Home » Rasionalitas Kehadiran Poros Keempat

Rasionalitas Kehadiran Poros Keempat

by Achmat
3 minutes read

ESENSI.TV - JAKARTA

Realitas politik berubah setelah PDIP dalam gerak cepat dan mendadak mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden dari PDIP.  Sendiri dan secara mandiri PDIP dapat mengusung calon presiden sendiri. Dengan keputusan Megawati tersebut, tanpa konsultasi dengan Jokowi, kontroversi dan pertentangan pengusung Puan Maharani dan pengusung Ganjar Pranowo selesai.

Tetapi masalah baru muncul, kekuatan politik Jokowi dan PDIP bersaing dengan implikasi baru pada peta politik nasional dan mulai terjadi proses koalisi yang semakin mengerucut pada tiga calon dengan kekuatannya masing-masing.

Kehadiran Jokowi menjadi faktor signifikan yang tidak biasanya karena dalam pilpres sebelumnya, presiden yang akan mundur tidak terlibat langsung dalam politik praktis mengarahkan calon presiden penerusnya.

Presiden Habibie, Megawati dan SBY tidak ‘cawe-cawe’ ikut masuk ke dalam politik praktis pilpres. Mereka memilih menjadi negarawan setelah masa jabatannya habis.

Jokowi lain lagi, ikut terlibat dan partai-partai ingin mendapatkan manfaat dari dukungan politik Jokowi. Akibatnya, peta baru pilpres menjadi aneh dan berbeda dibandingkan lima tahun sebelumnya, tapi juga menarik bagi lainnya.

KIB, Relawan Jokowi dan Pilihan Politiknya

Tetapi kemudian KIB yang kecenderungannya akan mengusung Ganjar Pranowo bersama Jokowi kehilangan angin dan secara mengejutkan mulai berbalik untuk mengusung Prabowo Subianto.

Hal itu diperkuat oleh relawan Jokowi yang mencetuskan memilih Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden, yang akan mungkin diusung oleh Jokowi.

Pertentangan dan perselisihan elit kemudian semakin meluas dan bahkan menjadi lebih keras dalam hal capres. Patut diduga hal itu akan berlanjut semakin tegang saat kampanye dan saat pilpres nanti.

Pilpres belum mulai tetapi ketegangan di lapangan sudah mulai panas karena banyak sekali upaya-upaya mengganjal Anies karena berseberangan dengan Jokowi.

Itu terlihat dari Presiden tidak mengundang Nasdem ketika mengundang partai-partai politik yang dianggap koalisi di bawah Jokowi.

Pertentangan yang keras telah terjadi antara Nasdem vs Jokowi selama beberapa bulan terakhir ini dan mungkin akan terus berlanjut ke depan.

Calon Presiden Pusing dengan Cawapres?

Pertentangan elit baru yang berikutnya terjadi selama beberapa minggu terakhir ini ketika Jokowi berseberangan dengan PDIP setelah mengusung Ganjar Pranowo secara tiba-tiba dan mendadak.

Usana-usaha untuk menyatukan Ganjar dan Prabowo yang masih tahap awal, bubar dan memang hampir tidak mungkin lagi. Implikasinya, secara rasional calon presiden nanti kemungkinan akan ada tiga pasangan.

Semua atau ketiga calon presiden tersebut juga pusing dengan calon wakil presidennya masing-masing. Ini merupakan masalah tersendiri yang sangat mungkin akan terwujud last minutes, seperti Mahfud digantikan Ma’ruf Amin.

Dimanakah Posisimu, KIB?

Jadi KIB bubar atau hampir bubar, apalagi PPP sudah menyeberang lebih dahulu ke PDIP walau pun belum final.

PPP tempatnya bukan disitu karena arus bawahnya berkiblat ke Calon Presiden yang lain. Ini merupakan faktor ketidakstabilan baru di PPP sendiri sehingga pasca Jokowi pasti akan ribut kembali karena perubahan kepemimpinan PPP adalah pesanan dari luar.

