Site icon Esensi TV

PBNU dan PP Muhammadiyah Sepakat Tolak Politik Identitas di Pemilu 2024

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima kunjungan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Kamis (25/5/2023). Foto: NU

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sepakat menolak politik identitas di Pemilu 2024.

Di sisi lain, PBNU dan PP Muhammadiyah sepakat untuk mengedepankan kepemimpinan moral dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun depan.

Politik identitas di Pemilu dinilai sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan perpecahan, di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan politik identitas hanya mengedepankan identitas kelompok-kelompok primordial.

“Praktik ini sangat berbahaya bagi integritas masyarakat secara keseluruhan. Sebab politik identitas mendorong perpecahan masyarakat,” jelasnya, seusai menerima kunjungan pengurus PP Muhammadiyah di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Dia mengatakan politik identitas merupakan praktik politik yang hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial.

Gus Yahya juga mengatakan calon pemimpin yang mengutamakan identitas primordial, biasanya tidak memiliki kompetisi yang lebih rasional dan visioner.

Padahal, ujarnya, masyarakat membutuhkan tawaran-tawaran agenda yang bisa dipersandingkan antara satu kompetitor dengan lainnya.

“Maka saya sering katakan, kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam, bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU”.

“Jadi kami nggak mau nanti ada kompetitor (mengatakan-red) ‘pilih orang NU’. Kita nggak mau itu. Kalau mau bertarung harus dengan tawaran-tawaran yang rasional,” ucap Gus Yahya.

Politik Primodial Membawa Polarisasi

Senada dengan Gus Yahya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengatakan primordial yang dimaksud Gus Yahya adalah berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

“Karena menyandarkan primordial SARA, lalu sering terjadi politisiasi sentimen-sentimen atas nama agama, suku, ras, golongan, yang kemudian membawa pada polarisasi. Bahkan di tubuh setiap komunitas dan golongan, itu bisa terjadi,” jelas Prof Haedar.

Setelah menjelaskan tentang bahaya politik identitas itu, Prof Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah bersama NU telah selesai soal penolakan terhadap politik identitas.

Pada kesempatan itu, dia mengajak seluruh kontestan politik menjalankan praktik politik yang rasional.

“Mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif, rasional, dan yang ada di dalam koridor demokrasi yang modern,” jelasnya.

Di dalam pertemuan itu, PBNU dan PP Muhammadiyah juga sepakat untuk mengedepankan kepemimpinan moral dalam menghadapi Pemilu 2024.*

Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

#beritaviral
#beritaterkini

Exit mobile version