Home » Dibalik Skenario Koalisi Besar Capres 2024

Dibalik Skenario Koalisi Besar Capres 2024

by Administrator Esensi
4 minutes read

ESENSI.TV - JAKARTA

Isu koalisi besar muncul ke permukaan. Tujuannya, mengegolkan agenda All Jokowi’s Men sebagai capres pada pemilihan presiden 2024. Skenarionya, siapapun yang akan menang adalah orang yang mendapat restu dari presiden Joko Widodo untuk meneruskan tampuk kepemimpinan.

All Jokowi’s Men adalah  sintesa Jokowi. Dua nama muncul ke permukaan, yaitu Ganjar Pranowo, kader dari PDIP Perjuangan, yang separtai dengan presiden dan Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra yang merupakan menteri Jokowi. Ada Juga nama Airlangga Hartarto dari Partai Golkar yang kini menjadi menko.

Dengan tingkat kepuasan kinerja hingga 82% berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023–tertinggi sejak Jokowi naik tahta pada 2024, sangat masuk akal semua capres ingin mimikri dengan Jokowi.

Restu Jokowi

Restu Jokowi amat menentukan, karena orang yang dipilihnya besar kemungkinan akan meraup limpahan suara pendukung pada dua pilpres sebelumnya. Maka tak salah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pernah menyatakan capres yang ingin menang harus baik-baik ke Jokowi.

Koalisi besar memiliki dua skenario. Pertama, menduetkan Ganjar dengan Prabowo agar bisa dengan mudah mengalahkan Anies Baswedan. Kedua, bila skenario itu gagal, maka memecah capres menjadi empat atau tiga capres, yaitu Ganjar, Prabowo, Airlangga dan Anies.

Pada awalnya, Anies pun demikian. Ia berulang kali mengemukakan bahwa ia adalah juga akan meneruskan kebijakan Jokowi bila terpilih kelak. Anies bahkan pernah berjanji apabila menang, proyek mercusuar Jokowi, Ibukota Nusantara (IKN) di Kalimantan akan diteruskan. Dengan diplomatis dia mengatakan, “IKN sudah jadi UU. Dan kita semua ketika dilantik tugas apapun sumpahnya melaksanakan UU,” kata Anies.

Secara politis, semua presiden yang terpilih adalah antitesa presiden sebelumnya. Abdurrahman Wahid atau Gusdur adalah aktivis pro-demokrasi musuh Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono adalah antitesa Megawati dimana sampai sekarang keduanya tak saling sapa, dan dalam dua kali pilpres Jokowi adalah antitesa SBY dimana Partai Demokrat menaruh pilihan Hatta Rajasa, aliansi keluarga (besan) pada pilpres 2014 dan bahkan pada 2019 pun demikian kembali berpihak pada Prabowo-Sandiaga.

Anies Tidak Bisa Menjadi Sintesa Jokowi

Anies tidak akan pernah bisa menjadi sintesa Jokowi, meskipun ia berkali-kali membantah bila hubungannya tidak harmonis dengan presiden. Demikian pula Jokowi tak pernah mengungkapkan ketidaksukaannya pada Anies. Tapi sejak Jokowi memecat Anies sebagai Menteri Pendidikan tak lama setelah dilantik–meski ia berperan besar dalam pemenangan sebagai Jubir–semua tahu inilah awal publik tahu Jokowi tak sreg dengan Anies.

PDIP dan juga endorsement Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 terhadap pasangan Basuki Tjahaja Purnama -Djarot Saiful Hidayat adalah sinyal kuat bagaimana Jokowi  ingin menjegal karir politik Anies sejak awal. Menjadi Gubernur DKI adalah tangga paling mudah untuk menjadi presiden seperti Jokowi.

Saling tidak suka atau tidak  antara Jokowi dan Anies tidaklah penting, ini soal pilihan politik masing masing, dan tampaknya bukan masalah personal. Menariknya adalah belakangan Anies mengubah strategi kampanye dengan mencoba memaksimalkan potensinya sebagai antitesa Jokowi. Ini dimulai dari sebuah postingan Anies duduk santai memegang buku bersampul ‘Principles for Navigating Big Debt Crises’.

Hutang Terbanyak di Era Jokowi

Jokowi adalah presiden dengan prestasi menambah utang terbanyak sejak republik ini berdiri demi program masif infrastruktur. Bila SBY mampu menurunkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 54% pada 2004 menjadi hanya 24% pada akhir kepemimpinan, maka Jokowi membuat rasio utang pemerintah menjadi 40%.

