Home » Asia Dihantui Resesi Seks! Jadi Benua yang Paling Mengkhawatirkan?

Asia Dihantui Resesi Seks! Jadi Benua yang Paling Mengkhawatirkan?

by Lyta Permatasari
5 minutes read
ilustrasi

ESENSI.TV - JAKARTA

Fenomena ‘Resesi Seks’ kini menghantui negara-negara di Asia. setelah sebelumnya terjadi pada China dan Korea Selatan. Kini ‘hantu mengerikan’ ini menyelimuti Jepang hingga membuat pemerintah memutar otak mengatasi hal tersebut.

Istilah ‘resesi seks’ secara spesifik mengacu pada turunnya mood pasangan melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak. Pada akhirnya, resesi seks bisa berimbas pada penurunan populasi suatu negara, karena kondisi rendahnya angka perkawinan dan keengganan untuk berhubungan seks.

Resesi seks ini dikabarkan kini benar-benar menghantam Negeri Sakura.Ironisnya, resesi seks kini mulai berujung pada krisis populasi hingga menyebabkan banyaknya sekolah tutup di negeri itu.

Melansir dari Reuters, akhir pekan lalu hanya adadua orang siswabernama Eita Sato dan Aoi Hoshi menjadi satu-satunya dan lulusan terakhir di SMP Yumoto, di Desa Ten-ei, Prefektur Fukushima, utara Jepang. SMP itu sendiri akan ditutup secara permanen, setelah 76 tahun berdiri.

“Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut,” kata Eita, dikutip Selasa (4/4/2023).

Fenomena tutupnya sekolah terjadi akibat angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan. Jumlah ini meningkat terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima yang telah merasakan depopulasi.

Fenomena ini memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil. Padahal ini seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan.

Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru yang berusia lebih muda.

Pemerintah Jepang tentunya tak tinggal diam dengan fenomena ini.Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran. Termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak.

Ia juga mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Sayangnya sedikit yang telah membantu sejauh ini.

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan dengan memberikan layanan kecerdasan untuk menjodohkan warganya, layanan ini dapat digunakan untuk menemukan pasangan yang cocok.

Untuk di wilayah Ehime, pemerintah lokalnya memberikan penawaran perjodohan menggunakan sistem berbasis big data.

Sementara di Miyazaki caranya lebih tradisional, pemerintah memfasilitasi perjodohan di mana calon pasangan berkirim surat terlebih dahulu. Tidak hanya itu, berbagai cara juga dilakukan di wilayah lainnya. Bahkan di Tokyo, memberikan pelatihan dasar, misalnya bagaimana memulai obrolan dengan lawan jenis.

Saat ini Jepang tengah waspada dengan jumlah populasi yang semakin banyak lansia, angka kelahiran kian menurun, hingga fenomena masyarakat yang enggan menikah.

Bisa dikatakan ‘kemampuan romantis’ warga Jepang menurun menjadi penyebabnya. Angka kelahiran anjlok di mana Negeri Sakura ini memiliki angka kelahiran di bawah 800.000 pada tahun 2022, rekor terendah baru. Perkiraan pemerintah menyebut depopulasi juga delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan.

populasi jepang

populasi jepang/IST

Angka Perjaka Meningkat di Jepang

Populasi Jepang mencapai puncaknya pada tahun 2011 sebesar 127,83 juta jiwa. Setelah itu, jumlah penduduk Jepang terus menurun tajam hingga mencapai 124,62 juta jiwa saat ini.

Berbeda dengan populasi yang menurun, jumlah perawan di Jepang saat ini semakin meningkat.

Informasi tersebut dilansir dari Badan Survei Reproduksi Nasional Jepang, yang menyebutkan 1 dari 10 pria Jepang berusia 30-an masih perawan.

“Sebagian besar individu tidak dapat menemukan pasangan,” kata peneliti Peter Ueda dari Universitas Tokyo. Ia mengingatkan, peningkatan jumlah perawan di Jepang merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berpendapatan tinggi.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Institut Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional menemukan bahwa hampir satu dari lima pria Jepang dan 15 persen wanita tidak tertarik untuk menikah. Ini merupakan angka tertinggi sejak tahun 1982. Hampir sepertiga pria Jepang dan seperlima wanita Jepang berusia 50-an tahun belum pernah menikah.

Menurut pakar Harvard Mary Brinton, bertambahnya jumlah perawan dapat dihindari dengan upaya produktif, seperti menyeimbangkan waktu kerja dan keluarga. Populasi Jepang akan turun menjadi setengah dari populasi saat ini jika tren seperti penurunan jumlah seksual tidak diubah dalam waktu setengah abad.

Pemerintah Jepang mencatat bahwa tingkat kesuburan total di Jepang terus menurun selama bertahun-tahun. Pada tahun 2005, statistik tersebut pulih dari angka terendah sebesar 1,26 pada tahun 2005. Kemudian, pada tahun 2021, angka ini akan meningkat menjadi 1,30. Namun pada tahun 2021, jumlah bayi yang lahir di Jepang juga mencapai angka terendah yaitu 811.622. Menurut Mainichi, alasan sebenarnya orang Jepang enggan menikah adalah karena orang Jepang pada dasarnya tidak pandai dalam hal percintaan. Hal itu diungkapkan anggota Fraksi Partai Demokrat Liberal, Narise Ishida.

“Penurunan angka kelahiran bukan karena biaya untuk memiliki anak,” kata Ishida saat sesi tanya jawab bersama dalam konferensi tersebut, dikutip Rabu (4 April 2023).

Baca Juga  Bilateral dengan Jepang, Mendag Optimis Protokol Perubahan IJEPA dapat Diteken

Masalahnya cinta dianggap tabu sebelum menikah, lanjutnya mengungkapkan. Namun, Ishida tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “pandai dalam percintaan”.

