Home » Waduh… Rupiah Anjlok di Momentum Lebaran, Ganggu Sektor Properti dan Farmasi  

Waduh… Rupiah Anjlok di Momentum Lebaran, Ganggu Sektor Properti dan Farmasi  

by Raja H. Napitupulu
3 minutes read
Dollar

ESENSI.TV - JAKARTA

Nilai tukar rupiah mencatat pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun 2024. Kurs acuan Bank Indonesia yaitu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada 5 April 2024. Penutupan perdagangan sebelum Libur Idul Fitri 1445 H, ada di Rp15.873, dari sebelumnya Rp15.439 pada penutupan tahun 2023.

Tekanan terhadap nilai tukar rupiah memang terus bergulir sepanjang tahun dengan sentimen eksternal jadi pendukung utama pelemahan rupiah, Jumat (12/4/2024). Terbaru, rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) mencatatkan inflasi inti Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI). Angka ini meningkat 0,4% dari bulan Februari, melampaui perkiraan selama tiga bulan berturut-turut.

Bila pasar dalam negeri, atau BI melangsungkan perdagangannya hari ini, ada potensi rupiah akan melanjutkan tren pelemahan. Mencermati lebih lanjut, sinyal pelemahan rupiah hari ini sudah mulai terasa, setelah perdagangan di pasar forward. Kontrak Non Deliverable Forward (NDF) rupiah 1 bulan sudah anjlok ke level Rp16.030/US$ di pasar New York, Amerika, kemarin.

Pagi ini rupiah di pasar NDF, mengutip Bloomberg, serta Investing juga sudah melemah menembus Rp16.060/US$.

Tekanan pada rupiah diprediksi masih akan berlanjut akibat dolar AS yang semakin perkasa melanjutkan penguatannya sejak awal tahun. Ini merupakan sinyal paling pasti dari pandangan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed yang akan semakin panjang ‘Higher for Longer’ dalam hal mempertahankan suku bunga acuan pada level tertinggi dalam dua dekade.

Menggerus Sektor Properti dan Farmasi

Pelemahan rupiah yang terus bergerak ke bawah diyakini memberikan tekanan kepada sektor-sektor properti dan farmasi. Khususnya sektor yang terkait erat dengan pembayaran menggunakan denominasi dolar Amerika Serikat (US$).

Pada sektor property misalnya, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Modernland Realty Tbk (MDLN), dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Diperkirakan utang perusahaan akan meningkat seiring dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Berikutnya sektor farmasi utamanya industri yang 90% bahan bakunya masih tergantung dari impor. Sektor itu akan membeli bahan baku dengan harga yang lebih mahal, dan menjadikan biaya-biaya terus meningkat dalam kinerja keuangannya.

Emiten-emiten yang bergerak di sektor industri farmasi diantaranya PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Indonesia Farma/Indofarma Tbk (INAF), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Soho Global Health Tbk (SOHO), dan PT Phapros Tbk (PEHA).

Baca Juga  The Wandering Earth: Kisah Epik Penyelamatan Manusia di Antariksa

Jika mencermati pergerakan indeks sektoral, sektor properti tercatat anjlok mencapai 8,97% dalam data statistik Bursa Efek Indonesia di sepanjang tahun 2024 (Year to Date/YtD), dan juga sektoral saham-saham farmasi, atau kesehatan yang melemah 0,33%.

Secara pergerakan harga sahamnya, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) ambles dengan anjlok mencapai 38,06% YtD ke posisi Rp895/saham. PT Phapros Tbk (PEHA) drop 18,75% ke posisi Rp520/saham, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) melemah 8,07% ke posisi Rp1.480/saham.

Lebih dalam, pergerakan harga saham INAF tertekan 56,9% di sepanjang tahun 2024 ini mengarah ke posisi Rp250/saham seiring depresiasi rupiah.

Sama halnya dengan pergerakan harga saham MDLN yang juga ambles 19,35% YtD hingga akhirnya parkir dan menetap di posisi ‘Gocap’ atau Rp50/saham. Hal ini mengindikasikan pelaku pasar cenderung wait and see terhadap emiten-emiten yang memiliki utang dalam berdenominasi dolar AS, juga beban biaya dalam hal impor.

 Pernah Terjadi Pada Tahun 2020

NIlai tukar rupiah yang melemah pada 2020 tersebut, sempat membuat Presiden Joko Widodo turun tangan. Menurutnya, sentimen pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia, membuat sektor keuangan di seluruh dunia mengalami guncangan dan kepanikan.

Pada saat itu, Jokowi mengaku telah berbicara dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Lembaga Penjaminan Simpanan untuk menjaga agar nilai tukar rupiah tidak kembali melemah.

Bahkan, secara khusus Jokowi meminta Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, di tengah tingginya tekanan.

Beban Tambahan Industri

Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi beban tambahan industri tekstil saat ini.

Sekjen APSyFI, Farhan Aqil mengatakan rupiah yang lesu dapat mengerek naik ongkos produksi mengingat bahan baku industri didominasi impor. Hal ini juga dapat menghambat peningkatan utilisasi produksi yang masih di bawah 50%.

Pemerintah diminta untuk mencari jalan keluar terhadap permasalahan tersebut, khususnya dalam mendukung geliat ekonomi yang tengah digenjot. Intinya, pemerintah harus mengoptimalkan waktu dan peluang yang ada untuk menyelamatkan nilai tukar rupiah.

 

Editor: Raja H. Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life