Home » Pengamat Pertanyakan Pernyataan Bahlil Sebut Preman Kepada Warga Rempang

Pengamat Pertanyakan Pernyataan Bahlil Sebut Preman Kepada Warga Rempang

by Addinda Zen
2 minutes read
Bahlil Rempang

ESENSI.TV - JAKARTA

Rencana relokasi warga Rempang, Kepulauan Riau oleh Rempang Eco City masih penuh polemik. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia diminta membebaskan sejumlah warga Rempang yang terlibat bentrok dengan aparat September lalu. Hal ini menjadi diskusi bersama dengan Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal tersebut, Bahlil menyampaikan, sebanyak 8 pendemo Rempang telah dibebaskan. Namun, untuk pendemo anarkis masih tetap akan diproses.

“Sudah kami bantu 8, Bu. Tapi mohon maaf kalau yang anarkis tetap diproses. Kalau itu dibiarkan, negara kita jadi negara preman semua,” ujar Bahlil.

Terkait pernyataan tersebut, Pengamat Politik, Rusmin Effendy mempertanyakan kalimat Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menyebutkan warga Rempang sebagai preman. Khususnya bagi warga yang menolak penggusuran dari tanah leluhur mereka yang sah.

“Pemerintah melalui Menteri Bahlil jelas menunjukkan sikap arogansi dan premanisme. Tapi justru mereka yang menuding warga Rempang sebagai preman karena warga mempertahankan haknya,” ujar dia saat Diskusi Media, di Jakarta, Kamis (05/10/2023).

Rusmin mengingatkan pemerintah untuk menghormati hak-hak masyarakat, dan tidak boleh semena-mena. Apalagi, dengan rencana pemerintah yang ingin mengembangkan sektor perekonomian wilayah di Rempang.

“Intinya, pemerintah harus menghormati hak-hak masyarakat. Bukan malah menekan dan menakut-nakuti masyarakat. Tanpa masyarakat tak mungkin ada pemerintah. Ingat itu!” tegas Rusmin.

Bentrok antara warga dan aparat terjadi saat Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana melakukan pengukuran dan mematok lahan. Warga yang keberatan pun membuat barikade. Aparat menerobos barikade ini dengan membawa water canon dan gas air mata. Polri pastikan tak ada masyarakat maupun aparat kepolisian yang menjadi korban jiwa maupun luka dalam bentrokan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Kepres Nomor 28 tahun 1992

Anggota Komisi VI DPR RI lain, Herman Khaeron juga mempertanyakan Kepres Nomor 28 tahun 1992 pada Bahlil. Dalam Kepres ini, Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya disebut masuk wilayah Daerah Industri Pulau Batam. Wilayah baru ini kemudian menyandang status quo sehingga Otorita Batam belum bisa mengalokasikan peruntukannya. Sebagai informasi, Otorita Batam berubah menjadi Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 2007.

Baca Juga  BNPB Imbau Pemda dan Warga Tojo Una-Una Sulteng Siaga Potensi Gempa Susulan

“Sebelum terbitnya Kepres Nomor 28 Tahun 1992 di lokasi Pulau Rempang yang hektare sudah ada penduduknya apa belum? Terus di mana logika dan nilai kemanusiannya hanya selembar Kepres Nomor 28 Tahun 1992, wilayah penduduk tanahnya yang sudah diduduki kemudian dianggap menjadi tanah negara,” jelas Herman.

Herman juga menilai relokasi kawasan seharusnya dilakukan secara bermartabat dan sesuai dengan kesepakatan dua belah pihak. Ia menilai, warga Rempang tidak bisa disingkirkan hanya untuk investasi. Herman bahkan menyebut BP Batam sebagai inlander yang berusaha menyingkirkan warga asli wilayah tersebut.

“Kalau cara berpikir seperti itu, apa bedanya BP Batam itu dengan VOC yang hanya mengukir garis panjang lalu dianggap wilayahnya. Apa jangan-jangan BP Batam pun masih memandang mereka adalah inlander yang enggak punya hak sama dengan warga negara lain,” ujarnya.

HPL Belum Diterbitkan

Ombudsman Indonesia turut bersuara terkait polemik ini. Investigasi Ombudsman menemukan maladministrasi antara BP Batam dan kepolisian serta Lembaga Adat Melayu Kepri maupun Batam.

Ombudsman juga menemukan bahwa sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) belum diterbitkan.

“Hak Pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat. Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan Area Penggunaan Lain (APL) telah terbit dari Menteri ATR/KBPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada tanggal 30 September 2023. Meskipun dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri ATR/BPN berdasarkan permohonan BP Batam,” ujar Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro dikutip dari laman resminya.

Ombudsman RI meminta agar Pemkot Batam dan BP Batam agar melakukan dialog atau musyawarah dengan masyarakat secara persuasif.

 

Editor: Dimas Adi Putra/Raja H. Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life