Baca Juga  Jokowi Resmikan 3 Jembatan Callender Hamilton di Banten, Berusia Lebih 40 Tahun

Yang tersisa adalah partai besar di masa lalu, yaitu Golkar. Meski sekarang Golkar terlihat lemah dan sudah diobang-ambingkan faktor dan kekuatan eksternal. Apalagi PAN dan PKB sedang melakukan reorientasi kemana arah dukungan selanjutnya setelah KIB bubar.

Namun, momentum transisi ini sangat berpeluang besar bagi Golkar dan PAN untuk membuat membuat poros ke-4 demi memperkuat ketahanan partai. Sebab jika mengekor saja, maka partai pengekor tidak akan mendapat tambahan suara, kecuali dapat jatah menteri di kemudian hari.

Golkar, Partai Besar dan Paling Stabil

Golkar pernah besar dan partai paling stabil pada saat ini. Golkar sebenarnya berkehendak untuk membuat debut sendiri dan mengusung Capresnya karena diharapkan akan berdampak pada elektabilitas partainya.

Ini merupakan peluang untuk berkiprah mengusung pasangan sendiri sehingga bisa membuat peta politik baru menjadi 4 pasangan dan koalisi baru Golkar-PAN cukup untuk mengusungnya.

Jika Golkar-PAN bergabung dengan 6 koalisi partai dan mengusung prabowo, maka Golkar hanya akan menjadi partai pengekor. Tentu saja dampak positifnya hanya akan dinikmati Partai Gerindra. Sementara Golkar tidak mendapat apa-apa dalam hal votes, kecuali jatah menteri. Itu pun jika menang.

Ini sebenarnya kesempatan atau peluang besar bagi Golkar-PAN dan partai tengah lain untuk berkiprah mengusung calonnya sendiri. Jika Golkar mengusung Airlangga Hartarto maka dinamika partainya akan hidup selama pilpres, daripada mengusung kader partai lain. Wakil dari kader PAN bisa bergabung dengan Golkar.

Apalagi jika Golkar berhitung matematis votes secara strategis mengusung kader barunya, Ridwan Kamil, sebagai calon presiden. Tentu suara Jawa Barat akan disapu bersih. Golkar akan mendapat manfaat besar dalam demokrasi terbuka ini.

Koalisi Harus Hindari Dominasi Kekuasaan Otoriter

Koalisi yang lebih tersebar menghindari dominasi kekuasaan yang otoriter seperti sekarang ini. Koalisi 82 persen di parlemen menyebabkan demokrasi terancam dengan wajah pemerintah dan aparat yang sudah otoriter.

Tentu strategi koalisi pilpres seperti ini dengan poros baru keempat akan menyebabkan pilpres dua tahap masuk ke perputaran kedua. \

Dua pasangan akan lanjut, partai-partai yang kalah berada di posisi ketiga dan keempat akan berhitung lagi dengan pembentukan koalisi baru.

Golkar dan PAN tidak akan kehilangan kesempatan berkiprah pada putaran kedua ini.

Sedikitnya, ada tiga kemungkinan pasangan yang siap selama hampir setahun terakhir ini berdasarkan elektabilitas tiga calon yang ada.  Dengan komposisi tiga pasangan calon tersebut, maka tidak mungkin pilpres berjalan satu putaran.

Masuknya poros keempat Golkar-PAN tidak akan mengubah kemungkinan itu. Artinya, Golkar-PAN bisa menjajal ikut pesta demokrasi di pilpres sehingga akan mengambil keuntungan elektabilitas partainya.

Jadi, inisiatif poros keempat bisa dikatakan rasional dilihat dari kepentingan partai-partai yang terus bersaing satu sama lain.

 

Oleh Prof. Dr. Didik J. Rachbini (Rektor Universitas Paramadina)

(naskah diedit dan disesuaikan oleh redaksi esensi.tv)

 

Editor: Raja H. Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life