Home » Siapa Berani Jadi Politisi? Ini 4 Alasan Mengapa Kaum Muda Perlu Terlibat di Politik

Siapa Berani Jadi Politisi? Ini 4 Alasan Mengapa Kaum Muda Perlu Terlibat di Politik

by Erna Sari Ulina Girsang
3 minutes read
Ilustrasi politisi muda. Foto: Image by Wiroj Sidhisoradej on Freepik

ESENSI.TV - JAKARTA

Agar sistem politik bisa representatif, seluruh lapisan masyarakat harus diikutsertakan, termasuk kaum muda. Berdasarkan data BPS, dalam sistem Pemilu Indonesia, kaum muda adalah WNI dikisaran 17 hingga 35 tahun.

Alasannya, ketika dunia politik yanga dikuasai oleh kelompok senior, maka hak-hak generasi muda berpotensi terabaikan.

Singkatnya, konsekuensi jika kaum muda tidak terlibat dalam dunia politik adalah ada konsekuensi  melemahnya keterwakilan pemuda di sistem politik.

Menurut penelitian, The Electoral Knowledge Project (ACE), untuk membuat perbedaan dalam jangka panjang, penting bagi generasi muda untuk terlibat dalam proses politik formal dan mempunyai suara dalam merumuskan politik saat ini dan masa depan.

Partisipasi politik yang inklusif bukan hanya merupakan hak politik dan demokrasi yang mendasar.

1. Menampung Kebutuhan Spesifik Anak Muda

Namun,  juga penting untuk membangun masyarakat yang stabil dan damai serta mengembangkan kebijakan yang menanggapi kebutuhan spesifik generasi muda.

Agar kaum muda dapat terwakili secara memadai dalam institusi, proses, dan pengambilan keputusan politik, dan khususnya dalam pemilu, mereka harus mengetahui hak-hak mereka dan diberi pengetahuan serta kapasitas yang diperlukan untuk berpartisipasi secara bermakna di semua tingkatan.

Berikut 4 alasan mengapa kaum muda perlu terlibat langsung dalam dunia politik secara formal.

2. Meningkatkan Kepercayaan Diri Kaum Muda

Ketika ada hambatan untuk berpartisipasi dalam proses politik yang formal dan terlembaga, generasi muda akan segera merasa tidak berdaya.

Banyak yang cenderung percaya bahwa suara mereka tidak akan didengar atau bahwa mereka tidak akan dianggap serius meskipun didengarkan.

Permasalahan menjadi melingkar karena para politisi mungkin kehilangan minat untuk menanggapi aspirasi generasi muda jika mereka tidak dapat memenangkan suaranya.

Hal ini pada gilirannya menyebabkan generasi muda semakin dikucilkan dari pengambilan keputusan, atau dalam perdebatan mengenai isu-isu penting sosial-ekonomi dan politik, meskipun mereka sensitif terhadap tuntutan keadilan dan keadilan sosial, perlindungan lingkungan dan keragaman budaya.

Di negara-negara demokrasi baru dan baru berkembang, keterlibatan generasi muda dalam proses politik formal merupakan hal yang penting sejak awal.

Kontribusi aktif kaum muda dapat menghidupkan nilai-nilai demokrasi, yang mengarah pada penghapusan praktik otoriter.

Di negara-negara di mana generasi muda memimpin protes yang memaksa rezim otoriter turun dari kekuasaan, mereka mungkin akan merasa sangat frustrasi jika mereka tidak diikutsertakan dalam prosedur pengambilan keputusan formal yang baru. Hal ini dapat menggoyahkan demokratisasi dan mempercepat dinamika konflik.

Badan penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan pemilu lainnya mempunyai peran dalam mendorong partisipasi generasi muda dalam proses pengambilan keputusan formal. Agar peran ini efektif, perlu dipahami sifat saling terkait dari hambatan partisipasi dalam proses yang dihadapi generasi muda.

Baca Juga  Salam Metal Wapres di HUT PDIP Viral, Jubir: Bentuk Keakraban

3. Pemuda sebagai Agen Perubahan

Belum pernah ada begitu banyak anak muda yang terlibat dalam gerakan perubahan di seluruh dunia.

Mereka turun ke jalan dan menggunakan jejaring sosial dan komunitas online untuk terhubung, mengekspresikan suara mereka, dan berkampanye untuk perubahan.

Mereka memprotes rezim otoriter, korupsi, dan kesenjangan. Mereka berjuang untuk pembangunan berkelanjutan dan masa depan yang lebih baik bagi generasi sekarang dan generasi baru.

Namun, keterwakilan politik perempuan dan laki-laki muda masih terbatas.

Mereka semakin menuntut partisipasi yang lebih bermakna dalam proses pengambilan keputusan, sehingga mereka dapat mempunyai kendali lebih besar terhadap bagaimana kehidupan dan masa depan mereka dibentuk.

Meskipun kaum muda terlibat dalam aktivisme di ruang digital, melakukan protes, menjadi sukarelawan untuk memperbaiki komunitas mereka dan berinovasi demi kebaikan sosial, partisipasi dan pengaruh mereka dalam politik formal masih terbatas.

Tingkat partisipasi pemilih menurun di semua negara demokrasi dan terkonsentrasi di kalangan generasi muda.

Kaum muda kurang terwakili dalam posisi pengambilan keputusan politik dan keterlibatan mereka dalam partai politik semakin berkurang.

4. Masih Minim di Posisi Pengambilan Keputusan Politik

Secara global, partisipasi dan keterwakilan pemuda dalam proses politik kelembagaan dan pengambilan kebijakan relatif rendah.

Orang yang berusia di bawah 35 tahun jarang ditemukan di parlemen, administrasi publik, dan badan pengambil keputusan seperti komite pembangunan perdamaian dan pembangunan konstitusi.

Meskipun angka partisipasi pemilih resmi tidak selalu tersedia dari otoritas pemilu di seluruh wilayah, data yang dikumpulkan melalui survei yang dilakukan di berbagai wilayah memberikan gambaran yang mengecewakan.

Temuan yang disebutkan dalam “Youth Civic Engagement,” sebuah laporan PBB World Youth tahun 2016, mengungkapkan bahwa jumlah pemilih yang berpartisipasi telah menurun di semua negara demokrasi sejak tahun 1980an dan penurunan jumlah pemilih terkonsentrasi di kalangan generasi muda.

Hasil survei dari sampel 33 negara menunjukkan bahwa hampir 44 persen generasi muda berusia 18–29 tahun “selalu memilih”, dibandingkan dengan hampir 60 persen dari seluruh warga negara.

Angka tersebut lebih dari 70 persen di antara mereka yang berusia di atas 50 tahun. Lihat Inter-Parliamentary Union (IPU), 2018, Youth Participation in National Parliaments.*

Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

#beritaviral
#beritaterkini

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life