Home » ABUYA DIMYATHI PANDEGLANG-BANTEN

ABUYA DIMYATHI PANDEGLANG-BANTEN

by Administrator Esensi
1 minutes read
Abuya Dimyati Banten

ESENSI.TV - JAKARTA

Peran ulama di masyarakat Banten tidak hanya dalam urusan agama saja. Tetapi, juga dalam ranah sosial dan politik. Sebagai tokoh agama, ulama biasanya bertindak sebagai pemimpin dalam aktivitas ibadah seperti shalat, khutbah, dan do’a dalam upacara keagamaan seperti tahlilan, slametan, dan lain sebagainya.

Sebagai pelayan sosial, seringkali ulama bertindak sebagai tumpuan tempat masyarakat bertanya dan meminta nasihat mengenai berbagai persoalan. Bahkan, sering berperan sebagai tenaga medis, tempat meminta layanan penyembuhan berbagai penyakit lewat kekuatan supranatural atau magis yang mereka miliki.

Dalam dunia politik, mereka melakukan perannya yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara umum. Baik melalui partai politik langsung atau tidak langsung, organisasi-organisasi politik maupun lewat saluran-saluran lain yang bisa dilakukan.

Abuya Dimyathi merupakan salah satu ulama berpengaruh di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, Kabupaten Pandeglang. Sejak era penjajahan maupun awal kemerdekaan.

Abuya Dimyathi adalah sosok yang gigih dan tanpa pamrih dalam berjuang. Tercatat Abuya Dimyathi pernah tergabung sebagai intelejen/mata-mata pada Front Tanagara (Tanagara merupakan nama daerah di Cadasari, Pandeglang, Banten).

Abuya Murtadlo (anak kedua Abuya Dimyathi) menuturkan dalam wawancara, bahwa Abuya Dimyathi adalah orang yang mempunyai jiwa nasionalis dan patriotis yang tinggi. Tak diragukan lagi cintanya akan negara dan bangsa Indonesia. Bahkan, sebelum wafat beliau sempat melantunkan lagu-lagu kebangsaan dan lagu perjuangan negara Republik Indonesia.

BIODATA SINGKAT ABUYA DIMYATHI PANDEGLANG – BANTEN 

Ahmad Dimyathi (selanjutnya disebut Abuya Dimyathi) lahir di Kalahang, Pandeglang, Banten, pada tanggal 27 Sya‘ban 1347 H (bertepatan dengan bulan Juni 1920 M). Beliau putra dari pasangan KH Muhammad Amin dan Nyai Hj. Ruqayyah. Ayahnya adalah kiai yang membangun pesantren di Kampung Kalahang, Desa Cigadung, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Pendidikan agama sejak dini diterima Abuya dari ayahnya. Setelah bersekolah di Verpolg School (Sekolah Rakyat zaman Belanda). Selain masih mengaji dengan ayahnya, Abuya juga mengaji kepada KH Zuhdi (menantu Kiai Madjid). Tamat dari Verpolg pada tahun 1936, para gurunya menyarankan Abuya untuk melanjutkan ke HIS. Namun, Abuya memilih mengaji di pesantren sesuai dengan pilihan ayahnya.

zzz

Foto Abuya Dimyathi Pandeglang

(dokumen pribadi keluarga, tidak ada keterangan waktu)

 

Tahun 1942, Abuya melanjutkan belajarnya di Pesantren Kadupeusing, Kelurahan Kabayan, Kecamatan Pandeglang, Banten. Berada di bawah asuhan Abuya KH Tubagus Abdul Halim bin KH Tubagus Muhammad Amin (Bupati Kabupaten Pandeglang, pada masa revolusi, 1945 -1947) dengan beberapa asistennya, seperti KH As‘aduddin, KH Muslim, dan KH Ace Syadzili.

