Home » Penyerangan Mahasiswa di Pamulang: Indonesia Alami Gejala Pelemahan Ekosistem Toleransi  

Penyerangan Mahasiswa di Pamulang: Indonesia Alami Gejala Pelemahan Ekosistem Toleransi  

by Nazarudin
2 minutes read
doa rosario

ESENSI.TV -

SETARA Institute, sebuah lembaga think tank hak asasi manusia dan keberagaman menilai kasus penyerangan terhadap mahasiswa Katolik yang sedang melaksanakan ibadah rosario menunjukkan gejala pelemahan toleransi. 

Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute mengatakan peristiwa tersebut menunjukkan intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan yang dijamin konstitusi. 

Menurut dia ada dua faktor utama yang mendorong kejadian tersebut yaitu intoleransi di kalangan masyarakat dan kegagalan elemen negara, dalam konteks ini RT/RW sebagai unsur negara di tingkat terkecil, di ranah masyarakat, untuk menjamin hak kebebasan beragama warga. 

“Ketiga, upaya pihak kepolisian untuk mendamaikan para pihak  mesti kita apresiasi. Tapi perlu memastikan dugaan tindak pidananya,” ujar dia, Selasa (7/5). 

Sebelumnya sejumlah mahasiswa Katolik di Universitas Pamulang diduga diserang warga saat melangsungkan doa rosario di tempat kos mereka. Tiga orang luka akibat peristiwa ini dan seorang warga ditangkap polisi. 

Dalam video berdurasi 50 detik yang beredar di berbagai media sosial menunjukkan sekelompok warga berkumpul di depan rumah warga.

Beberapa dari mereka berlarian dan berusaha mendobrak pintu rumah yang diduga menjadi tempat mahasiswa Katolik itu beribadah.

Seorang warga berteriak dari dalam “Tolong.. tolong..” sementara warga lainnya berusaha melerai dengan berteriak “Sudah.., sudah!”. 

Menurut data SETARA Institute menunjukkan, pada periode 2007-2022 tercatat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia. 

Baca Juga  Kemenag Siap Berangkatkan Ratusan Mahasiswa Kuliah di Luar Negeri, 19 ke AS

Pada 2023, YLBHI mencatat berbagai kejadian yang diduga mengganggu kebebasan beragama. Antara lain penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur; penutupan tempat ibadat Gereja Kristen Protestan Simalungun di Purwakarta, Jawa Barat, penutupan (sementara) Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah; penolakan pembangunan vihara di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat; dan penolakan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen, Aceh Darussalam.

Menurut Halili, penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran kebebasan beragama. 

“Lemahnya penegakan hukum sering terjadi berkenaan dengan pelanggaran kebebasan beragama, hal ini secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban,” ujar dia. 

Perlu pembangunan ekosistem toleransi 

Banyaknya kasus pelanggaran kebebasan beragama menurut Halili harus menjadi perhatian. 

Hal yang bisa dilakukan adalah membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat. 

Ekosistem toleransi ini mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik. 

Walikota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi. 

Selain itu diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat Kecamatan dan RT/RW. 

“Seluruh elemen masyarakat terkait, baik entitas resmi, majelis keagamaan, budayawan dan lain-lain perlu terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi,” ujar dia. 

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life