Home » Tugas Berat Retno Marsudi Loloskan Hilirisasi Tambang di WTO

Tugas Berat Retno Marsudi Loloskan Hilirisasi Tambang di WTO

by Erna Sari Ulina Girsang
4 minutes read
Menlu Retno Marsudi Foto Tangkap Layar Podcast Endgame

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Indonesia menghentikan ekspor mineral mentah, tetapi diganjal oleh Uni Eropa melalui WTO. Presiden Joko Widodo mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memimpin Indonesia melawan gugatan itu dan meloloskan hilirisasi tambang di WTO.

Indonesia telah memulai program hilirisasi komoditas pertambangan sejak tiga tahun lalu secara bertahap. Mulai dari komoditas bijih nikel, kemudian tembaga dan pada Juni tahun ini akan dimulai penghentian ekspor bijih bauksit.

Kebijakan ini tentunya harus disertai dengan kesiapan di dalam negeri, mulai dari pembangunan smelter oleh perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menampung dan mengolah bahan baku mineral menjadi bahan setengah jadi. Bahan setengah jadi inilah yang akan digunakan oleh pabrik-pabrik manufaktur di dalam negeri untuk diolah menjadi bahan jadi.

Tantangan Hilirisasi

Tantangan mempersiapkan hilirisasi di dalam negeri tidak bisa dikatakan sedikit. Mulai dari kesiapan modal, teknologi, tenaga kerja dan membangun industrialisasi, sehingga nilai tambah sumber daya alam tidak lari ke negara lain.

Selain di dalam negeri, tantangan berat datang dari luar. Sejumlah negara industri di Uni Eropa, menilai kebijakan Pemerintah tidak adil karena perusahaan manufaktur di kawasan itu kesulitan mendapatkan bahan baku yang selama ini di pasok dari Indonesia.

“Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Pemerintah Indonesia maju terus, tetapi Uni Eropa juga tidak tinggal diam. Mereka menggungat ke Organsiasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan telah menang di tahap awal. Pemerintah Indonesia mengajukan banding.

Kemarin, Selasa (10/1/2023) di acara Perayaan HUT ke-50 PDI Perjuangan, Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan komitmen Indonesia untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam dan akan dilanjutkan ke industrialisasi.

Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri dengan Segudang Kemampuan Diplomasi dan Negosiasi

Presiden mengutus Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menjadi pemimpin perwakilan Indonesia membawa banding ke WTO. Targetnya, WTO memutuskan bahwa hilirisasi tambang Indonesia adalah benar dan sah, sehingga tidak perlu diperdebatkan oleh negara lain.

Amanat ini tentu tidak berlebihan. Kemampuan Retno dalam perundingan internasional tidak diragukan lagi. Sebelum menjadi Menlu, Retno adalah Duta Besar RI di Norwegia periode 2005 hingga 2008 dan Duta Besar RI di Belanda periode 2011 hingga 2014.

Kemudian, ketika Presiden Joko Widodo memenangkan Pemilihan Presiden tahun 2014, Retno diminta pulang dari Belanda dan kembali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri hingga saat ini.

Dia menyelesaikan Sarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Magister Hukum di Haagse Hogeschool, Belanda. Retno mengawali karirnya sebagai diplomat sejak tahun 1997. Untuk bertarung di WTO melawan Uni Eropa, tampaknya tidak akan pernah membuat Retno Marsudi gentar. Dia dikenal sangat memahami kondisi Uni Eropa.

Selain menyelesaikan pendidikan S-2nya di Eropa, Retno pernah menjabat sebagai Sekretaris Satu Bidang Ekonomi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Tahun 2001, dia dipercaya menjadi Direktur Eropa dan Amerika, Kementerian Luar Negeri.

Kemudian, dia dipromosikan menjadi Direktur Jenderal Eropa dan Amerika hingga tahun 2014. Sebagai Dirjen Eropa dan Amerika, Retno Marsudi bertanggung jawab mengawasi hubungan Indonesia dengan sebanyak 82 negara di Eropa dan Amerika.

Retno Marsudi juga pernah memimpin berbagai negosiasi multilateral dan konsultasi bilateral dengan Uni Eropa, Asia-Europe Meeting (ASEM) dan Forum for East Asia-Latin America Cooperation (FEALAC).

