Home » Catatkan Sejarah, UGM Kukuhkan Guru Besar Termuda Ahli Inderaja Usia 35 Tahun

Catatkan Sejarah, UGM Kukuhkan Guru Besar Termuda Ahli Inderaja Usia 35 Tahun

by Junita Ariani
2 minutes read
UGM berhasil mencatatkan sejarah dengan mengukuhkan Prof Pramaditya Wicaksono, S.Si., M.Sc., sebagai guru besar termuda di usia 35 tahun 11 bulan.

ESENSI.TV - YOGYAKARTA

Universitas Gajah Mada (UGM) berhasil mencatatkan sejarah dengan mengukuhkan Prof Pramaditya Wicaksono, S.Si., M.Sc., sebagai guru besar termuda di usia 35 tahun 11 bulan.

Prama secara resmi menerima SK Pengangkatan Guru Besar bidang Penginderaan Jauh Biodiversitas Pesisir di Fakultas Geografi UGM pada 1 Juni 2023. Pengukuhan dilakukan, Selasa (13/2/2024) di Balai Senat UGM.

Pria kelahiran Semarang, 6 Juli 1987 ini menjadi guru besar termuda di UGM dengan memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang Prof. Agung Endro Nugroho. Yang meraih jabatan guru besar di usia 36 tahun 9 bulan.

Prama menyelesaikan pendidikan S1 program studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM pada tahun 2008 dengan masa studi 3 tahun 11 bulan.

Lalu, melanjutkan pendidikan S2 Geografi/MPPDAS Fakultas Geografi UGM tahun 2008-2010 dengan memanfaatkan Beasiswa Unggulan Dikti.

Kemudian berhasil menyelesaikan pendidikan S3 Geografi/Penginderaan Jauh, Joint Program Fakultas Geografi UGM dan ITT TH Koeln, Jerman di tahun 2015. Dengan beasiswa program CNRD (Centers for Natural Resources and Development) melalui pendanaan dari DAAD Jerman.

Metode Penginderaan Jauh

Dalam pidato pengukuhannya, yang dikutip, Kamis (15/2/2024) di Yogyakarta, Prama memaparkan terkait pemetaan dan pemantauan padang lamun menggunakan metode penginderaan jauh.

Metode ini menjadi solusi paling efektif dan efisien dalam melakukan pemetaan. Dan, pemantauan untuk memahami secara komperehensif kondisi spasial dan temporal ekosistem padang lamun.

Prama memaparkan bahwa Indonesia memiliki potensi padang lamun mencapai 1.847341 hektare. Tetapi hanya 294.464 hektare yang telah terverifikasi.

Padang lamun ini memiliki beragam fungsi ekonomis dan ekologis serta berdampak krusial dalam menjalankan konsep ekonomi biru.

Ia mencontohkan padang lamun memberikan dukungan bagi sekitar 20% dari industri perikanan terbesar di dunia. Dengan nilai diperkirakan mencapai 200 juta Euro per tahun hanya di kawasan Mediterania.

Lalu, padang lamun juga berperan sebagai penyimpan karbon (carbon sink) dengan kapasitas tinggi dalam menyerap karbon jangka panjang.

Melalui penimbunan karbon yang sangat efektif yakni lebih dari 10 kali lipat lebih efisien dibandingkan dengan ekosistem di daratan

Baca Juga  Tim Robot Terbang GAMAFORCE UGM Sabet Juara Umum ke-7 Kalinya di KRTI

“Meskipun hanya menempati 0,1% dari luas laut, padang lamun mampu menampung sekitar 18% dari total karbon yang terserap oleh lautan di bumi,” terangnya.

Model Penginderaan Jauh

Perlindungan dan pengelolaan ekosistem padang lamun yang berkelanjutan menjadi salah satu kunci kesuksesan implementasi konsep blue economy. Dan berperan dalam mendukung pencapaian sejumlah target global SDGs.

Meski memiliki peran vital, padang lamun menjadi salah satu ekosistem pesisir yang minim mendapat perlindungan.

Data UNEP, 20220 mencatat sejak tahun 1980, kerusakan padang lamun global mencapai 58%. Dengan luasan yang hilang setara dengan lapangan sepak bola setiap 30 menit.

Karena itu, data dan informasi terkait ekosistem padang lamun menjadi krusial, terutama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Langkah awal yang krusial adalah memahami pola sebaran spasial dan temporal dari padang lamun. Penggunaan teknologi penginderaan jauh telah terbukti sebagai metode paling efektif dan efisien dalam pencapaian langkah ini,”urainya.

Prama menyebutkan model penginderaan jauh yang optimal untuk pemetaan biodiversitas ekosistem padang lamun perlu mempertimbangkan variasi temporal. Dari ekosistem padang lamun yang dipetakan.

Variasi temporal dalam ekosistem padang lamun ini bersifat unik untuk setiap wilayah, bergantung pada komposisi spesies dan kondisi habitatnya.

Karena itu, proses pemetaan untuk memahami dinamika karbon biru pada padang lamun sebaiknya tidak hanya dilakukan setahun sekali. Melainkan dilakukan secara bulanan, dwibulanan, atau minimal secara musiman.

Ia mengatakan analisis terhadap perubahan tutupan padang lamun tidak dapat dilakukan apabila data atau peta yang digunakan untuk analisis diperoleh dari bulan atau musim yang berbeda.

Sebab, hal tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat dan berpotensi memengaruhi pengambilan keputusan. Serta strategi pengelolaan yang relevan.

Untuk itu, diperlukan konsistensi dalam pengumpulan data dan pemetaan pada interval waktu yang sesuai. *

#beritaviral
#beritaterkini

Email : junitaariani@esensi.tv
Editor: Erna Sai Ulina Girsang/Raja H Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life