Ekonomi

Solusi SMP 4 Malang Atasi Siswa Putus Sekolah

Murid-murid yang tergolong kurang mampu di SMP 4 Muhammadiyah Kota Malang diberi kelonggaran untuk membayar biaya sekolah dengan minyak goreng jelantah.

Kebijakan tersebut baru berjalan pada tahun ini dan diperuntukkan bagi siswa baru maupun siswa lama. Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4 Muhammadiyah Kota Malang, Sahran mengatakan, program bayar biaya sekolah dengan minyak goreng jelantah berawal dari melihat adanya pelajar yang putus sekolah karena faktor ekonomi.

Dia berupaya mencari solusi agar tidak ada pelajar di sekolahnya yang keluar atau putus sekolah karena kendala biaya.

“Saya lihat kondisi siswa ada yang terkendala membayar biaya sekolah. Kemudian, saya berpikir bagaimana siswa sekolah tanpa memikirkan biaya,” kata Sahran pada Rabu (16/8/2023).

Kemudian, pihak sekolah menemukan solusi melalui pembayaran kebutuhan sekolah menggunakan minyak goreng jelantah yang dibeli oleh suatu perusahaan. Sahran selanjutnya menyosialisasikan program kegiatan tersebut kepada para orangtua atau wali murid.

Mereka menyetujui program kegiatan dari Sahran dalam forum sosialisasi yang ada. Sahran berharap, langkah dari pihaknya bisa diikuti oleh lembaga pendidikan yang lain.

“Kemudian kami luncurkan. Kami lihat kondisi anak-anak dan memang kalau bisa ini menjadi contoh bagi sekolah lainnya, bisa menggratiskan,” Keharusan membayar biaya sekolah menggunakan minyak goreng jelantah tidak diwajibkan secara menyeluruh kepada para pelajar.

Atau, bagi para pelajar dengan kemampuan ekonomi yang kurang, mereka juga bisa membayar separuh dari kebutuhan sekolah.

Saat ini, terdapat tiga jerigen berukuran 20 liter yang ditampung oleh sekolah sejak program kegiatan itu bergulir pada 11 Agustus 2023. Sekolah tidak memiliki target untuk setoran minyak goreng jelantah ke perusahaan.

“Tidak ada target dan nanti diambil langsung dari perusahaan itu,” katanya.

Anak-anak di Indonesia kini memiliki peluang yang lebih baik untuk bersekolah

Namun sekitar 4,1 juta anak-anak dan remaja berusia 7-18 tahun tidak bersekolah.

Anak dan remaja yang berasal dari keluarga miskin, penyandang disabilitas dan mereka yang tinggal di daerah terpencil dan tertinggal di negara ini paling berisiko putus sekolah.

Remaja usia sekolah menengah pertama (13 – 15 tahun) dari rumah tangga termiskin, lima kali lebih besar kemungkinannya untuk putus sekolahjika dibandingkan dengan remaja dari rumah tangga terkaya.

Secara geografis, angka anak tidak sekolah (ATS) berkisar dari 1,3 persen di Yogyakarta – daerah yang relatif makmur – hingga 20,7 persen di Papua – provinsi paling timur dan termiskin di Indonesia (Susenas 2020).

Analisis dari Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS 2015) menunjukkan bahwa 57 persen anak dan remaja usia sekolah penyandang disabilitas tidak bersekolah.

Sementara itu, masih banyak anak sekolah yang harus berjuang untuk menguasai keterampilan akademik dasar. Kurang dari separuh siswa berusia 15 tahun di Indonesia yang memiliki tingkat kemahiran membaca minimum dan kurang dari sepertiga yang mencapai tingkat kemahiran minimum dalam matematika (PISA 2015).

Remaja juga kehilangan peluang untuk mengembangkan potensi penuh mereka. Dari 46 juta remaja di Indonesia, hampir seperempat remaja yang berusia 15 hingga 19 tahun tidak bersekolah, tidak memiliki pekerjaan atau tidak mengikuti pelatihan. Pengangguran remaja mencapai lebih kurang 15 persen.

Potensi anak harus dipupuk sejak tahun-tahun awal kehidupan mereka, dan akses ke layanan pendidikan anak usia dini (PAUD) terus ditingkatkan di antaranya melalui program‘Satu Desa, Satu PAUD’.

Namun demikian, kualitas layanan PAUD masih memerlukan perbaikan-perbaikan di berbagai bidang. Sementara dari segi akses Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD nasional masih berada pada kisaran 30 oersen pada tahun 2021 dan hanya mencapai 17 persen di Provinsi Papua

UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan berkualitas untuk anak dan remaja yang paling terpinggirkan yang berusia 3-18 tahun, termasuk anak dan remaja dengan disabilitas dan mereka yang berada dalam situasi kemanusiaan.

Mengurangi tingginya jumlah anak yang tidak bersekolah (ATS) tetap menjadi prioritas utama bagi Indonesia untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 4 yang inklusif dan berkeadilan pada tahun 2030.

 

 

 

Editor : Farahdama A.P/Addinda Zen

Lyta Permatasari

Recent Posts

Suku Pedalaman Tersorot Media Asing

Baru-baru ini, media luar menyoroti peristiwa suku pedalaman Indonesia, Suku Togutil, meminta makanan kepada pekerja…

52 mins ago

Apa Itu The Great Red Spot?

Bintik Merah Besar di Jupiter adalah badai kolosal yang mungkin merupakan fenomena paling terkenal dari…

3 hours ago

Rotasi Matahari yang Kian Berubah

Baru-baru ini, para peneliti dari Cina telah membuat penemuan signifikan mengenai rotasi atmosfer Matahari, khususnya…

5 hours ago

Kerjasama Antara UGM dan University of Toronto

Universitas Gadjah Mada (UGM) dan University of Toronto telah menjalin kerjasama untuk memperkuat hubungan akademik…

7 hours ago

Serempetan Motor Berakhir dibunuh….

Tragedi di Indramayu baru-baru ini mencengangkan masyarakat setelah insiden kecelakaan motor berujung pada kematian tragis…

9 hours ago

Sejarah Makam Raga Semangsang

Makam Raga Semangsang adalah salah satu situs bersejarah yang unik dan penuh misteri di Purwokerto,…

11 hours ago