Home » RUU Perkoperasian Telah Masuki Tahap Harmonisasi, Ditargetkan Rampung Tahun Ini

RUU Perkoperasian Telah Masuki Tahap Harmonisasi, Ditargetkan Rampung Tahun Ini

by Administrator Esensi
4 minutes read
RUU Perkoperasian Telah Masuki Tahap Harmonisasi.

ESENSI.TV - JAKARTA

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang ditargetkan rampung tahun ini, saat ini telah sampai pada tahap harmonisasi dengan salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal isi RUU Perkoperasian melibatkan stakeholder terkait.

Sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar RUU Perkoperasian dapat segera diselesaikan sehingga permasalahan yang menimpa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) beberapa waktu terakhir ini, tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

“Arahan Presiden yakni terkait perlunya membangun ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih kuat, yang kemudian di dalam RUU ini kita rumuskan adanya Otoritas OPK (Otoritas Pengawas Koperasi), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) koperasi, APEX koperasi, komite penyehataan koperasi, hingga dalam rangka pelindungan ini juga kita terapkan sanksi pidana, yang perumusannya sesuai KUHP yang berlaku sekarang,” kata Deputi Ahmad Zabadi saat mengikuti Rapat Pleno Harmonisasi RUU Perkoperasian secara virtual melalui video conference, Jumat (28/04).

Zabadi menambahkan, dengan adanya RUU Perkoperasian maka dapat diciptakan ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih baik. Ia meyakini dengan model kelambagaan yang baru niscaya koperasi dapat lebih berkembang kedepan serta siap menghadapi berbagai tantangan, peluang, dan perubahan di masa yang akan datang.

“Arah pengaturan RUU Perkoperasian ini ingin memberikan playing field setara dengan pelaku usaha lain, lebih dari itu koperasi juga diberi kesempatan berusaha di seluruh lapangan usaha dan juga diberikan pelindungan terhadap anggota, masyarakat, bahkan badan hukum koperasi sendiri,” ujar Ahmad Zabadi.

Ahmad Zabadi berharap RUU Perkoperasian dapat terselesaikan tepat waktu, sehingga pada triwulan 2 tahun 2023 dapat dilakukan pembahasan dengan Komisi VI DPR RI, dan dapat segera disahkan tahun ini.

Ia menambahkan sejak Juli 2022, pihaknya telah melakukan kegiatan serap aspirasi hingga Forum Group Discussion dengan melibatkan tidak kurang dari 5.000 orang.

“Sesuai dengan jadwal yang telah kami tentukan, kita sudah melakukan Pembahasan Antar Kementerian (PAK) tidak kurang dari 10 kali pertemuan, yang ditandai dengan penyelesaian PAK, untuk diminta penyelarasan naskah akademik oleh BPHN Kementerian Hukum dan HAM, dan telah dinyatakan RUU koperasi selaras secara sistematika dan muatannya,” ucap Ahmad Zabadi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Nana Mulyana mengatakan, Indonesia perlu melakukan reformasi perkoperasian dengan pembaruan regulasi untuk menyesuaikan anatomi kelembagaan koperasi agar lebih adaptif, dengan perkembangan zaman untuk mendukung pengembangan koperasi kedepan.

Dalam konteks ini RUU Perkoperasian diharapkan bisa melindungi anggota yang terlibat dan juga masyarakat luas dalam kehidupan sehari – hari.

“Melindungi anggota dan koperasi sebagai badan hukum. Perlu kita lihat bersama bagaimana citra KSP yang dalam beberapa waktu belakangan ini dikesankan seringkali merugikan masyarakat, dan ternyata kerap disalahgunakan oleh oknum tertentu yang menggunakan baju koperasi,” ujar Asep.

TIdak hanya itu dengan adanya RUU Perkoperasian, ke depan diharapkan tercipta level playing field yang lebih luas bagi koperasi, bahkan koperasi tidak sekadar terbonsai, melainkan menjadi kekuatan perekonomian suatu negara.

“Saya lihat di beberapa negara di Eropa seperti Swiss, koperasi bisa mendirikan bank besar dan ini patut kita contoh di Indonesia untuk dikembangkan dan dapat dilakukan oleh koperasi,” ucap Asep.

Praktik Kejahatan Keuangan Diprediksi Meningkat Jika RUU Perkoperasian tak Segera Ditetapkan

Praktik kejahatan keuangan dengan menggunakan kedok koperasi termasuk pencucian uang yang luas dan sistemik dampaknya di kalangan masyarakat dikhawatirkan akan meningkat kasusnya jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian tidak segera disahkan.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada regulasi yang mampu menjalankan fungsi sebagai penangkal terjadinya praktik kejahatan keuangan berkedok koperasi, termasuk pencucian uang yang memanfaatkan celah lemahnya pengawasan koperasi.