Baca Juga  Pertamina Hulu Rokan Tanggapi Insiden Kecelakaan Kerja, Bakal Tindak Tegas Kontraktor Lalai

Serangan kedua adalah kritik terkait subsidi mobil listrik dalam  acara “Deklarasi dan Pengukuhan Amanat Indonesia”, Minggu (07/05/2023). Mengutip Detik, Anies mengatakan “Solusi menghadapi tantangan lingkungan hidup polusi udara bukan lah terletak di dalam subsidi mobil listrik yang pemilik mobil listriknya yang mereka-mereka tidak membutuhkan subsidi. Betul?” tuturnya saat berpidato dalam acara .”

Tiket pencapresan Anies memang sangat rentan hilang, ia hanya didukung partai dengan akumulasi threshold pas pasan, sebanyak 25% gabungan kemenangan suara Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera di Pilpres 2019.  Anies kini dalam posisi berhadapan dengan kekuatan politik cukup besar  yang diaransemen oleh Jokowi effect.

Bagi Anies sendiri pilihan menjadi antitesa tampak lebih tepat daripada memaksakan diri dicitrakan memiliki hubungan baik-baik saja dengan Jokowi. Dalam perspektif marketing, dia satu-satunya capres yang bisa memberikan tawaran alternatif bagi pemilih dibandingkan Ganjar dan Prabowo. Ia ingin menarik suara dari pemilih yang kecewa atas kinerja Jokowi dan sakit hati dengan Prabowo setelah ia malah mau menjadi pembantu bekas rivalnya.

Catatan Kerja Minus Jokowi

Ada banyak catatan kinerja minus Jokowi. Antara lain, pertumbuhan ekonomi yang melambat, hanya rata-rata mendekati 4% sejak 2014 dibandingkan mendekati 6% di jaman SBY. Akibatnya, PDB per kapita Indonesia selama delapan tahun pemerintahan Jokowi cuma sebesar Rp 71 juta, atau hanya naik 69% jauh dibandingkan era  SBY yang naik 234% atau lebih dari tiga kali lipat.

Demikian juga fakta bagaimana pertumbuhan sektor pertanian yang berperan menyerap 30% tenaga kerja pada era Jokowi pertumbuhannya lambat. Demikian pula gejala deindustrialisasi dimana peran industri manufaktur terhadap PDB yang merupakan sektor paling banyak menyerap tenaga kerja formal turun terus dari sekitar 22% pada awal menjadi hanya 18% tahun lalu.

Upaya menjegal Anies diawali oleh lobi-lobi gencar yang dilakukan Jokowi terhadap Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem yang mencalonkan Anies. Sudah beberapa kali Jokowi bertemu empat mata. Bahkan, secara khusus ia sering mengutus orang kepercayaannya, Luhut Binsar Pandjaitan,

Serangan kedua adalah wacana koalisi besar yang mengemuka  setelah pertemuan tiga jam enam ketua parpol (Gerindra, PPP, PAN, Golkar, PKB, PDI Perjuangan) dengan Jokowi di Istana Merdeka pada (2/5/2023). Dua skenario adalah mengawinkan Ganjar dengan Prabowo sebagai calon wakil presiden agar Pilpres 2024 hanya satu putaran dengan kemenangan telak. Tampaknya semuanya ingin Anies tersingkir di putaran pertama.

Bila ini gagal karena Prabowo tidak mau menjadi cawapres, maka skenario kedua adalah memecah belah capres menjadi empat ; Ganjar, Prabowo, Airlangga dan Anies, atau tiga (minus Airlangga). Harapannya akan ada dua putaran dimana bila dua atau tiga All Jokowi’s Men–termasuk Airlangga) gagal, maka suara mereka akan lari ke salah satu diantara tiga yang menang. Jadi koalisi besar bukan dalam bentuk menyatukan semua partai pendukung Jokowi menjadi satu, tapi siapapun calon yang bertanding yang menang tidak masalah bagi Jokowi, asal bukan Anies.

Mantan Wapres Jokowi periode pertama Jusuf Kalla mengingatkan Jokowi agar tak ikut cawe-cawe dalam urusan calon presiden atau Capres 2024. Jokowi seharusnya mencontoh kepemimpinan Megawati dan SBY yang tidak terlalu terlibat dalam urusan pemilihan presiden di akhir pemerintahan. Katanya, tidak diundangnya Nasdem membuktikan adanya pembicaraan politik di Istana,” ujar JK.

Writer: Evangeline Guinevere

Editor: Raja H. Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life