu ditujukan untuk Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto diteken tanggal 10 Mei 2023.

Singkatnya Golkar kuat di Pileg, namun loyo di Pilpres. Tidak hanya di internal politisi senior Golkar, kondisi ini juga sangat disayangkan oleh para pengamat politik di Tanah Air. 

Contohnya, Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom, Pratama Ari Junaedi dalam berbagai kesempatan kepada media mengatakan Golkar harus percaya diri. Tentunya dengan modal posisinya di DPR RI dan DPRD provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia.

Betapa tidak, dari sekian banyak partai, Partai Golkar masih berada di posisi tiga besar DPR RI. Sebanyak 85 kursi atau sekitar 12% DPR RI diduduki kader Partai Golkar.

Modal Besar Partai Golkar

Menurut Pratama, dengan posisi ini sebenarnya Golkar bisa memaksimalkan perannya dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PPP dan PAN. Namun sayang, justru Golkar seperti kehilangan arah. 

Airlangga Hartarto tidak kunjung menunjukkan ketegasan soal siapa Capres atau Cawapres Golkar. Bahkan membuka koalisi besar yang ternyata di sana juga, Golkar tidak berani tegas bersikap.

Sikap yang plin plan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh Golkar yang tidak siap menjadi partai oposisi. Golkar berharap bisa tetap berada di lingkaran kekuasaan setelah Pemilu 2024.

Sinyal ini disampaikan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto setelah bertandang ke kediaman Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Airlangga menginginkan supaya pihak-pihak yang menjadi pemenang dalam Pemilu 2024 tidak bersikap sapu bersih atau the winner takes it all.*

Writer: Rusmin Effendy, MH (Pengamat Politik)

Editor: Addinda Zen/Raja H. Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life