Home » Digitalisasi di Pertanian: Keren Gak Ya?

Digitalisasi di Pertanian: Keren Gak Ya?

by Achmat
3 minutes read
Teknologi Pertanian

ESENSI.TV - JAKARTA

Digitalisasi, si fenomena keren yang mungkin sedang kamu gandrungi, ternyata juga memainkan peran penting dalam dunia pertanian, Sobat Esensi! Lewat teknologi digital, sektor pertanian bisa semakin tangguh dalam menghadapi tantangan ekonomi dan juga menjaga ketahanan pangan negara kita yang tercinta, Indonesia. Namun, mungkinkah digitalisasi benar-benar memberikan dampak positif pada pertanian kita?

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 12,92% pada triwulan II/2021 dan masih terus tumbuh positif hingga triwulan III/2021. Ini menunjukkan betapa pentingnya sektor pertanian dalam memulihkan ekonomi dan menjaga ketersediaan pangan di tengah pandemi Covid-19. Tapi, bagaimana sektor pertanian bisa tetap kuat dan berkelanjutan? Jawabannya terletak pada digitalisasi dalam ekosistem pertanian.

Menurut survei yang dilakukan oleh BPS, sekitar 20,62% pemuda Indonesia bekerja di sektor pertanian pada Agustus 2020, meningkat dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 18,43%. Kenaikan jumlah pemuda di sektor pertanian ini bisa menjadi peluang emas, Sobat Esensi! Pasalnya, sebagian besar dari mereka adalah pengguna internet aktif yang berpotensi menjadi early adopter teknologi digital di sektor pertanian. Nah, teknologi digital dalam pertanian bisa diartikan sebagai penerapan teknologi informasi dan komunikasi melalui perangkat elektronik, jaringan, layanan, dan aplikasi yang dikhususkan untuk pertanian. Tujuan utamanya adalah untuk membantu para pelaku pertanian dalam pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumber daya secara efisien (Bank Dunia, 2020).

Menurut laporan dari MercyCorps dan Rabobank, di Indonesia terdapat sekitar 55 teknologi digital pertanian yang sudah ada. Dalam laporan yang sama, diketahui bahwa 60% teknologi digital pertanian fokus pada informasi digital seperti informasi pasar dan harga komoditas. Sedangkan 40% sisanya berfokus pada akses pasar, rantai pasok, pengelolaan data, serta layanan keuangan dan mekanisasi pertanian.

Salah satu contohnya adalah TaniHub, platform yang menghubungkan langsung antara petani dan konsumen. Dengan adanya TaniHub, petani bisa memotong rantai pasok yang panjang dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak. Sebelumnya, petani sering menjual hasil panen dalam jumlah besar kepada tengkulak, sehingga mereka kehilangan kendali atas harga jual. Selain itu, petani juga bisa mendapatkan informasi yang akurat dan transparan mengenai harga komoditas di pasar. Digitalisasi ini memungkinkan pertanian terintegrasi, mulai dari tahap produksi hingga pemasaran. Teknologi-teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robot, internet of things (IoT), drone, blockchain, dan analisis big data memiliki potensi besar untuk diterapkan dalam pertanian.

Digitalisasi dalam ekosistem pertanian melibatkan banyak pihak, seperti petani, pendamping pertanian, lembaga pembiayaan, agregator, dan offtaker. Pertama, pendamping pertanian dari lembaga pemerintah, lembaga swasta, atau universitas berperan penting dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada petani mengenai teknik bercocok tanam yang tepat. Selanjutnya, petani juga perlu akses pembiayaan yang terjangkau untuk mengembangkan usahanya. Digitalisasi dalam ekosistem pertanian ini kemudian diintegrasikan oleh agregator, yaitu pihak yang menghubungkan konsumen dengan perusahaan yang menyediakan produk, jasa, atau layanan tertentu melalui platform digital. Terakhir, diperlukan offtaker yang bertindak sebagai penjamin pembelian hasil panen petani. Dengan adanya digitalisasi ini, diharapkan produksi pertanian dapat meningkat secara masif, sehingga nilai ekonomi sektor pertanian akan semakin meningkat. Tentunya, manfaat dari digitalisasi ini akan dirasakan oleh petani, di mana mereka bisa meraih kesejahteraan yang lebih baik.

