Home » Diponegoro: Perlawanan Melawan Kolonialisme

Diponegoro: Perlawanan Melawan Kolonialisme

by Achmat
2 minutes read
Pangeran Diponegoro

ESENSI.TV - Jakarta

Diponegoro, atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Diponegoro, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta, yang merupakan bagian dari Kesultanan Mataram. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III. Diponegoro tumbuh dalam lingkungan istana yang sarat dengan nilai-nilai tradisional Jawa dan mendapat pendidikan yang cermat di bidang agama, sastra, dan seni perang.

Kehidupan dan pemberontakan

Pertentangan Diponegoro dengan pemerintahan kolonial Belanda dimulai pada awal abad ke-19. Pada saat itu, Belanda telah memperluas kekuasaannya di Nusantara dan mulai memberlakukan sistem tanam paksa yang memberatkan rakyat pribumi. Diponegoro merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan tersebut, terutama karena melibatkan penyerahan tanah dan pemberlakuan cukai yang memberatkan rakyat.

Puncak perlawanan Diponegoro terjadi pada tahun 1825 ketika ia menyatakan diri sebagai pahlawan rakyat dan memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Pemberontakan ini dikenal sebagai Perang Diponegoro. Ia berhasil menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama di Jawa dalam perlawanan bersama melawan penjajah.

Diponegoro tidak hanya menggunakan kekuatan militer tetapi juga melakukan diplomasi untuk menggalang dukungan. Ia mencoba membangun aliansi dengan penguasa lokal dan mengirim surat kepada pemimpin dunia, termasuk Sultan Ottoman dan Tsar Rusia, meminta bantuan dalam perjuangannya melawan Belanda.

Perang Diponegoro berlangsung sengit dan penuh perjuangan. Meskipun memiliki kesulitan logistik dan terus dikejar oleh pasukan Belanda, Diponegoro berhasil mempertahankan perlawanannya untuk beberapa waktu. Namun, pada tahun 1830, kekuatan pasukan Belanda yang lebih besar dan kondisi yang sulit membuat Diponegoro terdesak. Ia akhirnya ditangkap pada bulan Maret 1830 setelah melakukan perundingan yang tidak menguntungkan.

Baca Juga  Kebun Raya Bogor: Taman Botani yang Megah 

Wafatnya dan Pengaruh

Setelah ditangkap, Diponegoro diasingkan ke Makassar dan kemudian ke Manado. Selama masa pengasingannya, ia terus menginspirasi perlawanan dan tetap dihormati sebagai pahlawan. Pada tanggal 8 Januari 1855, Sultan Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar. Walaupun kehilangan secara fisik, warisan perjuangan dan semangatnya tetap hidup dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1973, pemerintah Indonesia secara resmi mengakui Sultan Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional. Pengakuan ini sebagai penghargaan atas perjuangannya dalam melawan kolonialisme Belanda dan menjadi simbol semangat perlawanan dan keberanian dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.

Warisan Sultan Diponegoro tetap hidup dalam ingatan dan perasaan nasionalisme rakyat Indonesia. Monumen Diponegoro di Yogyakarta, yang didirikan pada tahun 1976, menjadi tempat yang penting untuk menghormati jasa-jasanya. Perjuangannya juga menginspirasi generasi penerus untuk tidak pernah menyerah dalam mempertahankan kebebasan dan martabat bangsa.

Sebagai pemimpin perlawanan melawan penjajahan, Sultan Diponegoro mengukir namanya sebagai pahlawan yang berani dan penuh semangat. Cerita perjuangannya terus diwariskan dari generasi ke generasi, mengingatkan rakyat Indonesia akan harga kemerdekaan yang mahal dan pentingnya bersatu melawan penindasan.

#beritaviral
#beritaterkini

Editor : Agita Maheswari

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life