Home » Kebijakan Food Estate Berpotensi Mengganggu Keseimbangan Ekosistem

Kebijakan Food Estate Berpotensi Mengganggu Keseimbangan Ekosistem

by Editor Esensi
2 minutes read

ESENSI.TV - JAKARTA

Awalnya, kebijakan Food Estate diterapkan pemerintah untuk menghadapi ancaman krisis pangan. Kebijakan ini diterapkan di beberapa daerah di Indonesia. Meski memiliki tujuan baik, Food Estate justru dianggap sebagai kebijakan yang bermasalah bagi Indonesia di kemudian hari.

Ahli Politik Lingkungan Internasional, Ica Wulansari menyampaikan kebijakan Food Estate tidak sejalan dengan kebutuhan warga setempat. Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan menjadikan lahan tidak subur dan gangguan keseimbangan ekosistem. Ica juga menambahkan kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan.

Hal ini disampaikan pada acara Evaluasi 2022 and Proyeksi 2023: Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia di Kampus Universitas Paramadina di Jakarta,  Desember lalu. Acara ini turut juga dihadiri oleh Ahli Pekerja Migran sekaligus Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Yusriza, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), serta Kepala Centre for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas sebagai moderator.

Kemungkinan Efek Negatif Food Estate

Sekretaris Program Sarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina menyampaikan kebijakan Food Estate di tahun 2023 perlu mendapat peninjauan kembali untuk mitigasi kemungkinan efek negatif ini. Konflik Rusia-Ukraina diakui juga sebagai penyebab krisis pangan semakin buruk. Keterlibatan Rusia yang merupakan produsen bahan aktif pupuk mengalami harga global tidak terkendali, bahkan naik 80 persen.

Di Indonesia sendiri, kebijakan subsidi pupuk masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar. Kompleksitas semakin bertambah dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan. Konflik tersebut juga memberi dampak signifikan terhadap pasar minyak nabati global. Lebih lanjut, pemerintah hendaknya memaksimalkan komoditas sawit dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19.

Sebanyak 70 persen produksi kelapa sawit terabsorpsi untuk pasar ekspor. Khusus untuk pasar kelapa sawit internasional, produksi sawit Indonesia dan Malaysia mendominasi 85 persen. Namun, masih butuh keseriusan pemerintah dalam mendorong ekspor sawit. Kebijakan pemerintah tentang kebijakan keberlanjutan kelapa sawit saat ini dinilai kurang gigih dalam merespon standar Uni Eropa yang sering berubah. Bahkan, pemerintah sering tidak berdaya hadapi tuntutan Sustainability Standart.

Pemerintah diingatkan untuk menyiapkan respon memadai untuk kebijakan baru Uni Eropa perihal pelarangan produk atau komoditas terkait ‘Driver of Deforestation’. Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada ekspor kopi, sawit dan kakao. Untuk diketahui, Uni Eropa merupakan pasar tujuan ekspor sawit Indonesia terbesar ketiga, setelah Tiongkok dan India.

Baca Juga  Keadilan Air dalam Ekosistem Kebudayaan Dunia: Sebuah Pemikiran untuk World Water Forum 2024

Pemerintah Tidak Efektif Mengakhiri Dualisme Pengaturan Awak Kapal

Ahli Pekerja Migran sekaligus Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Yusriza mengatakan pemerintah secara serius mengkakhiri dualisme pengaturan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja terkait tata kelola pekerja migran sektor perikanan.

Menurutnya, PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran justru tidak secara efektif mengakhiri dualisme pengaturan awak kapal. Padahal, pekerja migran di sektor perikanan rentan menjadi korban penyelundupan dan perdagangan orang.

Benni menegaskan, kebijakan diplomasi Indonesia terkait pekerja migran di sektor perikanan harus selesai di sektor hulu. Jadi, urusan dualisme pengaturan yang dilakukan Kemenhub dan Kemenaker harus diselesaikan terlebih dulu.
Selain itu, ia mengusulkan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 agar pasar domestik tenaga kerja sektor perikanan membaik. “Ratifikasi Konvensi 188 akan mengatur standar kerja layak di kapal ikan yang akan membuat pasar nasional lebih kompetitif bagi para AKP,” beber Benni.

Editor Esensi

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life