Home » Lawan-lawan Prabowo-Gibran Berbalik Arah, Berkah atau Kutukan untuk Demokrasi Indonesia?    

Lawan-lawan Prabowo-Gibran Berbalik Arah, Berkah atau Kutukan untuk Demokrasi Indonesia?    

by Nazarudin
3 minutes read
Pasangan Capres dan cawapres RI periode 2024-2029 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul sementara di real count KPU.

ESENSI.TV -

Partai-partai politik yang awalnya menjadi lawan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres Februari lalu, kini satu persatu menyatakan dukungan. 

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkan Prabowo – Gibran dalam sengketa Pilpres 2024, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasdem dan PKS memberi sinyal ingin bergabung dengan pemerintahan mereka. 

Sebelumnya, tiga partai tersebut merupakan koalisi pendukung Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, salah satu lawan Prabowo – Gibran dalam Pilpres lalu. 

Saat ini, Prabowo mendapat dukungan dari 10 partai politik, yang pada pemilu Februari lalu memenangkan 48% dari 580 kursi yang diperebutkan. 

Jika hanya PKB dan NasDem yang bergabung dengan pemerintahan Prabowo-GIbran, maka pasangan ini sudah mendapatkan dukungan mayoritas yaitu 71%, belum lagi jika PKS bergabung. 

Analis politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati pada Benarnews mengatakan dukungan politik ini bisa menciptakan stabilitas pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif, namun mengecilkan kekuatan untuk melakukan fungsi pengawasan jalannya pemerintahan. 

“Koalisi yang besar membuat fungsi pengawasan akan tereduksi,” kata Wasisto. 

Kabar terbaru, PPP juga memberikan sinyal mendukung pemerintahan yang akan datang.

PKB, NasDem dan PKS merupakan kelompok partai politik yang menamakan diri Koalisi Perubahan untuk mendukung Anies dan Muhaimin pada pemilihan presiden Februari lalu.

Sementara PPP adalah salah satu partai yang masuk koalisi bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan dua partai kecil lainnya.

PDIP sendiri sebagai partai penguasa dan pemenang pemilu legislatif belum menentukan arah politiknya, apakah akan bergabung mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran atau menjadi partai di luar pemerintahan. 

Kecenderungan berbalik arahnya partai-partai tersebut, menurut Wasisto, akan memunculkan kartel politik yang menjadi kekuatan parpol utama dan mayoritas dalam merumuskan wacana dan kebijakan.

“Kecil kemungkinan untuk menerima pandangan alternatif. Potensi kartel bisa menjadi besar dan bisa mereduksi suara alternatif yang penting untuk demokrasi,” ujar Wasisto. 

“Kalau semakin besarnya koalisi, tentu akan makin besar jumlah lembaga atau institusi. Akan menambah jabatan baru atau pos-pos baru. Nanti akan membuat pemerintahan ke depan itu semakin lamban karena banyak rantai yang harus dilewati.”

Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Bandung, Idil Akbar, mengatakan jika parpol-parpol lawan bergabung dengan Prabowo, hal itu bisa memperkuat pemerintahannya ke depan, namun cenderung merusak sistem demokrasi.

“Tentu saja itu menjadi keuntungan pemerintah yang nanti berjalan, karena pada akhirnya semua program yang direncanakan pemerintah nantinya dipastikan disetujui semua anggota dewan. Secara otomatis ini akan menutup peluang adanya oposisi dan mungkin akan menjadi penyeimbang,” ujar Idil kepada BenarNews.

Baca Juga  Jokowi Sebut Korpri Kekuatan Besar Penentu Kemajuan Bangsa

“Kita tidak akan memiliki partai politik yang memang mampu memberikan posisi tawar lain kepada pemerintah Prabowo-Gibran, sementara demokrasi membutuhkan keseimbangan,” tukas Idil.

Menurut Idil, perlu ada keseimbangan komposisi kursi partai politik di DPR agar proses check and balance berjalan.

“Ketika semua partai politik justru mendukung pemerintah, menurut saya berat juga harus mengatakan baik-baik saja kedepannya,” kata dia.

Tidak etis

Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, menilai langkah partai-partai Koalisi Perubahan yang kini berbalik mendukung Prabowo merupakan tindakan yang tidak etis.

“Tentu tidak pas, tidak cocok dan kurang baik juga kalau partai yang kalah itu masuk atau gabung ke pemerintahan. Tapi di politik kita ini kan tidak ada standar etisnya, ini yang repotnya,” ujarnya kepada BenarNews.

Menurut Ujang, parpol-parpol di Indonesia kerap tidak menjadikan standar etika sebagai acuan atau referensi dalam politik.

“Yang ada adalah langkah taktis, pragmatis dan kepentingan jangka pendek. Ketika kalah ya menginginkan jabatan lalu bergabung dengan kekuasaan, itu yang terjadi selama ini hampir di banyak partai politik,” terangnya.

Ujang berharap munculnya oposisi yang kuat dan tangguh ke depan di masa pemerintahan Prabowo Gibran, namun harapan itu akan kandas ketika NasDem dan PKB gabung ke pemerintahan.

“Nah dalam konteks itu memang sulit masyarakat mengharapkan untuk bisa menghadirkan pihak-pihak yang kalah itu menjadi oposisi, pihak-pihak yang kalah itu bisa bersama rakyat untuk mengawasi atau mengontrol jalannya pemerintahan,” tukasnya.

Pengamat politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menilai Koalisi Perubahan terlihat rapuh dalam berpolitik dan itu ditunjukkan dengan upaya NasDem dan PKB merapat ke Prabowo-Gibran.

“Pasca-penetapan kemenangan Prabowo-Gibran, Koalisi Perubahan yang tampak garang selama kampanye 2024 lalu, ternyata menjadi koalisi yang paling rapuh dalam kalkulasi pragmatisme politik praktis,” ucap Khoirul dalam keterangannya.

Merapatnya NasDem dan PKB ke Prabowo, menjadi indikator yang nyata dan begitu vulgar dari Koalisi Perubahan yang terbukti sangat mudah berubah, tambah dia.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan jika bicara tentang konteks ‘merangkul’ untuk menyamakan persepsi bahwa pemilihan presiden sudah selesai tentu itu adalah hal yang baik.

Namun, kata dia, jika tafsir “merangkul” itu harus mengajak beberapa pihak dalam koalisi bersama untuk mengharuskan dan berbagi menjadi menteri, maka itu kurang tepat.

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life