Home » Jumat Agung, Sejarah Hingga Penyegelan Gereja

Jumat Agung, Sejarah Hingga Penyegelan Gereja

by fara dama
4 minutes read
Paskah Katedral Jakarta

ESENSI.TV - JAKARTA

Tanggal 29 Maret 2024 hari ini, bertepatan dengan Hari Jumat Agung. Jumat Agung merupakan hari Jumat sebelum Paskah yang merupakan hari suci umat Kristiani untuk mengenang wafatnya Isa Almasih atau Yesus Kristus.

Dilansir dari National Today, peristiwa penyaliban dan kematian Yesus Kristus, Sang Juru Selamat Manusia terjadi pada abad ke-1 Masehi yakni tahun 33 M.

Dalam laman Catholic, sejarah Jumat Agung didahului dengan cerita pengkhianatan Yudas Iskariot pada malam perjamuan terakhir, yang diperingati sebagai Kamis putih.

Yesus ditangkap usai berdoa di Taman Getsemani oleh prajurit suruhan orang Yahudi yang datang bersama Yudas yang sudah berkhianat. Setelah ditangkap, Yesus diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib.

 

Hari Libur Nasional

Hukuman ini dijatuhkan atas perintah dari Pontius Pilatus, seorang gubernur Kerajaan Romawi. Penyaliban ini didasari oleh laporan para pemuka agama Yahudi saat itu yang mengatakan bahwa Yesus mengaku sebagai Raja orang Yahudi.

 

Yesus disiksa dengan cara dicambuk dan diberikan mahkota duri. Setelah itu, tangan dan kaki-Nya dipaku di kayu salib. Meski begitu, Yesus tetap sabar dan berdoa agar Allah mengampuni semua perbuatan mereka.

Dilansir dari laman Christianity, Jumat Agung adalah hari berkabung dan refleksi bagi umat Kristiani.

Perayaan Jumat Agung menjadi pengingat terhadap pengorbanan besar yang telah Yesus lakukan. Jumat Agung juga menjadi simbol dari harapan dan awal yang baru. Ini adalah pengingat bahwa bahkan di saat-saat tergelap sekalipun, selalu ada harapan.

Kematian Yesus di kayu salib bukanlah akhir melainkan awal dari sesuatu yang baru. Melalui kebangkitannya, Yesus mengalahkan kematian dan membuka jalan menuju kehidupan kekal bagi semua orang yang percaya kepada-Nya.

Jumat Agung pertama kali ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 1953. Keputusan presiden ini juga sekaligus menetapkan 14 hari libur nasional lainnya pada 1953, termasuk paskah.

Sampai saat ini paskah masih menjadi hari besar umat Kristiani. Juga paskah selalu dirayakan dengan upacara yang berbeda-beda.

Namun sayang, tidak semua umat kristiani bisa merayakan paskah dengan ketentraman. Di sejumlah wilayah umat kristiani mendapat tantangan dalam merayakan hari Jumat Agung. Lantaran dilarang beribadah yang diakibatkan oleh penyegelan rumah ibadah.

Penyegelan Gereja Menjelang Paskah

Salah satu contohnya terjadi di Purwakarta. Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika, memutuskan menyegel bangunan gereja di Desa Cigelam itu karena tidak berizin dan untuk menghindari konflik di antara masyarakat.

Pada 19 Maret 2023, kira-kira empat orang berpakaian putih mendatangi jemaat GKPS yang sedang beribadah Minggu.

Seorang di antara mereka disebut memotret serta merekam kegiatan ibadah.

“Terus salah satu dari orang itu bilang, ‘stop ibadah, stop ibadah'”.

“Terjadilah perdebatan alot dengan mereka. Sehingga kami berargumentasi dengan mereka. Kami katakan, ‘melarang ibadah ada konsekuensi hukumnya’. Mereka lalu mundur dari tanah kami,” tutur Ketua Majelis Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Purwakarta, Krisdian Saragih,.

Usai keributan itu, pihak gereja melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian setempat dan babinsa.