Oleh karena itu, akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emi Nurmayanti berharap RUU Perkoperasian yang baru mampu menjadi tameng untuk menangkal aksi kejahatan kerah putih tersebut.

Baca Juga  Jokowi Sebut Data Rekening Penerima BLT El Nino di Nagekeo Belum Terdaftar

Ia menyebutkan aksi pencucian uang di tubuh koperasi memang sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri.

“Di komunitas koperasi ada istilah Pengusaha Koperasi,” kata Emi kepada wartawan, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) RUU Perkoperasian, di Jakarta, Rabu (12/4).

Emi mengakui banyak koperasi, khususnya KSP, yang melayani non anggota. Bahkan, ada KSP yang memiliki 10 ribu nasabah, tapi hanya 200 orang saja yang menjadi anggota koperasi. “Ini salah satu celah untuk praktik pencucian uang,” kata Emi.

Menurut Emi, sebenarnya pada praktik koperasi di Indonesia, banyak yang melanggar karena pengawasan masih kurang dan lemah. Bahkan, untuk penindakan juga belum ada aturan yang jelas dan tegas. “Dan baru di RUU Perkoperasian yang baru ini sudah mulai dibahas tentang pengawasan, hingga sanksi pidana,” kata Emi.

Sementara Dr Yeti Lis Purnamadewi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB sangat berharap adanya RUU Perkoperasian ini untuk menyelesaikan maraknya kejahatan keuangan, hingga mampu mampu menjamin keamanan KSP.

“Koperasi memang menjadi wadah empuk untuk melakukan pencucian uang,” kata Yeti.

Untuk itu, Yeti meminta aturan untuk mendirikan koperasi, bukan dilihat dari jumlah anggota, tapi untuk membentuk koperasi harus tercapai dari skala ekonominya.

Krusial dan Positif

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi mengungkapkan setidaknya ada tiga hal krusial dan positif yang bisa dirasakan masyarakat, khususnya anggota koperasi, dengan kehadiran RUU Perkoperasian yang baru.

“Pertama, adanya jaminan perlindungan bagi anggota dan koperasi dengan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. Saat ini, ada sekitar 30 juta orang yang tercatat sebagai anggota koperasi yang harus terlindungi simpanannya,” kata Zabadi.

Zabadi menekankan azas keadilan yang juga bisa dirasakan anggota koperasi, seperti halnya nasabah di sektor perbankan, dengan adanya LPS Koperasi. “Saya meyakini, bila ada LPS Koperasi, dampak koperasi gagal bayar yang sedang ramai saat ini, tidak akan sebesar sekarang,” kata Zabadi.

Lebih dari itu, Zabadi menyebut masih banyaknya pelaku UMKM yang belum mendapat akses pembiayaan dari perbankan. “Bila ada jaminan LPS, jumlah anggota koperasi yang 30 juta akan bertambah besar lagi. Di sisi lain, pelaku UMKM yang belum bankable juga bisa terlayani kebutuhan permodalan dari koperasi,” kata Zabadi.

Kedua, kata Zabadi, dengan adanya RUU Perkoperasian yang baru, koperasi bisa bebas bergerak ke seluruh sektor usaha, tidak hanya simpan pinjam. “Jangan ada istilah pembonsaian koperasi, karena koperasi juga merupakan entitas bisnis yang memiliki hak yang sama dengan entitas bisnis lainnya,” kata Zabadi.

Artinya, kata Zabadi, dengan badan hukum koperasi bisa memiliki bank, rumah sakit, membangun infrastruktur, pertambangan, dan sebagainya. “Sebagai entitas bisnis, koperasi bisa masuk ke dalam ekosistem yang sama dengan entitas bisnis lain,” kata Zabadi.

Ketiga, RUU Perkoperasian yang baru bakal menghadirkan Otoritas Pengawas Koperasi (OPK). Intinya, dengan semakin majunya dinamika kehidupan di tengah masyarakat, penguatan pengawasan koperasi menjadi sesuatu yang harus dilakukan.

“Koperasi juga merupakan bisnis jasa keuangan. Maka, penguatan pengawasan, tentunya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Semua koperasi, termasuk koperasi-koperasi besar, sepakat untuk diawasi OPK,” kata Zabadi.

Lebih dari itu, Zabadi juga menggarisbawahi sanksi pidana yang tegas yang ada dalam RUU Perkoperasian. Sebab, dari pengalaman kasus koperasi bermasalah, bisnis keuangan koperasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dalam pengembangan bisnisnya. “Belum lagi menyangkut tindak pidana pencucian uang yang selama ini memanfaatkan keberadaan koperasi,” kata Zabadi.

Atas semua fakta tersebut, Zabadi menegaskan bahwa harus diatur lewat RUU Perkoperasian yang baru untuk menutup celah dan gap yang mungkin ada.

Editor: Nabila Tias Novrianda

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life