Home » Pahlawan Wanita, The Sin Nio: Menyamar Demi Ikut Perang Lawan Penjajah

Pahlawan Wanita, The Sin Nio: Menyamar Demi Ikut Perang Lawan Penjajah

by Addinda Zen
3 minutes read
Pahlawan Wanita Sin Nio

ESENSI.TV - JAKARTA

Kisah perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan terus mengantarkan kita pada tokoh- hebat di baliknya. Salah satu pejuang Indonesia wanita terkuat masa itu ialah The Sin Nio (Teh Sin Nyo). Ia merupakan pejuang kemerdekaan asal Wonosobo, Jawa Tengah yang kisahnya perlu didengar dan diingat bangsa Indonesia. Pasalnya, The Sin Nio dengan berani menyamar sebagai pria demi ikut perang menggunakan bambu runcing melawan Belanda.

The Sin Nio merupakan bentuk nyata dari tokoh ‘Mulan’. Tokoh Disney ini memiliki kisah yang sama dengan Sin Nio. Keduanya menyamar sebagai laki-laki demi berjuang untuk negaranya.

Kala itu, kampung halaman Sin Nio, Wonosobo kerap menjadi target serangan Belanda. Awalnya, Sin Nio membantu pasukan perang bagian logistik. Ia berperan menyediakan makan untuk para prajurit. Statusnya sebagai keturunan Tionghoa, mengharuskan Sin Nio berbaur dengan pribumi dalam menyiapkan perbekalan berperang.

Sin Nio merasa perjuangannya tidak bisa terhenti hanya di situ. Melihat pejuang lain mempertaruhkan nyawa melawan Belanda, ia pun memutuskan untuk ikut turun berperang.

The Sin Nio akhirnya mengubah penampilan seperti prajurit laki-laki. Ia memangkas rambut pendek dan mengubah namanya menjadi Mochamad Moeksin. Berdasarkan artikel Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, disebutkan Sin Nio saat itu menjadi satu-satunya tentara perempuan di Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18.

Sin Nio tidak ragu melawan Belanda hanya bermodalkan golok, tombak, dan bambu runcing. Ia hanya memiliki senjata api jenis Lee-Enfield (LE) setelah merampas dari tentara penjajah.

Status Keturunan Tionghoa Sin Nio

Keluarga Sin Nio mengungkapkan sebagai keturunan Tionghoa, masih sering mendapat perlakuan yang buruk. Keluarga yakin, pengakuan Sin Nio sebagai pejuang perang kemerdekaan sulit didapatkan karena statusnya sebagai Tionghoa.

Rosalia Sulistiawati, cucu Sin Nio menyampaikan, dirinya juga pernah disebut sebagai perusak bangsa di sekolah. Pada masa Orde Baru ia mendapat pengalaman berupa perundungan verbal. Perlakuan seperti ini yang masih segar di ingatan Rosalia.

“Bagi saya yang di-bully di sekolah, diperlakukan berbeda saja sudah sedih. Apalagi Oma (Sin Nio) yang istilahnya memperjuangkan haknya bertahun-tahun. Itu nggak kebayang sedihnya,” ujar Rosalia.

Bahkan, Rosalia harus mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk mendapat pendidikan. Diskriminasi ini tidak sepatutnya didapatkan Rosalia yang memang lahir di Indonesia.

Baca Juga  Pembelajaran Inovatif di Era Digital: Tantangan dan Strategi

Masa Tua The Sin Nio

Sin Nio menghabiskan masa mudanya untuk Indonesia. Meski begitu, di masa tua ia justru terlantar minim pengakuan atas perjuangannya di masa lalu. Dikutip dari BBC (17/8), Sin Nio sempat menjadi gelandangan di Jakarta tanpa tempat tinggal yang jelas. Akhirnya, Sin Nio menempati gubuk liar di bantaran rel kereta.

Tidak sepadan, Sin Nio tinggal di gubuk liar berdominasi papan kayu yang berlokasi di pinggiran rel kereta, kawasan Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Bedeng berukuran 2×3 itu tidak layak disebut rumah. Tempat tidur sekaligus dapur juga dipenuhi suara penduduk lain yang juga tinggal di atas Sin Nio.

Rosalia Sulistiawati menjelaskan, kondisi rumah neneknya tidak nyaman untuk ditinggali sementara, apalagi untuk waktu yang lama. Rosalia juga menyampaikan, setiap kali kereta api melintas, seluruh bangunan ikut bergetar seakan mau runtuh.

The Sin Nio ternyata sudah memperjuangkan status veteran perang serta uang tunjangan sejak tahun 1973. Ia meninggalkan keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah menuju Jakarta.

Baru pada tahun 1976, surat pengakuan atas perjuangan Sin Nio dikeluarkan Mahkamah Militer Yogyakarta. Sin Nio memperoleh pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, pengakuan ini tidak datang bersamaan dengan hak pensiun.

Sin Nio masih harus berjuang untuk hidup di masa tuanya dengan menggelandang.

Sin Nio juga pernah mendapat janji dari pemerintah untuk memperoleh tunjangan perumahan, tapi belum sempat terealisasi sampai akhirnya ia tutup usia pada 1985.

November 2022 lalu, Komnas Perempuan mendorong nama The Sin Nio sebagai pahlawan nasional. Komnas Perempuan ingin mengubah persepsi ‘sejarah kepahlawanan hanya milik laki-laki’ yang melekat selama ini.

Keturunan Sin Nio terus menyebut, neneknya merupakan sosok yang sangat mencintai negara ini. Pemerhati budaya  Tionghoa terus berupaya mengangkat kembali kisah perjuangan Sin Nio. Harapannya, semua dapat memuliakan orang-orang dengan etnis apapun yang berjuang dan berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia.

 

Editor: Dimas Adi Putra

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life