Home » Bentrokan di Pulau Rempang, Belasan Siswa Pingsan karena Gas Air Mata

Bentrokan di Pulau Rempang, Belasan Siswa Pingsan karena Gas Air Mata

by Lyta Permatasari
3 minutes read
Warga membopong seorang siswa SMPN 22 Galang yang kesakitan akibat terkena gas air mata akibat bentrok aparat dan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).

ESENSI.TV - Batam

Bentrokan antara aparat gabungan dan warga terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). Peristiwa itu terjadi saat petugas hendak melakukan pengukuran lahan terkait proyek Rempang Eco City. Akibat bentrokan itu, sejumlah warga ditangkap dan siswa di dua sekolah terkena tembakan gas air mata.

Salah seorang warga Pulau Rempang, Sri Rusmiati (52), mengatakan, bentrokan terjadi setelah ratusan warga menghadang kedatangan aparat gabungan dari Batam di Jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) IV. Kedatangan aparat itu untuk mengawal pengukuran lahan terkait dengan proyek Rempang Eco City.

Dari keterangan sejumlah warga, bentrokan terjadi setelah sekitar 1.000 aparat gabungan dan puluhan kendaraan lapis baja merangsek ke arah masyarakat di Jembatan Barelang IV. Warga lalu melempari aparat dan hal itu direspons aparat dengan menembakkan water canon dan gas air mata.

”Saya teriak sambil nangis waktu lihat aparat nyemprot gas air mata ke sekolah. Kacau-balau hati saya lihat anak kesakitan kena gas air mata,” kata Rusmiati.

Sekolah yang terkena tembakan gas air mata adalah SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang. Para siswa dua sekolah tersebut berhamburan ke hutan di belakang sekolah setelah kelas mereka penuh dengan gas air mata.

Kepala SMPN 22 Galang Muhammad Nizab mengatakan, sejumlah proyektil gas air mata jatuh hanya beberapa meter dari gerbang sekolah. Akibatnya, gas air mata dengan cepat memenuhi ruang kelas yang saat itu sedang penuh dengan siswa.

”Ada belasan siswa yang pingsan karena gas air mata. Beberapa lainnya juga mengalami luka di kaki akibat lari menerobos semak-semak di hutan,” ujar Nizab.

Bentrokan itu merupakan buntut konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang. Konflik itu bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Pulau Rempang, yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.

Di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Baca Juga  Hari Pertama, 147 Jemaah Lakukan Pelunasan Biaya Haji

Lewat pernyataan tertulis, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyatakan, bentrokan terjadi karena warga lebih dulu melempar batu dan botol ke aparat gabungan yang berusaha masuk ke Rempang. Menurut dia, polisi sudah menangkap sejumlah warga yang diduga menjadi provokator kericuhan.

Ariastuty menyebut, BP Batam sebelumnya telah melakukan sosialisasi kepada warga terkait dengan pengukuran lahan di Rempang. Namun, dia menambahkan, warga tidak mengindahkan sosialisasi tersebut dan tetap melakukan pemblokiran jalan. Tindakan warga itu membuat aparat gabungan harus melakukan pembubaran paksa.

Ada belasan siswa yang pingsan karena gas air mata. Beberapa lainnya juga mengalami luka di kaki akibat lari menerobos semak-semak di hutan.

Pemblokiran jalan

Hingga berita ini ditulis, situasi di Pulau Rempang masih mencekam. Di sejumlah titik, warga merobohkan pohon dan membakar ban untuk menghalangi aparat gabungan masuk lebih jauh ke kampung-kampung adat di Pulau Rempang.

Tokoh warga Pulau Rempang, Gerisman Ahmad, mengatakan, di pulau itu terdapat 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli yang terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat ini diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak tahun 1834.

Sebanyak 16 kampung adat Melayu itu terancam tergusur akibat proyek Rempang Eco City. Padahal, menurut Gerisman, proyek itu seharusnya bisa dibangun tanpa menggusur permukiman adat. Sebab, luas 16 permukiman adat di Rempang tidak sampai 10 persen dari total luas pulau itu yang mencapai 17.000 hektar.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, sejak awal warga Rempang sadar tujuan pengukuran lahan itu untuk merelokasi atau menggusur warga dari tanah adatnya. BP Batam pun seharusnya tahu bahwa warga akan menolak keras pengukuran lahan itu.

”Program Strategis Nasional Rempang Eco City sejak awal abai terhadap suara masyarakat adat. Oleh sebab itu, kami meminta Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas untuk membatalkan program tersebut,” kata Zenzi.

 

 

 

Editor: Farahdama A.P/Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life