Home » Meluruskan Sejarah, Soeharto Mundur Bukan Karena Dilengserkan!

Meluruskan Sejarah, Soeharto Mundur Bukan Karena Dilengserkan!

by Addinda Zen
5 minutes read
soeharto

ESENSI.TV - JAKARTA

Nama Soeharto berperan banyak dalam sejarah Indonesia. Soeharto adalah Presiden ke-2 RI setelah Soekarno. Ia menjabat sebagai Presiden sejak 27 Maret 1968 setelah menjadi Ketua Presidium Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) pada tahun 1966 dan diangkat menjadi Pejabat Presiden pada 1967 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Soeharto dipilih kembali menjadi Presiden oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Namun, berdasarkan catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam Naskah Sumber Arsip Presiden RI (2015) disebutkan bahwa pada 1998 masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada 21 Mei di tahun yang sama.

Surat Pernyataan Pengunduran Diri Soeharto tahun 1998

Dalam surat pernyataan pengunduran diri, terungkap alasan Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Ia melihat perkembangan situasi nasional saat itu, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Soeharto, reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional. Bahkan, Soeharto sempat ingin membentuk Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Sayangnya, hal itu tidak dapat terwujud karena tidak adanya dukungan dari berbagai pihak.

“Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998,” kata Soeharto sebagaimana dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Minggu (8/1/2022).

Tak hanya itu, dalam pidato terakhir Soeharto itu juga terungkap bahwa jabatan presiden akan diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie hingga 2003. Penyerahan jabatan tersebut, menurut Soeharto sudah sesuai dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

“Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia,” kata Soeharto.

Soeharto Bukan Dilengserkan, Tetapi Mundur

Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Hamzanwadi berjudul ‘Soeharto Bukan Dilengserkan Melainkan Mundur: Narasi dalam Pembelajaran Sejarah Indonesia Kelas XII’ menyebutkan, Soeharto bukan dilengserkan melainkan mengundurkan diri dengan melihat aspek legalitas formal dan peristiwa sejarah. Tentunya ada desakan dan tuntutan dari mahasiswa, tokoh politik dan masyarakat agar Soeharto mundur dari Presiden Republik Indonesia.

Sementara itu, sebuah jurnal yang diterbitkan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengungkapkan, kerusuhan 1998 memiliki sisi positif dan negatif. Dalam jurnal tersebut disebutkan, demonstrasi telah menyebabkan kekacauan yang tidak bisa dihindari karena para mahasiswa banyak turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa. Sehingga, lalu lintas pada masa tersebut juga sangat terganggu yang pada akhirnya terjadi banyak aksi kriminalitas di Indonesia.

“Karena memang keamanan sangat minim. Pemerkosaan terjadi begitu saja. Akibat banyak pengangguran maka banyak pula yang melakukan pencurian untuk di buat perjudian oleh rakyat,” ujar Hananto Widodo yang merupakan aktivis mahasiswa 1998, dalam jurnal berjudul ‘Persepsi Aktivis Mahasiswa 1998 tentang Demonstrasi Tahun 1998 dalam Rangka Menurunkan Soeharto’.

Pendapat Tokoh-Tokoh Nasional

Salah satu tokoh nasional yang kala itu turut mendesak pengunduran diri Pak Harto adalah Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa dengan Cak Nun. Namun, belakangan justru ia malah menyesal mendorong Pak Harto agar mundur. Kekecewaan itu karena kondisi saat ini sangat abu-abu. Baik dari sikap politisi ataupun pemerintah, sehingga kondisi politik dan ekonomi tak lebih baik dibandingkan dengan Orde Baru.

“Di satu sisi, Pak Harto sendiri memang mau turun,” kata dia.

Dia juga mengungkapkan sebuah fakta tentang kehidupan Soeharto. Sejak 1989, Soeharto yang semula dikenal sebagai penganut Islam bernuansa Jawa, berubah menjadi orang Jawa yang tunduk pada ajaran Islam. Kemudian dari sisi organisasi juga mengalami perubahan haluan dengan mendukung kuat berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonsia (ICMI).

Sayangnya, selama perubahan itu terjadi dalam diri Soeharto, pada saat yang sama kekuatan global mulai memanfaatkan waktu tersebut untuk merongrong kekuasaan. “Ndilalah (kebetulan) kita sendiri memang membutuhkan perubahan. Dan saya termasuk orang yang bersalah pada tahun 1998. Artinya sekarang saya berpikir, mending Pak Harto nggak turun sebenarnya. Nek ngeneki carane, Pak Harto terus nggak masalah,” ujar Cak Nun dalam sebuah unggahan di akun YouTube Generasi Hijrah.

Cak Nun juga menyampaikan pengunduran diri Pak Harto merupakan persoalan harga diri. Pak Harto menyadari kesalahannya, tetapi juga merasa dipermalukan oleh publik. “Pak Harto lingsem (malu), jane dia eruh nek dek e salah (dia tahu kalau dia salah). Tapi mergo diisin-isin terus karo LSM, karo aktivis. Akhir e pak Harto emoh mundur (tapi karena dipermalukan terus oleh LSM, dan aktivis. Akhirnya dia enggan mundur,” kata Cak Nun.

Baca Juga  Indonesia Melawan Penjajahan Gaya Baru

Kesaksian Amien Rais tahun 1998

Mantan Ketua MPR Amien Rais menyampaikan, 20 Mei 1998 dirinya tengah berada di Monas, Jakarta dan melihat situasi sudah seperti mau perang. Saat itu, Amien Rais mengaku ditelepon oleh seseorang berpangkat Mayjen dari Markas TNI Cijantung yang meminta agar dirinya tak mengerahkan massa pada 21 Mei 1998.