Menurut penjelasan Abuya Murtadlo, putra kedua Abuya Dimyathi, dalam buku Manaqib Abu Cidahu, Abuya Dimyathi pernah berguru kepada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Selain berguru pada Abuya KH Tubagus Abdul Halim, juga diantara gurunya adalah Abuya Muqri Abdul Chamid Labuan, Mama Achmad bakri (Mama Sempur) Purwakarta, Mbah Dalhal Watucongkol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare,  Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu, dan lain sebagainya (karena sangat banyak, Abuya Murtadlo hanya menyebut yang diingatnya).

Pernikahan Abuya Dimyathi

Abuya menikah dengan Hj. Asma binti Abdul Jasir Abdul Halim, pada zaman penjajahan Jepang. Dari pernikahan tersebut Abuya dikaruniai enam putra dan satu putri: H.A. Muhtadi (Abuya Muhtadi), H.M. Murtadlo (Abuya Murtadlo), H. Abdul Aziz, H. Muntaqo, Hj. Musfiroh, dan H. Muqatil, dan Ahmad Syafi’i (meninggal ketika lahir).

Istri kedua Abuya bernama Nyai Qomariah. Pertemuan mereka terjadi ketika Abuya menimba ilmu sekaligus mengajar di pesantren Mama Sempur, di Sempur Karaton, Purwakarta. Dari pernikahan ini Abuya dikaruniai dua orang anak yaitu Ahmad Juwaeni (meninggal pada usia 15 hari) dan Robi’ah (meninggal pada usia 4 bulan). Pernikahan dengan Nyai Qomariyyah tidak berlangsung lama karena mereka kemudian bercerai.

Istri ketiga Abuya adalah Nyai Dalalah. Ia adalah putri bungsu Mbah Nawawi, seorang kiyai sepuh dari Jejeran, Yogyakarta. Mbah Nawawi merupakan teman Mbah Dalhar, guru Abuya Dimyathi ketika menuntut ilmu di Watucongol, Magelang. Dari pernikahan tersebut Abuya dikaruniai lima putra dan seorang putri yaitu Ahmad Ajhuri (alm), Hj. Qoyyimah, Ahmad Mujahid (alm), Ahmad Munfarij (alm), H. Ahmad Mujtaba, dan Ahmad Muayyad (alm).

Istri keempat Abuya adalah Hj. Muthi’ah berasal dari Kampung Domba, Serang. Dari pernikahan ini Abuya dikaruniai seorang putra bernama Muhammad Thoha (alm).

Istri kelima Abuya adalah Nyai Hj. Afifah binti H. Marhasan yang berasal dari Labuan, Pandeglang. Dari pernikahannya dengan Hj. Afifah, Abuya tidak dikaruniai anak.

KIPRAH ABUYA DIMYATHI – PANDEGLANG BANTEN

Sejak masih muda, Abuya Dimyathi sudah aktif di sosial kemasyarakatan. Bahkan, pada masa menjelang kemerdekaan, beliau pernah aktif dalam sebuah gerakan melawan Jepang. Gerakan tersebut tergabung dalam “front Tanagara” (Tanagara adalah nama salah satu tempat di Cadasari, Pandeglang).

Hampir enam tahun lamanya Abuya melakukan konsolidasi sehingga mampu menyatukan kekuatan rakyat sepanjang jalur Kadubale, Pandeglang hingga Balaraja, Tangerang.

Setelah Indonesia merdeka, Abuya Dimyathi dipercaya untuk melindungi Pendopo Pandeglang dari kemungkinan Jepang yang masih ada di Banten.

Kiprah Abuya sebagai ulama Cidahu yang mengajarkan ilmu agama dimulai pada 1964. Saat itu Abuya menetap kembali di Cidahu, setelah berkeliling menimba ilmu ke pesantren-pesantren di Jawa, Madura, sampai ke Lombok.

Santri-santri banyak berdatangan, selain dari Banten banyak juga santri dari daerah lain, misalnya: Karawang, Cirebon, Magelang, dan Jombang. Mulai saat itu Cidahu semakin terkenal keseluruh daerah dan Abuya pun terkenal sebagai ulama besar “paku” Banten.

