Home » Proyek Kereta Cepat Dikejar, Ekonom: Itu Proyek Properti Bukan Transportasi

Proyek Kereta Cepat Dikejar, Ekonom: Itu Proyek Properti Bukan Transportasi

by Administrator Esensi
3 minutes read
Kereta Cepat Jakarta-Bandung

ESENSI.TV - JAKARTA

Ekonom senior INDEF, Faisal Basri, MA menyebut Kereta Cepat Indonesia bukanlah proyek transportasi, melainkan proyek properti. Menurutnya, penempatan rute kereta cepat tidak sesuai dengan kondisi kota Bandung yang merupakan kota wisata. Faisal menyampaikan, Bandung bukan pusat bisnis maupun kuliner. Masyarakat memiliki pilihan transportasi utama lain untuk melakukan perjalanan ke Bandung, seperti kereta atau travel, sehingga proyek kereta cepat tidak memiliki urgensi yang signifikan.

“Stasiun Halim, Padalarang, dan Tegalluar tidak terdapat di tengah kota, sehingga menjadi tidak efektif. Keputusan ini bukan semata-mata proyek transportasi, pada awalnya proyek ini merupakan proyek properti.” imbuh Faisal dalam seminar yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Selasa (17/10).

Faisal juga menuturkan, awalnya proyek ini lebih sebagai proyek properti dengan PT. Wijaya Karya dan PT. KAI sebagai pemimpinnya, dan akhirnya tidak lagi business to business.

Biaya Proyek Kereta Cepat Dinasionalisasi

Lebih lanjut, Faisal juga menjelaskan, sebagian besar biaya proyek kereta cepat ditanggung negara. Ia menyampaikan, Taiwan juga pernah mengalami hal serupa, di mana setelah 5 tahun beroperasi, kemudian proyek dinasionalisasi. Penyebabnya, biaya operasi setiap tahun yang tidak berhasil ditanggung serta terus-terusan berhutang.

“Nah Proyek Kereta Cepat indonesia juga kemungkinan besar dinasionalisasi, seluruh bebannya ditanggung negara. Karena investor enggak mau lagi, China akan keluar nantinya jadi nanti 100% milik Indonesia. Dan Indonesia bayar cicilannya terus-terusan gitu, diinjeksi terus dari APBN karena sudah di nasionalisasi,” jelasnya.

Faisal juga membuat perhitungan simulasi sederhana tanpa ongkos operasi. Kemudian, total nilai investasi mencapai Rp114,4 Triliun dan pendapatan penumpang tiap tahun Rp2,369 triliun. Maka, perhitungan balik modal adalah selama 33 tahun dan bahkan bisa mencapai 139 tahun.

Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina mengungkapkan, bahwa proyek ini awal mulanya digagas era Presiden SBY pada tahun 2009-2014, dengan melibatkan Japan International Corporation Agency (JICA) dalam studi kelayakan. Pada 2015, pemerintah memulai rute awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang nilainya diperkirakan mencapai Rp67 triliun.

“Studi dilakukan untuk membangun kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, dengan jarak sepanjang 748 km. Dengan biaya diperkirakan 100 Triliun. Pada tahun 2015 pemerintah akhirnya memutuskan untuk membangun rute awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung terlebih dahulu, sepanjang 150 km yang nilai awal proyeknya diperkirakan sebesar senilai Rp67 triliun.” jelasnya.

Baca Juga  Gunung Semeru Meletus, Tinggi Kolom Abu 700 Meter

Hanji menjelaskan, pada awalnya Jepang menawarkan pinjaman proyek kereta api cepat sebesar USD6,2 miliar dengan masa waktu 40 tahun dan tingkat bunga 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Perhitungan ini disertai syarat harus ada jaminan dari Pemerintah.

“Kemudian, China menawarkan pinjaman proyek sebesar USD5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. Skema Business to Business (B to B) tanpa jaminan dari Pemerintah. Di sinilah dilihat inkonsistensi pemerintah, sehingga mau tidak mau dibiayai oleh APBN.” bebernya.

Proyek Alami Cost Overrun

Pada tanggal 21 Januari 2016 proyek KCJB dimulai dengan dilakukan groundbreaking oleh Presiden di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat. Sumber pendanaan perusahaan (PSBI) terdiri atas 75% utang dari China Development Bank (CDB) dan 25% ekuitas (modal saham) dengan porsi kepemilikan PT PSBI sebesar 60%.

“Sebelumnya, PT. Wijaya Karya-lah yang memegang konsorsium. Kemudian diberikan kepada PT. KAI. Dengan keberadaan PT. KAI yang saat ini memegang konsorsium, APBN ikut serta terlibat membiayai proyek kereta cepat Jakarta–Bandung” imbuhnya.

Perubahan harga, dan lamanya pengerjaan menyebabkan cost overrun. Awal mulanya sebesar USD6,071 miliar atau sekitar Rp81,96 triliun pada tahun 2015. Kemudian, biaya setelah terjadi cost overrun mencapai USD7,27 miliar atau sekitar Rp110,5 triliun pada tahun 2022. Tentunya selisih ini sangat jauh dari awal mulanya.

Handi juga memaparkan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Menurutnya, di sini dilihat sebuah skenario, seluruh kewajibannya dilimpahkan pada PT. KAI.

“Padahal kita ketahui pendapatan KAI itu sendiri, dengan keberadaan ini sangat mengancam. Karena diharuskan untuk menyisihkan laba untuk biaya pembangunan kereta cepat ini.” Pungkas Handi.

 

 

Editor: Addinda Zen/Dimas Adi Putra

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life