Home » Core Indonesia: Ada 4 Risiko yang Bisa Hambat Kinerja Sektor Perbankan Tahun Ini

Core Indonesia: Ada 4 Risiko yang Bisa Hambat Kinerja Sektor Perbankan Tahun Ini

by Erna Sari Ulina Girsang
2 minutes read
Ilustrasi kredit. Foto: dok

ESENSI.TV - JAKARTA

Indonesia menghadapi titik terendah akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020 dan tahun 2021 lalu. Meski tidak ada gejolak atau kasus-kasus kredit macet yang muncul, kinerja sektor perbankan anjlok dibandingkan sebelum pandemi.

Namun, demikian di tahun 2022, kinerja positif industri perbankan sudah diperoleh kembali. Center of Reform on Economics (Core) Indonesia memperkirakan perbaikan kinerja sektor perbankan masih akan berlanjut tahun 2023, meskipun tidak sekencang tahun 2022.

Namun, pelaku industri dan pihak terkait dinilai perlu tetap mewaspadai empat risiko utama yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan sektor perbankan tahun ini. Ini dia risikonya yang diulas lengkap oleh Core Indonesia dalam Core Economic Outlook 2023: Harnessing Resilience Againts Global Downturn.

1. Kenaikan Suku Bunga Acuan Bank Sentral

Pengetatan moneter Bank Indonesia tahun ini, yang diperkirakan akan berlanjut hingga awal tahun depan sejalan dengan pengetatan moneter global, akan berimbas pada kenaikan suku kredit perbankan.

Dengan demikian, risiko kredit berpotensi meningkat. Per Agustus 2022, meskipun secara umum non performing loan (NPL) telah turun dibandingkan tahun lalu, namun beberapa sektor masih memiliki tingkat NPL yang relatif tinggi.

Sektor-sektor itu adalah perikanan (6,9%), industri pengolahan (4,6%), perdagangan (4,2%), dan penyediaan akomodasi (5,7%). Dengan pengetatan moneter tersebut ditambah dengan potensi pelemahan ekonomi global dan domestik, risiko kredit pada sektor-sektor tersebut berpotensi meningkat pada tahun mendatang.

2. Penyesuaian Giro Wajib Minimun

Pengetatan moneter BI dalam bentuk penyesuaian secara bertahap giro wajib minimum berpotensi menurunkan tingkat likuiditas perbankan, sehingga pada akhirnya akan menurunkan kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit dan pembelian surat berharga.

Di sisi lain, prospek ekonomi global yang tidak secerah tahun ini menyebabkan realisasi kredit tahun depan diperkirakan melambat, terutama sektor-sektor yang terdampak secara langsung, seperti sektor pertambangan dan sektor manufaktur yang berorientasi ekspor.

Peningkatan potensi kredit macet akan mendorong perbankan meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sehingga potensi penerimaan sektor perbankan menjadi lebih rendah.

Baca Juga  Harga Pangan Tahun 2023 Diprediksi Naik Lagi Karena Dipicu 4 Hal Ini

3. Konsolidasi Bank Umum

Salah satu aturan yang cukup berdampak pada sektor perbankan pada tahun 2023 adalah Peraturan OJK Nomor 12 tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Aturan ini mewajibkan perbankan memiliki modal inti dari minimal Rp100 miliar menjadi minimal sebesar Rp 1 triliun pada 2020, lalu naik menjadi Rp2 triliun pada 2021 dan Rp3 triliun pada 2022.

Aturan yang bertujuan untuk mempercepat proses konsolidasi industri perbankan tersebut telah mendorong bank-bank kecil untuk melakukan penambahan modal baik dalam bentuk right issue, merger, dan akuisisi.

Bank-bank yang tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut terpaksa dimerger, dilikuidasi, atau diturunkan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan cakupan usaha yang lebih terbatas dibandingkan dengan bank umum.

Meskipun demikian, dalam jangka panjang, konsolidasi tersebut akan memperkuat daya tahan perbankan dalam menghadapi risiko, meningkatkan efisiensi operasional, seperti peningkatan skala operasional, peningkatan jangkauan pasar, serta meningkatkan kemampuan dalam menghadapi persaingan yang semakin tinggi.

Salah satunya adalah peningkatan penetrasi perusahaan finansial teknologi yang beririsan dengan segmen layanan bank, seperti pembiayaan dan pembayaran.

4. Risiko Keamanan Perbankan Digital

Sejalan dengan meningkatnya permintaan jasa perbankan digital, yang menawarkan berbagai keuntungan, seperti biaya yang lebih rendah, kemudahan dalam bertransaksi dan kecepatan dalam memberikan layanan kepada nasabah, risiko keamanan juga akan semakin tinggi.

Risiko keamanan antara lain, kebocoran data nasabah yang terkait dengan fraud, khususnya bagi perbankan yang masih belum optimal dalam mengembangkan infrastruktur keamanan layanan digitalnya.

Di samping itu, masih lemahnya literasi masyarakat mengenai layanan digital menyebabkan maraknya kegiatan pencurian data dengan metode phishing, yaitu menipu atau mengelabui seseorang agar memberikan informasi pribadi atau data-data sensitif seperti username, password, nomor kartu kredit dan lain-lain. *

 

Editor: Erna Sari Ulina Girsang
Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life