Wafatnya Abuya Dimyathi

Abuya Dimyathi wafat pada 3 Oktober 2003 (7 Sya‘ban 1424 H) dalam usia 78 tahun. Saat wafat, ribuan pelayat dari berbagai kalangan dan daerah memenuhi Cidahu, Pandeglang.

Proses menyolatkan jenazah dijadwal. Tokoh-tokoh nasional seperti Hamzah Haz salah satunya (sebagai utusan wakil presiden kala itu), termasuk dalam antrian tersebut.

Selama bulan Oktober 2013, koran-koran memberitakan peristiwa wafatnya ulama besar tersebut. Lembaga pemerintah (baik nasional maupun daerah) berjejer mengucapkan bela sungkawa. Abuya Dimyathi dimakamkan di Komplek Pemakaman keluarga di Cidahu, Pandeglang Banten.

Posisi makam Abuya saat ini, diapit oleh makam istri-istrinya. Banyak peziarah yang datang kesana, sehingga disediakan tempat parkir yang luas dan sarana pendukung lain disekitar komplek pemakaman Abuya.

Karya Abuya Dimyathi yang telah dicetak di Pesantren Cidahu diantaranya adalah Minhaj al-Istifa fi Khashaish Hizb an-Nashr wa Hizb al-Ikhfa, al-Hadiyyah al-Jalaliyyah fi ath-Thariqah asy-Syaziliyyah, Ashl al-Qadr fi Khashaish Fadlail Ahl Badr, Rasm al-Qashr fi Khashaish Hizb an-Nashr, Bahjah al-Qalaid fi ‘Ilm al-‘Aqaid, Nur al-Hidayah fi Ba‘d ash-Shalawat ‘ala Khair al-Bariyyah, dan Majmu‘ah al-Khutab. Selain karya tersebut, sebuah karya berjudul Madad al-Hakam al-Matin musnah dalam musibah kebakaran kediamannya pada tahun 1987.

ABUYA & MASYARAKAT: KONDISI SOSIO-POLITIK-KULTURAL MASYARAKAT PANDEGLANG

Karesidenan Banten zaman kemerdekaan hingga Orde Baru merupakan bagian Provinsi Jawa Barat. Banten mengalami perubahan status administrasi pemerintahan semenjak kolonial hingga tahun 1971.

Baca Juga  Angel Has Fallen: A Riveting Action Sequel that Soars to New Heights

Awalnya Banten berstatus sebagai karesidenan, berdasarkan SK Komisaris jenderal No.1, Staatsblad No.81, tahun 1828, terbagi menjadi empat kabupaten: Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Selanjutnya, berdasarkan UU No.5.1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat (sampai tahun 2000).

Pola perekonomian masyarakat Pandeglang sekitar tahun 1975 sebagian besar adalah pertanian (92,03%). Di bidang perdagangan dan industri, persentasenya sangat kecil yaitu masing-masing sebesar 0,5% dan 0,31%.

Penduduk Pandeglang umumnya beragama islam. Bentuk corak sosial dapat dilihat dengan adanya ulama (kyai) sebagai strata sosial teratas. Kelompok sosial ini memiliki posisi penting karena beberapa sebab: (1) perannya yang menentukan ditengah-tengah masyarakat, (2) kyai (ulama) adalah kebersambungan dari struktur pemerintahan Kesultanan Banten (sebagai pewaris para Nabi).

Kehidupan Masyarakat Pandeglang

Masyarakat Pandeglang memiliki karakter yang egaliter, terus terang, dan dalam pandangan beberapa masyarakat dikebudayaan lain, agak tidak sopan. Hal ini memang dapat terlihat dari kebudayaan masyarakat dalam keseharian hidupnya. Masyarakat Pandeglang tidak mengenal stratifikasi sosial yang feodalistik. Dalam penggunaan bahasa keseharian, dari lapis ulama sampai dengan rakyat jelata sama-sama menggunakan bahasa Sunda kasar (jika ditinjau dari bahasa halus masyarakat priyangan).

