Home » Peneliti CIPS Sebut Sektor Perdagangan Indonesia Berpotensi Terkena Dampak Resesi Global

Peneliti CIPS Sebut Sektor Perdagangan Indonesia Berpotensi Terkena Dampak Resesi Global

by Junita Ariani
2 minutes read
resesi

ESENSI.TV - JAKARTA

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran, mengatakan sektor perdagangan Indonesia berpotensi terkena dampak dari resesi global. Hal itu dapat menghentikan surplus perdagangan yang dinikmati Indonesia sejak beberapa waktu terakhir.

Hasran mengatakan, surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan crude palm oil (CPO) akan terhenti. Hal ini disebabkan penurunan permintaan dan harga untuk komoditas tersebut di pasar global.

Kalangan industri kemudian harus membayar biaya bunga pinjaman lebih tinggi, dan untuk meminimalisirnya maka langkah yang dilakukan adalah mengurangi produksi dan jumlah tenaga kerja.

“Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait,” kata Hasran dilansir dari antaranews.com, Jumat (20/1/2023).

Namun secara keseluruhan, Hasran mengatakan bahwa Indonesia relatif aman dari resesi yang diperkirakan baru akan berakhir pada akhir 2023 atau awal 2024.

Relatif amannya Indonesia dari resesi tersebut terjadi karena pemerintah menerapkan kebijakan makro yang responsif dalam hal pengendalian inflasi.

“Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani,” kata Hasran.

Resesi merupakan situasi memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan produk domestik bruto (PDB), meningkatnya pengangguran, dan penurunan produktivitas di sektor riil.

“Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya menekan inflasi,” ujarnya.

Hasran menuturkan dampak dari kebijakan makro yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengendalikan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi terlihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran 5 persen sepanjang 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5,5 persen.

Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1 persen, jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang.

Baca Juga  Sah! Pertamina Ambil Alih 20% Blok Masela Dari Perusahaan Inggris Shell

Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yakni setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

Sementara itu, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa semenjak pulih dari pandemi COVID-19, data kemiskinan per Maret 2022 menunjukkan penurunan sebesar 0,60 persen dibanding Maret 2021.

Namun, ketika inflasi menghantam perekonomian, kemiskinan kembali meningkat sebesar 0,03 persen di September 2022.

Masyarakat berpenghasilan rendah harus mengalokasikan konsumsinya pada pos-pos yang lebih penting berdasarkan skala prioritas, seperti mengurangi pengeluaran di luar konsumsi pangan.

Pada saat yang sama, pemerintah perlu mempertimbangkan alokasi bantuan sosial yang lebih terarah dan lebih menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.

Berkurangnya permintaan di Eropa dan Amerika sebagai dampak dari krisis biaya hidup itu akan mempengaruhi produksi dan margin perusahaan-perusahaan multinasional atau perusahaan manufaktur di Indonesia.

“Dalam masa ini, perusahaan akan bisa saja melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sedangkan lapangan pekerjaan baru yang dibuka akan lebih sedikit,” ujar Hasran.

Sebelumnya, untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi, Bank Indonesia terus memperkuat respons bauran kebijakan dengan sejumlah langkah, antara lain memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga secara terukur di pasar uang sesuai dengan kenaikan suku bunga BI7DRR.

Suku bunga acuan BI alias BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) naik sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen pada Kamis (19/1/2023).

Stabilisasi nilai tukar rupiah juga diperkuat sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama inflasi barang impor, melalui intervensi di pasar valas dengan transaksi spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian/penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Instrumen operasi moneter valas berupa term deposit valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) juga diimplementasikan sebagai instrumen penempatan DHE oleh eksportir melalui bank kepada Bank Indonesia. *

Editor: Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life