Sebanyak 34,9% atau satu dari tiga remaja di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Jika dihitung dari total anak Indonesia berusia 10-17 tahun, angka ini mencapai 15,5 juta orang.
Sementara itu, satu dari 20 remaja atau 5,5% dari total anak usia 10-17 tahun mengalami gangguan jiwa. Populasi ini sekitar 2,45 juta orang.
Gangguan kecemasan merupakan gangguan jiwa yang paling banyak dialami oleh remaja yang merupakan generasi Z.
Temuan berasal dari penelitian I-NAMHS: Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey yang dirilis akhir tahun lalu.
Survei dilakukan terhadap generasi Z yang berusia 10-17 tahun. Periode 8 Maret hingga 30 November 2021
Hanya 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan yang memberikan dukungan atau konseling untuk masalah emosi dan perilaku.
Secara keseluruhan, hanya satu dari 50 remaja 2% yang menggunakan layana dan dua pertiga dari remaja ini (66,5%) hanya mengakses layanan satu kali.
Ketika ditanya penyedia layanan apa yang paling banyak diakses, hampir dua per lima (38,2%) pengasuh utama melaporkan bahwa mereka adalah staf sekolah (yaitu guru dan staf sekolah lainnya).
Hanya 4,2% pengasuh utama yang mengidentifikasi bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan untuk masalah emosional dan perilaku, meskipun 34,9% remaja pernah mengalami masalah kesehatan mental pada periode yang sama).
Dari pengasuh utama yang menunjukkan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua per lima (43,8%) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan karena mereka lebih suka menangani sendiri masalah remaja atau dengan dukungan keluarga atau teman.
Selama pandemi Covid-19, sebanyak 4,6% remaja dilaporkan sering merasa lebih cemas, lebih tertekan, lebih kesepian, atau lebih sulit berkonsentrasi daripada biasanya.
Rekomendasi
Kecemasan adalah masalah kesehatan mental yang paling umum di kalangan remaja.
Kondisi ini menuntut perlunya prioritas mendukung manajemen kecemasan pada remaja.
Pendidikan remaja dan keluarganya tentang kapan dan bagaimana mencari bantuan profesional untuk gejala kecemasan juga perlu lebih banyak dilakukan.
Sekolah diyakini dapat mengurangi prevalensi dan potensi dampak masalah kesehatan mental, serta mendorong perilaku mencari pertolongan di kalangan remaja.
NAMHS adalah survei rumah tangga yang representatif secara nasional yang dikembangkan dan dilaksanakan sejumlah lembaga.
Yaitu, Universitas Gadjah Mada (UGM), Centre for Reproductive Health (CRH) di Indonesia dan University of Queensland (UQ) di Australia.
Penelitian didukung oleh Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health (JHSPH) di Amerika Serikat.
Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang
#beritaviral
#beritaterkini