Asep Muslim, dkk., dalam penelitiannya (yang merupakan hasil wawancara dengan masyarakat pandeglang) menerangkan bahwa bentuk-bentuk pengakuan dan penisbatan seorang sebagai kiyai yang bergelar tertentu di masyarakat Pandeglang terdapat peringkat-peringkat tertentu.

Peringkat dari tertinggi sampai paling rendah adalah sebagai berikut: (1) Wali, (2) Abuya, (3) Kyai bale rombeng, (4) Kyai hikmah dan Kyai politik (posisinya setara, tetapi dalam beberapa hal lebih tinggi kyai hikmah), (5) Ustadz. Ini berdasarkan gambaran perbandingan statistik antara urusan keduniawian ulama/kyai tersebut dengan urusan akhiratnya. Wali digambarkan mengurusi akhirat 90% dan 10% dunia, Abuya mengurusi 80% akhirat dan 20% dunia, Kyai mengurusi 50% akhirat dan 50% dunia, Ustadz mengurusi 20% akhirat dan 80% dunia, dan Santri mengurusi 10% akhirat dan 90% dunia.

Penelitian ini dilakukan pada masa sekarang (tahun 2015) dan masih bisa disanggah dengan penelitian lain. Namun, secara garis besar itulah pemahaman umum yang terjadi di masyarakat Pandeglang. Kemudian, bisa dijadikan acuan untuk kita dalam memahami fenomena struktur keulamaan di Banten (pandeglang pada khususnya).

Peran Para Kyai di Masyarakat

Secara pragmatis, masyarakat Pandeglang sangat bergantung pada para kyai ini. Dalam urusan apapun, masyarakat selalu melibatkan peran kyai tersebut. Hal yang sangat menonjol adalah para kyai ini selain dapat menyelesaikan persoalan keumatan (kemasyarakatan). Selain itu, juga memiliki kemampuan magis yang digunakannya untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat Pandeglang adalah manusia-manusia yang tidak semata melihat dunia dalam kacamata fisik, tetapi mereka juga melihat dunia dari dimensi lainnya, metafisik. “Elmu-elmu” metafisik ini disebarluaskan oleh para kyai yang umumnya memiliki keanggotaan tareqat tertentu, berupa “air do’a”, “amalan-amalan”, hingga “wafaq”.

Terkait kepemimpinan para kyai, Tihami (dikutip dari wawancara Juhdi Syarif) menyebutkan bahwa ada beberapa penanda yang membedakan antara pemimpin dan yang dipimpin, dalam pandangan masyarakat Pandeglang. Seseorang disebut sebagai pemimpin jika ia memiliki kekuasaan, kedudukan, keberanian, dan integritas.

Persyaratan-persyaratan itu didapat melalui dua jalan: jalan keturunan dan jalan penguasaan magis. Kedua cara ini bisa dilakukan pada saat bersamaan, bisa pula hanya salah satunya.

Dalam konteks kepemimpinan Abuya Dimyathi, kedua persyaratan diatas dimiliki olehnya. Beliau adalah keturunan ulama tersohor di Banten. Beliau juga dikenal oleh masyarakat dan murid-muridnya –yang umumnya ulama (kyai)- memiliki elmu kesaktian (magis).

SIKAP POLITIK ABUYA DIMYATHI

Cara pandang Abuya Dimyathi terhadap agama dan hukum-hukumnya menuruti para ulama NU. Hal ini diterangkan oleh Abuya Murtadlo, bahwa memang muslim haruslah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, ada hal yang perlu di catat bahwa untuk mengikuti kedua wahyu itu mestilah berlandaskan ijmak dan qiyas dari sahabat dan para ulama pakar. Di situlah makna dari wahyu dapat terpahami dengan benar, dan terjaga keasliannya.

Dengan dasar-dasar di atas Abuya Dimyathi melandaskan pandangan-pandangan politiknya soal negara, masyarakat, dan mengenai Pancasila.

