Home » Kemajemukan dan Keislaman, Apa yang Harus Dibangun?

Kemajemukan dan Keislaman, Apa yang Harus Dibangun?

by Administrator Esensi
2 minutes read
Seminar Kerjasama Universitas Paramadina dan Yayasan Al Hasra

ESENSI.TV - JAKARTA

Indonesia terdiri dari berbagai jenis suku, bangsa, dan agama. Hal ini menunjukkan kemajemukan di Indonesia beragam. Fachrurozi Majid, Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society mengatakan Keislaman dan Keindonesiaan penting dihayati karena fakta sosiologi bangsa Indonesia yang majemuk.

Kemajemukan Butuhkan Sikap Saling Memahami

“Kemajemukan itu membutuhkan sikap saling memahami, berempati dan menghormati. Minimnya empati, misalnya. Melahirkan ekstremisme. Dunia pendidikan adalah kunci menumbuhkan sikap egaliter, terbuka, saling menghargai, toleransi yang niscaya di masyarakat yang sangat beragam.” paparnya.

Hal ini disampaikannya dalam seminar “Menyemai Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan di Sekolah Menengah Kota Depok” di Kampus al-Hasra, Bojongsari (3/7/2023). Acara ini merupakan kerja sama antara Universitas Paramadina dengan PCM Muhammadiyah Bojongsari, Kota Depok dan Yayasan al-Hasra.

Menurut Dr. Zamahsari, pengurus Yayasan al-Hasra, pimpinan dan guru sekolah perlu fase intelektual yang mencerahkan dan reflektif agar tidak berkubang dalam aktivitas administratif. Tema Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan relevan dalam upaya tersebut.

Fachrurozi Majid, Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society menyatakan, perlu penanaman karakter keindonesiaan pada siswa secara konkret. Kemudian, nilai-nilai Pancasila harus diejawantahkan dalam keseharian bukan sekedar verbalisme, dibicarakan an sich, atau dihafal yang tidak akan berdampak dalam kehidupan sosial keseharian.

Kitab Suci dan Konstitusi Dorong Sikap Inklusif Indonesia

Dalam konteks Keislaman, Fachrurozi merujuk pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Cak Nur mempromosikan Islam inklusif. “Islam itu terbuka, mengakui eksistensi agama lain, bahkan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Sikap ini diajarkan dalam al-Quran, QS. al-Hujurat ayat 13.  Begitu pula dalam konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia memberikan jaminan kebebasan beragama. Artinya, baik kitab suci maupun konstitusi mendorong sikap inklusif Muslim Indonesia.  Kunci membumikan Keislaman dan Keindonesiaan adalah keteladanan.” lanjutnya.

Baca Juga  Keislaman Tak Boleh Dibenturkan dengan Keindonesiaan

Dr. M. Subhi-Ibrahim, direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI) mengamini apa yang disampaikan Fachrurozi. “Para guru bangsa seperti KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Cak Nur punya pesan yang sama, yaitu Keislaman dan Keindonesiaan tidak boleh dipisahkan. Seorang Muslim bisa jadi orang (warga negara) Indonesia yang baik. Sebaliknya, warna negara Republik Indonesia bisa jadi Muslim yang baik. Muhammadiyah dan NU telah setia menjaga keseimbangan sikap beragama dan berbangsa.” tuturnya.

Umat Islam Indonesia Perlu Jadi Modern

Agar bisa hidup dalam peradaban umat manusia, umat Islam Indonesia perlu menjadi modern. Modern dalam menyadari pentingnya kekinian serta bersikap rasional, kritis dan berkemajuan. Inilah yang akan mengantarkan pada peradaban tinggi.

“Sikap terbuka pada kebudayaan dan peradaban lain adalah cara terbaik untuk membangun kemajuan bangsa dan umat. Hal tersebut dicontohkan oleh kaum Muslim klasik yang mengadopsi aspek-aspek positif kebudayaan lain guna memperkaya khazanah kebudayaan Islam sehingga sampai puncak peradaban di abad tengah.” ujarnya.

Seminar yang dihadiri oleh seratusan pimpinan dan guru se-kota Depok tersebut merupakan kerja bersama peneguhan komitmen bahwa Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan bisa harus dimulai dari dunia pendidikan, kawah candradimuka generasi bangsa.

Editor: Nabila Tias Novrianda/Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life