Home » Kayu Sebagai Bahan Baku Energi Terbarukan

Kayu Sebagai Bahan Baku Energi Terbarukan

Kayu bisa menjadi sumber energi terbarukan. Tapi harganya masih kalah oleh batu bara.

by Lyta Permatasari
3 minutes read
biomassa

ESENSI.TV - JAKARTA

Energi yang berasal dari tumbuhan tergolong energi terbarukan. Oleh karena itu, tanaman yang diperoleh dari restorasi hutan dan tanah juga dapat menjadi bahan baku energi terbarukan. Kayu mungkin bukan merupakan jenis energi baru karena nenek moyang kita sudah menggunakannya sebagai sumber energi sejak lama.

Tumbuhan mempunyai seluruh ciri-ciri sumber daya terbarukan karena mempunyai kemampuan beregenerasi setelah dieksploitasi. Namun regenerasi memerlukan proses yang berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, pohon dapat menjadi energi terbarukan jika pemanfaatannya mempertimbangkan kapasitas regeneratifnya. Menjadi tidak terbarukan jika eksploitasi melebihi kapasitas pertumbuhannya, seperti yang terjadi pada pengelolaan hutan produksi pada tahun 1970 hingga 2000.

Oleh karena itu, mahasiswa kehutanan akrab dengan istilah “tebang”. Syarat penebangan adalah jumlah maksimum pohon yang ditebang dalam waktu tertentu berdasarkan kemampuan regenerasinya. Oleh karena itu, meskipun tanaman atau biomassa bersifat terbarukan, keberlanjutan produksi komersial tanaman dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh harga jualnya.

Misalnya, Kaliandra (Calliandra sp) dan gamal (Gliricidiasepium) yang ditanam oleh Perum Perhutani di Jawa, memiliki pasokan yang berkelanjutan jika kondisi tertentu terpenuhi. Diantaranya adalah harga yang ekonomis, sumber daya yang cukup dan berkelanjutan, penghijauan pada lahan atau kawasan hutan yang terjamin legalitasnya, akses yang terjangkau untuk meminimalkan biaya transportasi, dan kerjasama dengan masyarakat, baik sebagai pengelola hutan negara maupun pemilik hak atas tanah.

Saat ini, biaya ekonomi biomassa lebih tinggi dibandingkan batubara. Hal ini menimbulkan kendala bagi pengembangan biomassa sebagai bahan baku energi terbarukan. Untuk itu pada sisi produksi, rantai pasok ini memerlukan peningkatan efisiensi dan produktivitas pabrik untuk menurunkan harga per satuan volume atau berat.

Bagi perkebunan yang berada di lahan Perum Perhutani, agar operasionalnya dapat berjalan lancar, pada tahap awal perlu diberikan sarana pengurangan pajak penghasilan, pembebasan pajak impor atau pajak terkait, pajak impor, dan pajak keuangan. fasilitas keuangan dan jaminan. fasilitas dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya.

Fasilitas ini diperlukan agar pada tahap awal pengembangan biomassa sebagai alternatif pengganti batu bara, produksi dapat terus berjalan sembari pengelola meningkatkan kualitas pembangkit listrik untuk menekan biaya. Fasilitas serupa tampaknya diperlukan ketika memulai stabilisasi material kayu oleh masyarakat dalam kegiatan restorasi hutan dan lahan. Ketika masyarakat membeli material kayu, jumlahnya selalu tidak mencukupi dan ketersediaan material tidak berubah seiring berjalannya waktu.

Baca Juga  Besok, Presiden Jokowi Resmikan PLTS Terapung Cirata, Terbesar di Asia

Pengalaman Balai Pengelolaan Wilayah Sungai Lampung menunjukkan bahwa jika bahan baku disiapkan di kawasan hutan nasional yang lahannya tidak digunakan oleh masyarakat lokal, pemasok biomassa dapat memasok bahan baku tersebut secara konsisten dalam bentuk kasar. Penanggung jawabnya bisa berupa perusahaan publik atau organisasi swasta yang menanam pohon tersebut.

Namun, jika pohon ditanam di hutan yang sudah ada penghuninya, pengelola akan meragukan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhannya. Jika demikian, masyarakat juga sering meniru pemerintah dalam melaksanakan proyek restorasi.

Fokus kegiatan hanya terbatas pada praktik penganggaran terbaik dibandingkan inovasi dan fokus pada peningkatan produktivitas kayu.

Agar permasalahan tersebut tidak ada lagi, maka perlu dipastikan pasokan kayu hasil reklamasi sebagai bahan baku energi dengan terlebih dahulu menetapkan model penyiapan bahan baku. Dalam model ini, pemasok bahan mentah dan operasi pemasaran harus menunjukkan bahwa semua proses dapat berjalan dengan lancar.

Modal lainnya adalah adanya rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan reklamasi lahan, hingga terbukti masyarakat mendapat manfaat secara ekonomi. Jika kerjasama untuk membangun modal sosial tercapai, kegiatan pemulihan secara umum akan berhasil.

Namun di tempat lain, kondisinya mungkin berbeda. Petani memberikan prioritas jika pemerintah sejak awal menekankan bahwa kegiatan tersebut harus menguntungkan. Apalagi jika pemerintah menganggap petani hanya sebagai buruh.

Oleh karena itu, jika fasilitas restorasi hutan ingin dijadikan bahan baku energi terbarukan, pemerintah harus memperjelas tujuan kegiatan tersebut sejak awal. Apalagi jika pemerintah berharap ke depan bisa menjadi pemasok utama energi terbarukan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan khusus untuk memastikan pasokan kayu hasil reklamasi lahan tidak hanya layak secara finansial namun juga layak secara ekonomi.

Penyediaan energi terbarukan dari operasi masyarakat secara langsung harus mempertimbangkan faktor keadilan sosial, bukan hanya kelayakan komersial. Selain itu, pembakaran biomassa masih menghasilkan emisi gas rumah kaca, namun tidak sebanyak batu bara.

Di sinilah keadilan kebijakan memegang peranan penting. Pengambil kebijakan jangan hanya mempertimbangkan murahnya harga batu bara dibandingkan biomassa, karena dampak lingkungannya berbeda. Para pengambil kebijakan harus memberikan insentif terhadap biomassa agar dapat bersaing secara ekonomi dan secara bertahap dapat menggantikan batu bara sebagai bahan baku energi.

 

 

Editor: Farahdama A.P/Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life