Abuya Dimyathi bukanlah seorang politisi praktis. Beliau lebih menyukai kajian-kajian yang bersifat akademik. Beliau lebih dikenal luas oleh masyarakat sebagai kiyai pemimpin pondok pesantren dan ahli hikmah (tasawuf).

Pada tahun 1951, Abuya pernah ditawari oleh KH. Tb Achmad Khatib (Residen Pertama Banten) untuk memegang Banten Lama (komplek penziarahan Sultan Hasanudin dan bekas keraton kesultanan Banten) dan mendirikan Pusat Studi Islam (sebagaimana Al-Azhar Mesir), dengan biaya hidup dan biaya operasional ditanggung Karesidenan Banten. Abuya Dimyathi menolaknya secara halus, dengan dalih ingin tetap fokus pada pengajaran dan pengembangan ilmu di Cidahu, Pandeglang.

Metode Abuya Dimyathi

Berkata-kata untuk mengoreksi pemerintah, Abuya Dimyathi menggunakan tahap tingkatan, metode al-akhaf wa al-akhaf.

Melakukan koreksi kepada pemerintahan yang berkuasa, di mata Abuya jangan sampai menggunakan tindakan anarkis dan frontal, tetapi bertahap.

Pertama melalui sindiran. Jika masih belum digubris, gunakan tahap kedua dengan kata-kata yang lebih terang. Bentuk teguran yang tegas, tapi dengan bahasa yang tidak menyakitkan. Demonstrasi, menurut pandangan Abuya Dimyathi memiliki kesalahan, membuka peluang penghinaan terhadap yang bersalah.

 

 

[i] Tulisan ini berdasarkan Hasil wawancara dengan Abuya Murtadlo, dipesantren Cidahu, 2 Juli 2021, dan buku: HM.Murtadlo Dimyathi. Manaqib Abuya Cidahu Dalam Pesona Langkah di dua Alam. Pandeglang: NP, 2008

 

 

TENTANG PENULIS

WhatsApp Image 2023 02 02 at 4.21.29 PM

Riki Gana S

Riki Gana Suyatna (yang lebih dikenal dengan rikigana), lahir di Lebak, 23 Juli 1986. Walaupun Pendidikan S1 dan S2 tidak dalam bidang sejarah (S1 Teknik Metalurgi UNTIRTA, S2 Marketing Management UNTIRTA), tapi minat akan sejarah begitu besar. Bersama rekannya yang bekerja di historia (majalah sejarah nasional), pada tahun 2015 mendirikan Komunitas Sajarah Banten, komunitas yang fokus menggali kesejarahan-kesejarahan di Banten, Di waktu yang sama, dia mendirikan lembaga yang disebut “Jelajah Museum”, sebagai representasi dari hobinya yang sudah dimulai dari tahun 2012 menjelajahi museum-museum baik di dalam negeri maupun luar negeri (tercatat sudah 60 museum yang dikunjungi). Aktifitas sehari-hari riki menjalankan usaha di bidang Teknik, Manajemen dan budaya melalui sebuah PT yang didirikannya (PT.Anu Kula Ghana), mengajar Sejarah & Seni Budaya di SMK Pelayaran Nusantara, Dosen Teknik Mesin di Politeknik Krakatau Cilegon dan sesekali diundang untuk mengisi kuliah tamu tentang kesejarahan Banten. Kedekatannya dengan keluarga Cidahu –pesantren Abuya Dimyathi– terutama dengan Abuya Murtadlo, dimulai sejak 2007, saat istighosah bulanan yang rutin dilakukan di Cidahu. Bisa korespondesi melalui media sosial: @rikigana dan kontak lebih lanjut bisa menghubungi: riki.gana86@gmail.com.

 

 

Riki Gana S

(Founder Komunitas Sajarah Banten, Jelajah Museum, dan Alumni YPL GI angkatan 9)

 

Editor: Addinda Zen

 

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life