Home » Selamat Hari Sarung Nasional 3 Maret, Sejarah Hingga Simbol Perjuangan

Selamat Hari Sarung Nasional 3 Maret, Sejarah Hingga Simbol Perjuangan

by Junita Ariani
2 minutes read
sarung

ESENSI.TV - JAKARTA

Bagi masyarakat Indonesia sarung atau kain sarung bukanlah hal yang baru. Sejak zaman dulu kain sarung sudah digunakan.

Tidak hanya ibu-ibu saja, kaum pria pun banyak yang mengenakan kain sarung. Baik untuk sholat maupun untuk acara-acara tertentu.

Bahkan sarung menjaid kain tradisional Indonesia yang sudah membudaya hingga saat ini. Penggunaannya sudah semakin luas termasuk di acara resmi dan kenegaraan.

Karena itulah, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Hari Sarung Nasional pada 3 Maret 2019. Penetapan Hari Sarung itu dilakukan di acara Sarung Fest di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta.

Hari Sarung Nasional memiliki makna sebagai kekayaan budaya yang tidak dimiliki bangsa dan negara lain.

Sejarah Sarung

Dilansir dari berbagai sumber, Jumat (3/3/2023), sarung muncul di Indonesia sejak abad 14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah.

Pada awalnya, sarung dipakai suku badui yang tinggal di Yaman. Namun saat itu sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel, pewarna kain hitam untuk membuatnya agar tidak cepat terlihat kotor.

Adapun, di negeri Timur Tengah itu sarung dikenal dengan nama futah, izaar atau ma’awis. Di Oman, namanya wizaar. Sementara orang Arab menamainya izaar yang kelak juga terus mengalami transformasi motif.

Seiring waktu, penggunaan sarung ikut meluas ke berbagai wilayah di dunia termasuk Indonesia yang dibawa oleh mereka yang berasal dari Semenanjung Arab.

Tak hanya itu, persebarannya juga mencapai ke Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.

Di Nusantara, sarung masuk pertama kali diperkirakan pada abad ke-14. Saat itu sarung dibawa para saudagar Gujarat dan Arab yang juga turut menyebarkan agama Islam.

Baca Juga  Dunia Dinosaurus Zaman Mesozoikum

Karena itu dalam perkembangannya sarung identik dengan kebudayaan Islam.

Dikutip dari buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (2005) karya Denys Lombard, dalam memoar Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten.

Menunjukkan bahwa sampai sekitar 1902, masyarakat Jawa masih memakai sarung, jas model Jawa, dan kain tutup kepala yang disebut destar.

Kendati demikian, kebudayaan bersarung kemungkinan sudah ada di berbagai suku di Indonesia jauh sebelum itu. Beberapa di antaranya dapat dilihat dari berbagai daerah yang mewariskan peradaban ini.

Seperti suku Bugis di Sulawesi Selatan, atau masyarakat Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Simbol Perjuangan

Saat pemerintah kolonial Belanda masih menjajah Indonesia, sarung juga identik dengan simbol perjuangan melawan budaya barat. Saat itu, para santri di bawah kungkungan Belanda menggunakan sarung sebagai bentuk nasionalisme.

Ketika itu, masyarakat santri merupakan salah satu golongan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung. Padahal, pada saat yang sama kaum nasionalis hampir meninggalkan busana ini. Menggantinya dengan celana formal yang dianggap lebih praktis dan modern.

Sikap konsisten ini salah satunya dijalankan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdlatul Ulama (NU).

Dia diundang Presiden Soekarno ke Istana Negara yang memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi saat berkunjung.

Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, dia justru datang menggunakan jas tetapi bawahannya mengenakan kain sarung.

Padahal, umumnya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang. Sikap sang kiai mengenakan sarung ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah

Kini, sarung sudah menjadi simbol budaya bangsa yang patut dibanggakan. Selamat Hari Sarung Nasional!

#beritaviral
#beritaterkini

Email : junitaariani@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life