Fungsi paling dasar Pemilihan Umum di Indonesia adalah punishment dan reward. Hal ini disampaikan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Philips J. Vermonte dalam kegiatan Executive Education Program for Young Political Leaders Batch 12 pada hari Rabu (14/6).
“Pemilu itu hukuman kepada orang-orang yang sudah berkuasa tetapi tidak bagus. Nah, dapat penghargaan kalau dia bagus dan bisa dipilih lagi oleh masyarakat,” ujarnya.
Sejak tahun 1955, Indonesia telah mengadopsi sistem pemilihan secara proporsional. Pemilihan ini terjadi dimana jumlah kursi yang tersedia akan diberikan kepada partai politik sesuai dengan perolehan suara yang didapat oleh tiap partai.
Philips J. Vermonte menjelaskan bahwa pemilihan umum dilakukan untuk meningkatkan tingkat perwakilan (representatif).
Ia juga mengatakan Indonesia selalu menjadi stabilitas dan mencari cara agar bisa seimbang dalam merepresentasikan negara melalui wakil rakyat yang dipilih.
“Dari tahun 1998, kita selalu menjadi stabilitas. Salah satu dilema mendasar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah bagaimana menyeimbangkan keinginannya untuk representasi yang lebih baik agar pemerintahan lebih efektif dan stabil,” ujarnya.
Perubahan yang dilakukan pada sistem pemilu Indonesia berorientasi pada upaya mewujudkan pemerintahan yang stabil dengan tujuan untuk mengurangi jumlah partai dalam sistem kepartaian melalui peningkatan barrier of entry untuk bersaing dalam pemilu maupun untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Hak Pemerintah telah dibuat untuk mengakomodasi realitas fragmentasi elit di Indonesia. Sehingga, sistem politik di Indonesia cukup stabil. Namun, kata Philips sistem kepartaian kita tetap terfragmentasi.
“Meski sistem politik Indonesia cukup stabil, sistem kepartaian tetap terfragmentasi. Dengan kata lain, sistem pemilu mempengaruhi hasil dari proses politik. Sehingga memberikan insentif atau disinsentif yang diperlukan,” pungkasnya.
Melalui pemaparan Dekan FISIP UII tersebut, fungsi utama sistem pemilu adalah memastikan legitimasi sistem politik. Hal ini karena harus menentukan apakah pemimpin terpilih cukup mewakili keinginan pemilih.
“Adanya sistem pemilu bisa menentukan jumlah partai. Pemilu juga bisa menunjukkan tingkat korupsi. Menurut beberapa studi ya, pemilu proporsional dengan suara terbanyak dan dapil besar tingkat korupsinya tinggi,” tambah Philips.
Menutup kuliah umumnya di Golkar Institute, Philips J. Vermonte mengatakan sistem pemilu dapat mempengaruhi apakah negara demokrasi baru bisa survive atau tidak.
Editor: Nabila Tias Novrianda
PENDAFTARAN sekolah kedinasan 2024 dibuka mulai 15 Mei, seleksi terbuka untuk 8 kementerian/lembaga penyelenggara yang terdiri atas 30…
KEPALA Kanwil Kemenag Daerah Istimewa Yogyakarta Dr. Masmin Afif, M.Ag menyampaikan, waiting list jemaah haji…
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Pattrick Wauran menilai, perputaran uang saat pelaksanaan Idul Adha…
Menjelang Juni 2025, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengubah aturan teknis Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS…
Rencana Perjalanan Haji (RPH) 1445 H/2024 M telah diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Pemberangkatan perdana…
Aku pandang sejauh mata memandang, melihat awan menutup bukit di ufuk Barat, menyibak tirai jendela…