Kepolisian menggeledah kantor komite wasit Spanyol (CTA) di dalam Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) beberapa waktu lalu. Penggeledahan ini merupakan bagian dari penyelidikan dugaan kasus penyuapan dalam dugaan korupsi komite wasit. Klub Spanyol Barcelona turut terseret kasus ini sebagai tersangka.
Bulan Maret lalu, jaksa mengajukan pengaduan atas dugaan pembayaran lebih dari 7,3 juta euro oleh Barcelona. Pembayaran ini diduga dilakukan selama 17 tahun kepada perusahaan-perusahaan milik Jose Maria Enriquez Negreira. Ia merupakan mantan Wakil Presiden Komite Wasit RFEF hingga 2018.
Pembayaran ini terungkap setelah otoritas pajak melakukan penyelidikan terhadap perusahaan milik Negreira, Dasnil 95. Rinciannya, Barcelona melakukan pembayaran pada perusahaan tersebut dengan total yang dilaporkan 1,4 juta euro antara tahun 2016 dan 2018. Kemudian, sekitar 7 juta euro antara 2011 dan 2018.
Hakim Aguirre Lopez menyebut, saat dugaan pelanggaran itu terjadi Negreira berstatus pegawai negeri. Oleh karena itu, tuduhan suap ini menjadi lebih serius. Aguirre Lopez meyakini bahwa Barcelona mendapat keuntungan dari wasit.
Pembayaran Dasnil 95
Dikutip dari BBC, Barcelona mengakui membayar Dasnil 95. Perusahaan ini digambarkan sebagai ‘konsultan teknis eksternal’ untuk menyusun laporan video terkait wasit profesional. Hal ini disebut sebagai praktik umum di antara klub sepak bola profesional.
Terkait hal ini, Manajer Barcelona, Xavi Hernandez menyampaikan, ia tidak pernah merasa wasit memihak timnya. Ia juga membantah klubnya melakukan kesalahan apapun.
“Saya tidak pernah merasa bahwa wasit memberikan keputusan yang menguntungkan kami. Tidak akan pernah,” ujarnya.
UEFA juga akan memeriksa Barcelona, sejalan dengan undangan untuk ikut terlibat dalam pemeriksaan dari RFEF. Saat ini, Barcelona sendiri sedang melakukan renovasi pada Stadion Camp Nou. Renovasi ini meliputi pembangunan kompleks olahraga Espai Barca. Anggaran pembangunan ini disebut mencapai 1,5 miliar euro.
Atas kasus ini, Barcelona terancam dilarang bermain sepak bola dan hukuman berat lainnya.
Editor: Dimas Adi Putra/Raja H. Napitupulu