Baca Juga  Metaverse: Era Baru Interaksi Sosial dalam Dunia Digital

Selain itu, laporan dari Bank Dunia (2020) juga menyebutkan bahwa kehadiran teknologi digital dapat meningkatkan pengetahuan teknis petani, membantu dalam perhitungan penggunaan pupuk, bibit, dan input pertanian lainnya secara lebih efisien, serta mempermudah pengambilan keputusan berdasarkan informasi mengenai cuaca, pengelolaan tanaman, kondisi pasar, dan data ternak. Sayangnya, saat ini masih banyak petani yang belum bisa menikmati manfaat tersebut. Sebagian besar teknologi digital pertanian masih hanya diakses oleh sejumlah kecil petani, kurang dari 10.000 pengguna. Artinya, jutaan petani masih belum memiliki akses terhadap teknologi digital pertanian ini. Hal ini disebabkan oleh sejumlah tantangan mendasar yang menghalangi petani dalam mengadopsi teknologi digital pertanian yang lebih canggih.

Tantangan pertama adalah kurangnya prioritas dari pemerintah dalam mengadopsi teknologi digital di sektor pertanian. Hal ini tercermin dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian RI 2020-2024 yang belum secara spesifik menjelaskan strategi untuk mengadopsi teknologi digital. Dukungan pemerintah terhadap program-program digitalisasi pertanian masih terbatas dan belum merata. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara Kementerian Pertanian dan kementerian lain yang terkait untuk menyusun program pengenalan teknologi digital pertanian. Saat ini, Kementerian Pertanian telah menjalin kerjasama dengan HARA dan Bank BTPN dalam program pinjaman untuk petani dan UMKM. Hal ini membuka peluang untuk memperluas kerjasama dengan pihak swasta dalam digitalisasi pertanian.

Tantangan kedua adalah rendahnya literasi digital di kalangan petani. Mayoritas petani di Indonesia adalah lulusan sekolah dasar dengan usia rata-rata di atas 45 tahun. Hal ini membuat mereka kesulitan dalam beradaptasi dengan teknologi baru. Namun, meningkatnya jumlah pemuda di sektor pertanian menjadi harapan untuk meningkatkan literasi digital di kalangan petani. Upaya ini dapat diintegrasikan dalam program penyuluhan pertanian, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta.

Tantangan ketiga adalah infrastruktur digital yang masih lemah dan tidak merata di Indonesia. Menurut laporan Speedtest, kecepatan internet di Indonesia berada di peringkat 121 dari 139 negara. Hal ini menjadi hambatan bagi petani, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil, untuk memanfaatkan teknologi digital pertanian. Peningkatan infrastruktur digital dapat dilakukan dengan menjamin kestabilan dan kepastian regulasi di sektor telekomunikasi. Pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada pihak swasta untuk membangun infrastruktur digital di daerah terpencil. Subsidi atau keringanan pajak bagi pihak swasta yang bersedia berinvestasi dapat menjadi langkah yang efektif.

Pemerintah dan pihak swasta perlu terus mendorong adopsi teknologi digital di sektor pertanian. Sebagai sektor yang telah terbukti menjadi penopang ekonomi selama pandemi Covid-19, pertanian membutuhkan inovasi teknologi digital untuk meningkatkan kualitasnya. Dengan adanya investasi, transfer teknologi, dan pelatihan bagi petani, diharapkan sektor pertanian Indonesia semakin maju dan berdaya saing di tingkat global. Jadi, mari dukung perkembangan teknologi digital dalam pertanian kita, Sobat Esensi!

Editor : Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life