Home » Belajar Dari Soeharto dan Nadiem Makarim

Belajar Dari Soeharto dan Nadiem Makarim

by Raja H. Napitupulu
3 minutes read
SD

Kegelisahan mahasiswa di Indonesia beberapa waktu terakhir, cukup menyita perhatian publik. Pasalnya, pemerintah menerapkan biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang bagi sebagian masyarakat Indonesia sangat menyulitkan.

Sebelumnya, sejumlah kampus memberikan kenaikan biaya UKT yang besar. Misalnya, kenaikan UKT dari golongan empat ke golongan lima. Dan kenaikannya pun berkisar sekitar 5-10 persen. Akibatnya, gelombang aksi unjuk rasa yang dijalankan mahasiswa

Hal tersebut menjadi polemik hingga terjadi gelombang unjuk rasa mahasiswa perguruan tinggi negeri di sejumlah daerah.

Memang kebijakan itu akhirnya dibatalkan, pasca Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menemui Presiden Jokowi. Namun pembatalan itu dilakukan setelah Nadiem bertemu dengan Presiden Jokowi. Ada apa sebenarnya?

Kebijakan Membingungkan?

Menurut Nadiem, keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas. Selain itu, pemerintah juga mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan. Khususnya terkait isu yang belakangan menjadi sorotan tajam di mata publik.

Nadiem memastikan, tidak ada mahasiswa yang akan terdampak kebijakan kenaikan UKT.

Sementara itu, pemerintah akan mengevaluasi satu per satu permintaan dari perguruan tinggi untuk peningkatan UKT tahun depan.

Mahasiswa, akademisi, masyarakat, hingga anggota parlemen, turut bersuara meminta agar rencana kenaikan UKT itu dihentikan. Melalui berbagai platform media sosial, gelombang penolakan terus dikumandangkan. Hingga akhirnya, pembatalan kenaikan UKT pun terwujud.

Meski perjuangan dan gelombang unjuk rasa itu berbuah manis, namun tetap menyisakan rasa kesal di hati masyarakat. Khususnya beberapa calon mahasiswa yang akhirnya menyerah dan mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar UKT.

Banyak pihak yang menganggap Nadiem Makarim tidak memahami sistem Pendidikan di Indonesia. Sebut saja, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Ali Zamroni yang mencecar Nadiem soal kenaikan UKT secara tak wajar.

Bahkan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Demokrat, Dede Yusuf mempertanyakan kemana anggaran Pendidikan Indonesia yang dipatok 20% dari APBN. Angka ini mencapai Rp665 triliun, dan hanya sekitar Rp98 triliun yang ada di Kemendikbudristek.

Anggota Komisi X Fraksi PDIP Putra Nababan mengatakan, ada 50 calon mahasiswa baru yang akhirnya tidak jadi masuk ke perguruan tinggi impiannya.

Artinya, carut marut pendidikan di Indonesia sangat perlu untuk segera dikaji dan direvisi.

Karya Soeharto Bagi Pendidikan

Hal berbeda pernah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dalam berkontribusi bagi pendidikan.

Baca Juga  Hadiri Sesi Kerja Mitra G7, Presiden Serukan Penghentian Kebijakan Monopoli

Dikutip dari akun X @RomitsuT, Presiden Soeharto tercatat sebagai presiden pertama yang menerima penghargaan AVICENNA Medals. Penghargaan ini merupakan predikat tertinggi dalam bidang Pendidikan dari UNESCO.

Penghargaan itu diterima Soeharto karena 3 program utama yang dilakukannya terhadap pendidikan. Yaitu, SD Inpres, Kelompok Belajar, dan Wajib Belajar.

Atas prestasinya membangun dunia pendidikan Indonesia, Soeharto menerima penghargaan Avicenna Medals dari UNESCO pada 19 Juni 1993.

Direktur Jenderal UNESCO 1987-1999, Prof Federico Mayor mengatakan, Presiden Soeharto memahami permasalahan pendidikan di Indonesia secara jelas. Sehingga upaya-upaya penanggulangan dan strategi pendidikan di Indonesia diwujudkan secara optimal.

“Presiden Soeharto memiliki konsep universal tentang dunia Pendidikan. Karena mampu memaparkan secara rinci kendala yang dihadapi bangsanya. Sekaligus memiliki konsep penanggulangannya,” ungkap dia.

Terobosan Inovatif dan Massal

Sebagai Presiden Republik Indonesia, Soeharto mendapat apresiasi UNESCO sebagai sosok negarawan tangguh yang mampu melakukan terobosan inovatif dan massal.

Dia berhasil memberantas Tiga Buta (buta aksara & buta angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar).

Pemerintah Indonesia diapresiasi karena mampu melakukan terobosan kebijakan untuk mencerdaskan masyarakat. Khususnya dari kegelapan buta huruf buta aksara (iliterate comunity) menjadi masyarakat yang mulai melek pengetahuan dasar (early literate community).

Salah satu program yang diterapkan Soeharto adalah SD Inpres. Program ini berdasarkan Instruksi Presiden RI nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.

Pada tahap pertama, pemerintah berhasil membangun 6.000 SD dengan fasilitas minimal dan pengadaan Guru SD yang berkualifikasi. Para guru merupakan lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau sederajat. Hingga tahun 1994 telah dibangun 150 ribu SD tersebar di seluruh pelosok Indonesia.

Berbuah Hadiah Nobel Bagi Peneliti Asing

Efek kebijakan SD Inpres Soeharto ini, telah menghantar tiga ekonom kaliber dunia berkebangsaan Amerika Serikat meraih Hadiah Nobel. Esther Dufo, Abhijt Banerjee dan Michael Kremer pada tahun 2019 meraih Hadiah Nobel (Noble Prize) bidang Ekonomi.

Esther Dufo – profesor di Massachuset Intitute of Technogy (MIT), salah seorang periset yang meraih Nobel Prize ini melakukan penelitian SD Inpres. Judul penelitiannya Schooling ang Labour Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment.

Bagaimana pendapatmu? Berikan komentarmu disini.

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life