Kemudian pertemuan antara perwakilan gereja, polisi, babinsa dan perwakilan RW digelar. Di sana, lagi-lagi pihak gereja meminta agar pelaku yang menghentikan ibadah diproses hukum lantaran sudah melanggar hak asasi dalam beribadah. Tetapi permintaan itu tidak digubris.

Yang terjadi justru jemaat diminta mengurus izin pendirian gereja.

“Kami harus membangun kedekatan dulu, kalau sudah dekat ada celah bisa mengurus izin, tapi tetap bisa ibadah selama itu.”

Sampai pada 1 April, Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika benar-benar menyegel gereja itu dengan alasan belum terpenuhinya bukti persetujuan bangunan gedung dan sertifikat layak fungsi.

Bupati Anne juga mengeklaim penutupan tempat itu sudah hasil kesepakatan Rapat Koordinasi Pemkab Purwakarta, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, Majelis Ulama Indonesia, Kantor Kementerian Agama, Forum Kerukunan Umat Beragama, Badan Kerjasama Gereja-gereja Purwakarta, dan perwakilan jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Penyegelan Gereja

 

Akan tetapi klaim tersebut dibantah Krisdian Saragih. Ia bercerita penyegelan itu dilakukan tanpa ada pemberitahuan resmi kepada pemilik tanah dan bangunan serta tak dihadiri perwakilan gereja.

Itu mengapa GKPS, sambungnya, menolak keputusan tersebut dan berencana melayangkan somasi ke bupati.

“Tiba-tiba viral di media sosial bahwa gedung itu disegel.”

Bupati Anne lalu menyarankan agar jemaat GKPS beribadah ke gereja lain semisal Gereja Isa Almasih.

Namun jemaat, menurut Krisdian, keberatan selain karena lokasinya jauh, tata cara ibadahnya juga berbeda.

Harapannya, mereka masih tetap dibolehkan merayakan ibadah Jumat Agung dan Paskah yang tinggal beberapa hari ini di gereja semi permanen itu.

Untuk diketahui, jemaat GKPS sekitar 60 orang.

“Kami harap bisa difasilitasi,” ujarnya.

Dilansir dari BBC, data Setara Institute menunjukkan sejak tahun 2007 hingga 2018 saja, terdapat 199 kasus gangguan beribadah pada umat Kristiani.

Bentuk gangguan itu, antara lain mencakup penyegelan gereja hingga intimidasi masyarakat.

Menurut Direktur riset SETARA Institute Halili, gangguan itu kerap terjadi sejak diberlakukannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Upaya Pemerintah Menyederhankan Aturan

Dalam regulasi tersebut diatur bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat

Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Diatur pula bahwa permohonan pendirian rumah ibadat harus diajukan kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.

Persetujuan masyarakat dan IMB ini, kata Halili, sering menjadi alasan penyegelan atau penolakan suatu rumah ibadah.

Padahal, kata Halili, seharusnya syarat-syarat administratif itu tidak menghapus hak konstitusional warga untuk beribadah.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas berencana menyederhanakan aturan syarat pendirian rumah ibadah. Rencana ini digulirkan sebagai respons atas beragam kejadian penolakan rumah ibadah yang menyebabkan kericuhan di sejumlah daerah.
Yaqut mengatakan syarat pendirian rumah ibadah nantinya cukup mendapatkan rekomendasi dari Kemenag saja. Aturan ini lebih simpel dari aturan lama yang membutuhkan rekomendasi lain dari pihak Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB) serta Kemenag.

Guna menindaklanjuti usulan ini, Yaqut memastikan Kemenag mengajukan agar dibuatkan peraturan presiden (Perpres) yang baru.

“Sekarang kami menghapus satu rekomendasi. Jadi di Perpres yang kami ajukan, rekomendasi hanya satu saja cukup dari Kemenag, jadi tidak ada FKUB. Karena seringkali semakin banyak rekomendasi semakin mempersulit,” kata Yaqut dalam Raker bersama Komisi VIII DPR, Senin (5/6).

Editor: Raja Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life