Anak-anak di Jalur Gaza menghadapi tiga ancaman mematikan terhadap kehidupan mereka, yaitu meningkatnya kasus penyakit, menurunnya gizi dan meningkatnya perang yang mendekati minggu keempat belas.
WHO melaporkan ribuan anak telah meninggal akibat kekerasan tersebut, sementara kondisi kehidupan anak-anak terus memburuk dengan cepat, dengan meningkatnya kasus diare dan meningkatnya kasus kekurangan pangan di kalangan anak-anak, sehingga risiko kematian anak juga naik.
Platform online WHO yang meliput serangan terhadap layanan kesehatan menunjukkan, hingga Jumat (5/1/2024) lebih dari 550 fasilitas medis dan kendaraan telah terkena dampak dalam hampir 100 hari sejak serangan udara Israel dimulai di Gaza.
Serangan tersebut telah berdampak pada 94 fasilitas layanan kesehatan termasuk 26 rumah sakit yang rusak dari total 36 rumah sakit yang ada di wilayah kantong tersebut.
Kepala Badan Anak-Anak untuk PBB (UNICEF) Catherine Russell mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat bahwa anak-anak di Gaza terjebak dalam mimpi buruk yang semakin memburuk dari hari ke hari.
Catherine Russell mencatat bahwa generasi muda semakin berisiko terkena penyakit yang dapat dicegah, serta kekurangan makanan dan air.
Semua anak-anak dan warga sipil harus dilindungi dari kekerasan dan memiliki akses terhadap layanan dan pasokan kebutuhan dasar.
Kasus Diare Pada Anak Meningkat
Kasus diare pada balita meningkat dari 48.000 menjadi 71.000 hanya dalam waktu satu minggu mulai 17 Desember atau setara dengan 3.200 kasus baru diare per hari.
Dia mengatakan peningkatan yang signifikan mengindikasikan kesehatan anak di Gaza “memburuk dengan cepat”. Sebelum meningkatnya permusuhan, tercatat rata-rata 2.000 kasus diare pada anak balita setiap bulannya.
Sementara itu, Eri Kaneko, Juru Bicara kantor koordinasi bantuan OCHA, menjelaskan pada hari Kamis bahwa kecepatan dan volume bantuan terus terhambat oleh kondisi di lapangan.
“PBB dan mitra kemanusiaan kami berkomitmen dan terus melakukan semua yang mereka bisa untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat di Gaza”.
“Namun, lingkungan operasi dan kapasitas respons terus terhambat oleh risiko keamanan, kendala mobilitas, penundaan dan penolakan”, katanya.
“Pemeriksaan berulang kali, antrian truk yang panjang, dan kesulitan di titik penyeberangan terus menghambat operasional”.
“Di Gaza, operasi bantuan menghadapi pemboman terus-menerus, yang menyebabkan pekerja bantuan tewas dan beberapa konvoi ditembaki,” sambungnya.
Dia menjelaskan tantangan lainnya termasuk komunikasi yang buruk, jalan rusak dan keterlambatan di pos pemeriksaan.
“Operasi bantuan yang efektif di Gaza memerlukan keamanan, staf yang dapat bekerja dengan aman, kapasitas logistik, dan dimulainya kembali aktivitas komersial”.
Sementara itu, badan PBB yang memberikan bantuan kepada Palestina, UNRWA, mengatakan jumlah staf yang tewas sejak awal perang mencapai 142 orang.
Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang/Raja H Napitupulu