Humaniora

Miliaran Orang Sudah Berjuang Tapi Kalah Mencapai Target Diet, Ini Biang Keroknya!

Temuan baru-baru ini yang dilakukan oleh para peneliti di Harvard School of Public Health dan lembaga lain menunjukkan bahwa miliaran orang sedang berjuang dan kalah dalam menghadapi tantangan menurunkan berat badan.

Di seluruh dunia, diperkirakan 1 dari 3 orang dewasa mengalami kelebihan berat badan dan 1 dari 9 orang mengalami obesitas, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada bulan Februari 2011 di The Lancet.

Jumlah orang yang mengalami obesitas kini mencapai setengah miliar orang – dua kali lipat prevalensinya dalam waktu kurang dari tiga dekade.

Kelebihan berat badan tidak hanya menimbulkan ancaman bagi harga diri manusia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa penyakit yang berhubungan dengan obesitas, termasuk penyakit kardiovaskular dan stroke, diabetes tipe 2, dan kanker payudara, endometrium, kandung empedu, ginjal, usus besar, dan kerongkongan, merenggut sekitar 3 juta nyawa setiap tahunnya.

Statistik seperti ini membantu memacu penyelidikan terhadap potensi penyebab obesitas dan penyakit terkait—mulai dari apa yang kita makan.

“Penelitian pada tahun 1950an dan 60an pertama kali menunjukkan adanya hubungan antara makanan dan perkembangan kondisi kronis seperti penyakit jantung,” kata Walter Willett, seorang profesor kedokteran HMS dan Ketua Departemen Nutrisi di Harvard School of Public Health.

“Saat ini, kami terus menemukan bahwa banyak penyakit mungkin terkait dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti pola makan,” sambungnya seperti dilansir dari Harvard Medicine, Sabtu (27/4/2024).

Kunci untuk memberikan saran diet yang jelas dan akurat mungkin terletak pada jenis penelitian yang dilakukan para peneliti.

Willett telah menjadi kekuatan pendorong di balik beberapa studi epidemiologi terbesar mengenai nutrisi, termasuk Studi Kesehatan Perawat, Studi Kesehatan Perawat II, dan Studi Tindak Lanjut Profesional Kesehatan.

Nutrisi dan Penyakit

Ketiga penelitian ini telah mengidentifikasi hubungan yang kuat antara nutrisi dan penyakit, termasuk hubungan antara konsumsi daging merah dan peningkatan risiko kanker kolorektal.

Kemudian, konsumsi alkohol dan peningkatan risiko kanker payudara dan konsumsi lemak terhidrogenasi parsial (juga dikenal sebagai lemak trans) dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

Data ini telah membantu membentuk sebagian besar saran dan pedoman diet saat ini.

Tinjauan sistematis, di mana peneliti menganalisis penelitian untuk mencari tahu dan membandingkan persamaan dan perbedaan dalam hasil penelitian, dan meta-analisis dapat memberikan lebih banyak wawasan mengenai risiko makanan dan penyakit.

“Satu penelitian tidak pernah cukup untuk membuat atau menghancurkan temuan penting,” kata Eric Ding, instruktur HMS bidang kedokteran di Brigham and Women’s Hospital. Ding juga berafiliasi dengan Departemen Nutrisi di Harvard School of Public Health.

“Penelitian harus direplikasi berkali-kali untuk menunjukkan hubungan yang kuat antara nutrisi dan kesehatan.”

“Penelitian yang berbeda mungkin melihat dampak nutrisi pada berbagai populasi dengan berbagai latar belakang dan faktor risiko,” jelas Ding.

“Tinjauan sistematis dapat membantu menjelaskan variasi temuan di antara penelitian.”

Tinjauan tersebut juga dapat membantu peneliti dalam menunjukkan dengan tepat hubungan spesifik antara makanan dan penyakit sehingga pernyataan umum mengenai manfaat dan risiko dapat diperoleh dengan tepat.

Masakan Tanpa Lemak

Penelitian nutrisi juga dapat membalikkan kesalahpahaman tentang diet dan kesehatan. “Ada banyak keyakinan kuat dalam bidang nutrisi—seperti halnya agama,” kata Willett.

“Masalahnya adalah kekuatan keyakinan ini sering kali berbanding terbalik dengan kekuatan data.”

Ia mengacu pada keyakinan lama bahwa telur adalah penyebab utama penyakit kardiovaskular dan bahwa margarin adalah alternatif yang sehat dibandingkan mentega.

Dia mengatakan konsumsi telur tidak mempunyai hubungan nyata dengan serangan jantung dan bahwa lemak trans yang ditemukan dalam makanan olahan dan formulasi margarin sebelumnya, jauh lebih buruk bagi kesehatan jantung dibandingkan lemak jenuh dalam mentega.

Namun, perubahan besar dalam panduan pola makan ini terjadi setelah beberapa dekade penelitian yang dilakukan oleh Willett dan ilmuwan di lembaga lain.

Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang/Raja H Napitupulu

Raja H. Napitupulu

Recent Posts

Tips Mengisi Baterai Mobil Listrik dengan Cepat dan Efisien

Era keberlanjutan dan kesadaran lingkungan yang semakin meningkat, mendorong mobil listrik semakin menjadi pilihan populer…

16 mins ago

Pascabanjir Lahar, NaCl 3 Ton Disebar di Langit Kota Padang Sumbar

BADAN Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) kembali menggelar operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) di wilayah Sumatra…

11 hours ago

Ribuan Orang Aksi Bela Palestina di Titik Nol Kilometer Yogyakarta

RIBUAN orang dari berbagai elemen seperti Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersama…

12 hours ago

Pesawat Jatuh di BSD City Tangerang, Tiga Meninggal

PESAWAT dengan kode PK-IFP jatuh di Lapangan Sunburst BSD City, Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (19/5)…

13 hours ago

CEO SpaceX Lakukan Uji Coba Starlink di Denpasar

CEO SpaceX Elon Musk melakukan proses uji coba layanan internet Starlink di Puskesmas Pembantu Sumerta Klod, Denpasar, Bali. "Ini (Starlink) untuk…

14 hours ago

Gas Giant Tata Surya Kita, Inilah Fakta Menarik Jupiter

Jupiter, planet terbesar di Tata Surya, penuh dengan fakta-fakta menarik yang menunjukkan kehebatannya. Dengan diameter…

14 hours ago