Home » Sejarah Tie Tek Hong, Label Rekaman Pertama Indonesia

Sejarah Tie Tek Hong, Label Rekaman Pertama Indonesia

by Lyta Permatasari
3 minutes read

ESENSI.TV - JAKARTA

Sejak kapankah mulai berlangsung industri musik di Indonesia? Dan siapakah yang mempeloporinya?

Piringan Hitam produksi Tio Tek Hong Record di awal abad ke 20.

Piringan Hitam produksi Tio Tek Hong Record di awal abad ke 20.

 

 

 

 

 

 

 

 

Namun sebetulnya jika menilik lebih jauh,sebelum menginjak ke era 50 an yang secara politis kerap disebut era Orde Lama, di zaman kolonialisme Pemerintah Hindia Belanda cikal bakal industri hiburan musik telah memperlihatkan keberadaannya. Saat itu phonograph Colombia buatan Amerika Serikat telah diimpor ke Hindia Belanda pada awal abad 20 tepatnya di tahun awal 1900an. Di tahun 1903 beberapa album rekaman phonograph mulai masuk ke Indonesia dengan berbagai label rekaman seperti  BeKa Record, HomoKord Record dan Parlophone Record. Di masa itu setidaknya ada 3 saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia musik dengan mendirikan perusahaan rekaman. Dua pengusaha rekaman itu berada di Batavia yaitu Tie Tek Hong di Pasar baru dan Lie A Kon di Pasar Senen dan satu lagi di Surabaya, meskipun sebetulnya ruang lingkup pasarnya sangatlah  terbatas yaitu pada kaum urban elit saja.

Phonograph dan Grammophone adalah perangkat pemutar rekaman yang mewah dengan harga yang relatif sangat mahal tentunya. Salah satu dari pedagang Tionghoa yang tersohor saat itu adalah Tie Tek Hong yang berdagang aneka ragam barang kelontong .

Musik-musik yang berasal dari rekaman phonograph itu lalu dimainkan oleh  para pemusik Belanda, Tionghoa, Ambon dan Manado  melalui berbagai pertunjukan panggung. Lagu-lagu Amerika yang populer dimainkan saat itu antara lain adalah Lazy Moon yang dinyanyikan Oliver Hardy dalam film Pardon Us (1901), atau Mother O’Mine lagu yang diangkat dari puisi karya Rudyard Kipling. Saat itu patut diakui kiblat bermusik adalah ke Amerika Serikat. Para penyanyi wanita yang ada di zaman Hindia Belanda disebut crooner bukan singer bahkan di depan nama para penyanyi wanita di beri embel-embel seperti Miss Tjitjih, Miss Riboet, Miss Roekiah, Miss Dja dan seterusnya. Hal ini berlangsung hingga akhir era 1940an. Mungkin hampir sama dengan keadaan sekarang ini dimana hampir semua penyanyi wanita bersematkan predikat diva.

Suara mendayu para miss ini lalu direkam oleh perusahaan rekaman seperti Tie Tek Hong yang berlokasi di Pasar Baroe. Tie Tek Hong memulai bisnis rekaman di sekitar tahun 1904, dimana saat itu saudagar kaya ini mulai mengimpor phonograph dengan memakai roll lilin.Setahun kemudian,tahun 1905, perusahaan rekaman Tie Tek Hong mulai merilis plaatgramofoon atau piringan hitam ke seluruh Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Adapun lagu-lagu yang direkam Tie Tek Hong mencakupi jenis Stambul, Keroncong, Gambus, Kasidah, Musik India, Swing hingga Irama Melayu.

Baca Juga  Sejarah Bambu Runcing, Senjata Sederhana yang Kaya Makna untuk Melawan Penjajah

Penyanyi dan kelompok musik yang direkam Tie Tek Hong Record cukup beragam. Untuk musik keroncong ada Orkest Krontjong Park, Orkest Moeridskoe ,Krontjong Sanggoeriang, Kerontjong Aer Laoet, Krontjong Deca Park. Untuk musik Kasidah ada Kasida Sika Mas, Orkese Gamboes Metsir, Kasida Rakbie Mas, Gamboes Boea Kana serta Gamboes Turkey.

Lagu-lagu yang populer saat itu antara lain  Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali Djali, Tjerai  Kasih, Paioeng Patah, Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango, Inang Sargie, Gelang Pakoe Gelang dan masih banyak lagi. Lagu-lagu ini direkam dalam bentuk vinyl berukuran 10 inch.

Disamping itu, Tie Tek Hong Record juga merekam sandiwara Njai Dasima yang dikemas dalam boxset berisikan sebanyak  5 keping  piringan hitam.

Tie Tek Hong ini memiliki trademark tersendiri pada album-album rekaman yang diproduksinya. Pada setiap vinyl produksi Tio Tek Hong di setiap sebelum lagu pada track pertama berkumandang, terdengar suara rekaman Tio Tek Hong : Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia.

Pembeli piringan hitam saat itu memang sangat terbatas, karena harganya relatif mahal. Belum lagi harga gramophone yang hanya terjangkau oleh kalangan menengah keatas. Karenanya masyarakat sebagian besar bisa  menikmati rangkaian lagu-lagu populer Inonesia saat itu justru dengan menonton pertunjukan yang digelar dan berlangsung di panggung-panggung hiburan yang berada  di Pasar Gambir, Globe Garden, Stem En Wyns, Maison Versteegh dan Prinsen Park.

 

 

Editor: Farahdama A.P

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life