Sebelumnya, Ishida meminta pemerintah provinsi melakukan survei dan menganalisis kemampuan emosional masyarakat.

Sebelum Jepang, Negara di Asia Ini Lebih Dulu Mengkhawatirkan

Selain Jepang, sebelumnya resesi seks ini sudah menggila di Korea Selatan dan China.

Februari lalu China di bayang-bayangi ‘hantu’ resesi seks yang begitu menggila di negeri Tirai Bambu ini. Bahkan pemerintah di China sempat panik dan mengantisipasi hal tersebut dengan mengusulkan perizinan wanita lajang yang belum menikah mengakses pembekuan sel telur.

Adapun, pembekuan sel telur dilakukan sebagai langkah untuk menjaga kesuburan para wanita setelah populasi negara itu terjun bebas tahun lalu untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Hal itu diungkapkan Lu Weiying, anggota badan penasehat politik China.

Lu, yang juga seorang dokter kesuburan di provinsi Hainan selatan, mengatakan kepada negara dia juga akan mengusulkan untuk memasukkan perawatan infertilitas dalam sistem asuransi kesehatan masyarakat pada Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC) yang akan dimulai pada 4 Maret mendatang.

Di sisi lain, beberapa provinsi di China telah mengubah peraturan mereka untuk meningkatkan angka kelahiran. Jilin di China timur laut misalnya yang memiliki salah satu tingkat kelahiran terendah di negara itu, mengubah aturannya pada 2002 untuk mengizinkan wanita lajang mengakses IVF tetapi hal itu berdampak kecil dengan praktik yang masih dilarang secara nasional.

Sementara itu, sembilan dari 10 negara terpadat di dunia mengalami penurunan kesuburan. Tingkat kesuburan China 2022 sebesar 1,18 adalah yang terendah dan jauh di bawah standar OECD 2,1 untuk populasi yang stabil. Adapun, China belum secara resmi merilis data kesuburannya untuk 2022.

Sebagian besar penurunan demografi China adalah akibat dari kebijakan satu anak China yang diberlakukan antara tahun 1980 dan 2015 serta tingginya biaya pendidikan. Tahun lalu, China mencatat tingkat kelahiran terendah, yaitu 6,77 kelahiran per 1.000 orang.

Akibatnya, dalam catatan CNBC Indonesia pada April lalu ada 9 sekolah vokasi di China memberikan libur selama satu minggu saat musim semi kepada mahasiswanya untuk ‘menemukan cinta’ di luar kampus.

Menurut laporan Insider, sekolah-sekolah di bawah Fan Mei Education Group mengumumkan bahwa mereka akan meliburkan para mahasiswanya dari 1 April hingga 7 April 2023. Selama liburan, para mahasiswanya ditugaskan untuk bersenang-senang.

“Nikmatilah dunia luar, sentuhlah alam, dan rasakan keindahan musim semi dengan hatimu,” lanjut pihak sekolah dalam pernyataannya.

Sekolah vokasi yang meliburkan para mahasiswanya ini adalah sekolah vokasi yang berfokus pada industri penerbangan, yakni pilot, pramugari, pengawas lalu lintas udara, dan staf keamanan bandara.

Disebutkan, sekolah-sekolah Fan Mei Education Group sudah memberikan libur musim semi kepada para mahasiswa dan dosennya sejak 2019. Namun, tema liburan tahun ini adalah ‘Nikmati Bunganya, dan Jatuh Cintalah’ untuk merujuk pada hal romansa.

Pengumuman libur ini muncul di tengahmasalah ‘resesi seks.’ Negeri Tirai Bambu terus melihat penurunanangka pernikahan dan kelahiran. Sebelumnya, sejumlah perusahaan lokal, provinsi, dan kota telah melakukan sejumlah upaya untuk menghentikan masalah tersebut, salah satunya dengan memberikan 30 hari cuti pernikahan.

Berdasarkan data resmi, pada 2022 populasi China turun untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Data itu dinilai sebagai titik balik yang diperkirakan akan menandai dimulainya periode penurunan yang panjang.

Resesi Seks di Korea Selatan

Hal serupa sebelumnya juga terjadi di Korea Selatan yan menjadi pemicunya adalah warga Korsel menolak untuk memiliki keturunan.

Mengutip AP News, berdasarkan data pemerintah Korsel, Negeri Ginseng ini hanya mencatat tingkat kesuburan 0,81% pada 2021. Idealnya, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1% untuk menjaga populasi.

Tak hanya enggan menikah, warga Korea Selatan yang sudah berumah tangga enggan memiliki keturunan atau hamil.

Hal ini dialami oleh Yoo Yeung Yi (30). Neneknya punya enam anak. Ia sendiri dua bersaudara. Namun, Yoo memutuskan tidak akan memiliki anak.

“Suami saya dan saya sangat menyukai bayi… tetapi ada hal-hal yang harus kami korbankan jika kami membesarkan anak-anak,” kata Yoo kepada AP News.

Ada banyak orang seperti Yoo di Korea Selatan yang memilih untuk tidak punya anak atau tidak menikah. Negara maju lainnya memiliki tren serupa, tetapi krisis demografi Korea Selatan jauh lebih buruk.

Tidak ada angka resmi berapa banyak warga Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Namun catatan dari badan statistik nasional menunjukkan ada sekitar 193 ribu pernikahan di Korea Selatan tahun lalu, turun dari puncaknya 430 ribu pada tahun 1996.

Data badan tersebut juga menunjukkan sekitar 260.600 bayi lahir di Korea Selatan tahun lalu, sementara puncak kelahiran di negara tersebut mencapai 1 juta pada tahun 1971.

 

 

 

Editor: Farahdama A.P/Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life