Baca Juga  Kualitas Hidup dan Pembangunan Berkeadilan

Kiprah Menteri Retno Marsudi dalam Banding Hilirisasi ke WTO

Tugas yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Retno Marsudi adalah meloloskan hilirisasi tambang yang sedang mendapatkan gugatan dari Uni Eropa di WTO. Targetnya, kebijakan ini harus tetap dilanjutkan karena akan menjadi lompatan besar peradaban Indonesia.

“Tapi saya sampaikan kepada Bu Menteri Luar Negeri, “Jangan mundur. Terus banding, kita banding. Kalau banding nanti kalah, saya enggak tahu ada upaya apa lagi yang bisa kita lakukan,” ujar Jokowi.

“Tapi, itulah sebuah perdagangan yang kadang-kadang menekan sebuah negara, agar mereka ikut aturan main yang dibuat oleh negara-negara besar. Sehingga, kalau kita ekspornya kirimnya hanya bahan mentah, sampai kiamat,” tambah Presiden lagi.

Keberhasilan Menteri Luar Negeri sangat menentukan keberhasilan strategi Pemerintah berikutnya, yaitu industrialisasi. Jangan sampai Indonesia tidak bisa keluar dari jajahan gaya kompeni yang sudah berlangsung lebih dari 400 tahun lalu. Sejak masa VOC, Indonesia masih mengirim bahan-bahan mentah ke luar negeri.

Indonesia Tidak Mendapat Nilai Tambah Apapun kala Mengekspor Bahan Mentah ke Luar Negeri

Mengekspor bahan-bahan mentah ke luar negeri menyebabkan Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah apapun. Oleh sebab itu, beberapa aset-aset aset perusahaan tambang sudah diakuisisi Indonesia.

Contohnya, Freeport yang sudah 50 tahun dimiliki oleh Freeport McMoRan AS pada tiga tahun lalu mayoritas sahamnya atau 51,2 persen sudah menjadi milik Indonesia, Di kawasan Grasberg Freeport saat ini, 98 persen pekerjanya adalah Warga Negara Indonesia.

Kemudian, Blok Rokan yang sudah 97 tahun dikelola oleh Chevron dari Amerika Serikat dan Blok Mahakam, setelah 43 tahun dikelola oleh Total E&P dari Perancis saat ini sudah dikelola 100 persen oleh Pemerintah melalui PT Pertamina.

“Tetapi, pekerjaan besar bukan di situ. Setelah menguasai ini, pekerjaan besar ke depan adalah bagaimana membangun sebuah sistem besar agar yang namanya nikel, yang namanya bauksit, yang namanya tembaga, yang namanya timah itu betul-betul semuanya bisa terintegrasi,” jelasnya.

Dari sisi nilai tambah, ketika ekspor bijih nikel masih berlaku, nilai ekspornya hanya Rp17 triliun per tahun. Namun, dalam tiga tahun terakhir, setahun bisa menghasilkan kurang lebih Rp360 triliun.

“Ini baru nikel. Bauksit kemarin sudah kita umumkan di bulan Desember stop juga mulai Juni 2023 dan akan kita industrialisasikan, kita hilirisasikan di dalam negeri. Saya enggak tahu lompatannya, nanti dari kurang lebih Rp20 triliun menjadi Rp60 triliun hingga Rp70 triliun,” terang Presiden.

Pemerintah Tetap Lanjutkan Kebijakan Hilirisasi

Presiden mengatakan meskipun ditakut-takuti soal Freeport, Pemerintah akan tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi. Demikan juga jika mendapatkan tekanan dari WTO untuk stop ekspor bijih nikel dan bauksit, Indonesia tidak boleh gentar karena kekayaan alam itu ada di Indonesia, sehingga menjadi kedaulatan Indonesia yang harus dinikmati oleh rakyat.

“Kenapa ini terus saya ulang-ulang? Karena saya ingin Presiden ke depan juga berani melanjutkannya. Tidak gampang ciut nyali, tidak gentar demi kepentingan bangsa, demi kepentingan negara,” jelas Jokowi.*

Email Penulis: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life