Home » Jawab Pertanyaan Presiden Jokowi, Faisal Basri: Hilirisasi Nikel Ugal-Ugalan

Jawab Pertanyaan Presiden Jokowi, Faisal Basri: Hilirisasi Nikel Ugal-Ugalan

by Addinda Zen
3 minutes read
Indonesia memiliki sumber daya nikel mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam, dengan jumlah cadangan 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam.

ESENSI.TV - JAKARTA

Kebijakan hilirisasi pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menuai pro dan kontra di dalam negeri. Salah satunya, ekonom senior, Faisal Basri yang sebut hilirisasi nikel menguntungkan Cina.

Hilirisasi merupakan pengolahan produk bahan mentah yang lebih bernilai atau siap jual. Presiden Joko Widodo beserta jajaran pemerintahannya berkomitmen untuk melakukan hilirisasi bahan-bahan tambang. Hilirisasi tambang disebut akan memberikan nilai tambah komoditas yang berlipat bagi negara.

Meski begitu, kebijakan pemerintah tersebut menuai gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO). Pasalnya, hilirisasi bahan tambang berpotensi mengganggu pasokan nikel global yang berujung memicu konflik dagang. WTO sempat menggugat Indonesia terkait kebijakan hilirisasi tersebut.

Penggunaan kekayaan alam negara sendiri diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat 3. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Hilirisasi Nikel Ugal-Ugalan

Terbaru, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menyampaikan balasan pertanyaan Presiden Joko Widodo terkait pro kontra keuntungan hilirisasi. Faisal menyebut, hilirisasi selama ini berjalan ugal-ugalan, khususnya nikel.

“Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh Cina dan mendukung industrialisasi di Cina, bukan di Indonesia.” jelas Faisal Basri di laman blog resminya.

Faisal Basri juga menyebut Cina tidak membayar royalti. Pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

“Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.” jelasnya.

Lebih lanjut, Faisal menjelaskan, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, peranan sektor industri manufaktur terus menurun. Dari 21,1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022. Ini merupakan titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

Berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$.

Faisal Basri Sebut Hilirisasi Untungkan Cina

Sebelumnya, Faisal Basri menyebut hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah selama ini menguntungkan Cina. Menurut Faisal, 90% keuntungan dari hilirisasi dinikmati oleh Cina.

“Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat 10 persen, 90 persennya ke China,” tutur Faisal Basri dalam Diskusi Kajian Tengah Tahun Indef, belum lama ini.

Baca Juga  Tugas Berat Retno Marsudi Loloskan Hilirisasi Tambang di WTO

Faisal Basri juga menyampaikan, pemerintah seharusnya menyusun strategi industrialisasi. Strategi industrialisasi dapat lebih mendorong penciptaan rantai terstruktur. Tidak hanya itu, industrialisasi disebut dapat mendorong struktur industri dan ekonomi Indonesia.

“Sayangnya tidak ada yang namanya strategi industrialisasi, yang ada kebijakan hilirisasi,” tambah Faisal.

Tanggapan Presiden Joko Widodo

Presiden Joko Widodo merespon langsung pernyataan Faisal Basri tersebut. Ia menjelaskan harga bahan tambang setelah masuk ke industrial downstreaming. Presiden Joko Widodo bahkan mempertanyakan hitungan Faisal Basri di pernyataan sebelumnya.

“Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel. Saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun,” jelas Presiden Jokowi saat menjajal LRT Jabodebek beberapa waktu lalu.

Presiden Jokowi juga menambahkan, pajak yang diambil juga jauh lebih besar. Hilirisasi akan memberikan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan. Selain itu, ada royalti, bea ekspor, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Faisal Basri secara khusus juga mempertanyakan angka Rp510 triliun yang disebutkan Presiden Joko Widodo. Ia menjelaskan, tahun 2022 nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar.

“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.” tutur Faisal Basri.

Untuk diketahui, berdasarkan keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 31/2022 tentang Rencana Pengelolaan Mineral dan Batu Bara Nasional Tahun 2022-2027 menunjukkan, nikel memiliki sumber daya yang begitu besar.

Total sumber daya nikel mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam, dengan cadangan 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam. Sedikitnya ada tujuh provinsi tempat berdirinya tambang nikel berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikantongi perusahaannya. Di  antaranya Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

 

Editor: Dimas Adi Putra

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life