“Karena mungkin kita terpaksa mengambil alih suasana itu secara militer,” ungkap Amien dalam akun Youtube Refly Harun.

Kendati demikian, Amien Rais mengakui Pak Harto sangat bijak dalam bertindak. Pak Harto, kata Amien, diyakini tidak mengerahkan kekuatan militer untuk memukul massa demonstran. “Pak Harto tidak memaksa, kekuatan TNI Polri itu tidak untuk, artinya beliau tahu bahwa kalau beliau sampai men-force itu mungkin betul-betul seperti Tiananmen, China. Di sini bukan berarti saya memuji-muji. Tetapi pada waktu itu Pak Harto sangat bijak,” ungkap Amien.

Mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza

Kemudian, mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza sempat menemui Amien Rais di rumah mantan Menteri Agama Malik Fajar. Yusril ingin menyampaikan pesan dari Pak Harto. Pesan tersebut berisi tentang permintaan persetujuan terkait pengunduran diri Soeharto.

Selain itu, BJ Habibie bakal didapuk sebagai calon Presiden yang akan menggantikan Pak Harto. “Besok Pak Harto pidato mengundurkan diri, berhenti yang mengganti Pak Habibie. Apakah anda setuju,” kata Amien.

Saat itu, Amien Rais mengatakan, dirinya bukan ahli hukum tata negara tetapi berdasarkan konstitusi apabila Presiden berhalangan tetap, maka wakilnya akan mengambil alih jabatan Presiden. Namun, malam harinya Yusril menelepon Amien terkait lokasi serah terima jabatan dari Soeharto ke BJ Habibie yang seharusnya di MPR tidak bisa dilakukan karena gedung tersebut sudah diduduki demonstran. Kala itu, Amien tetap mendesak harus terjadi pergantian kepemimpinan.

“Kemudian setelah 6 bulan, orang-orang mulai meragukan. Reformasi menjadi ‘repotnasi’ begitu. Enggak jelas arahnya dan lain-lainnya. Reformasi apa itu nggak ada gunanya sama sekali,” kata dia.

Yusril bercerita, saat 1998 Indonesia bisa disebut sebagai salah satu macan Asia. Namun, gelombang krisis moneter 1998 gagal dihadang Pak Harto. “Sulit sekali untuk dikendalikan. Dan itu sebetulnya terjadi sejak November 1997 sampai Januari 1998,” kata dia.

Ia juga mengungkapkan, mahasiswa mulai bergerak sekitar bulan Maret 1998. Namun, Yusril mengakui, pergerakan mahasiswa saat itu tidak seramai tahun 1966 atau era 70-an. Menurutnya, hal itu disebabkan ekonomi mulai semakin baik. “Anak-anak muda sudah tidak begitu tertarik dengan politik. Kita juga depolitisasi kampus, tapi ekonomi membaik,” sambungnya.

Yusril juga berbicara tentang Komite Reformasi sebagai bagian dari transisi kepemimpinan usai Pak Harto mengundurkan diri. Saat itu, Pak Harto juga menyatakan akan mempercepat penyelenggaraan pemilu. “Hanya keadaan makin mencekam, dan tekanan supaya Presiden mau mundur itu makin menguat,” kata Yusril.

Dalam kesaksian Yusril, dirinya mengaku yang membuat surat pengunduran diri dengan judul ‘Pernyataan Berhenti Presiden Republik Indonesia’. Ia juga mengaku sempat kebingungan dalam menyiapkan tata cara pemberhentian Presiden yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun.

“Karena saya harus memikirkan, Pak Harto itu berhenti tapi tidak melalui MPR. Tapi pernyataan berhenti itu pernyataan sepihak,” kata dia.

Soeharto, menurut Mahfud MD

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bercerita tentang peran Soeharto dalam memperjuangan dan mempertahankan kedaulatan bangsa. Meski tidak tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, tetapi nama dan peran Soeharto lebih dari 35 kali disebut dalam buku sejarah ‘Serangan Umum 1 Maret’

“Pada saat itu, Pak Harto itu adalah Komandan Wehrkreise III di sekitar Yogyakarta,” kata dia.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menyebut, hingga saat ini presiden yang paling lengkap adalah Soeharto. Menurutnya, Soeharto sebagai Presiden terfavorit karena dinilai berhasil membangun pendidikan, sarana kesehatan, hingga infrastruktur.

“Kalau bicara infrastruktur ya itu juga salah satu yang paling menonjol dari Pak Harto, jalan, waduk, jembatan, dan seterusnya. Jadi yang paling lengkap adalah Pak Harto,” kata Qodari.

Mantan aktivis sekaligus politikus PDIP Perjuangan Adian Yunus Yusak Napitupulu meminta, survey tersebut semestinya dilakukan dalam waktu yang sama. Misalnya, survei dilakukan untuk 4 tahun pertama masa jabatan Soeharto, 4 tahun pertama Soekarno, dan 4 tahun pertama Joko Widodo menjadi Presiden, sehingga memenuhi unsur fairness.

“Sehingga rentang waktu yang berbeda-beda ini tidak menjadi persoalan orang untuk mempertanyakan kualitas dan akurasi survei sendiri,” kata dia.

 

Penulis: Achmat

Editor: Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life