Bukan hanya dalam komunikasi vertikal dengan masyarakat, komunikasi di tingkat elit juga sarat dengan kepentingan. Koalisi tidak lagi dibangun atas dasar keselarasan ideologi dan platform partai, tapi atas kalkulasi kepentingan. Politik menjelma jadi pasar yang penuh dengan intrik transaksional demi menggaet keuntungan elektoral. Apalagi dengan diberlakukannya mekanisme presidential threshold dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden, di mana hanya partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, siapa pun yang ingin maju harus mendapatkan “tiket” dari partai–partai yang ada. Hak memberi tiket semacam ini membuat partai–partai politik bekerja serupa mesin peraih kekuasaan belaka. Di titik ini, koalisi terbentuk karena alasan pragmatis hasil negoisasi dari calon yang ingin mendapatkan tiket.
Komunikasi pada umumnya tidak pernah independen. Dia digerakkan dan diarahkan oleh maksud dan kepentingan tertertentu. Begitu juga dalam komunikasi politik yang dilakukan partai–partai politik. Komunikasi politik partai–partai di Indonesia umumnya dituntun oleh logika pasar dengan tujuan meraih kekuasaan semata. Metode komunikasi macam ini tentu saja membatalkan salah satu fungsi penting dari partai politik yaitu menggalakkan pendidikan politik bagi warga negara. Komunikasi politik bukannya mencerdaskan, malah menyesatkan publik.
Gun Gun Heryanto dalam bukunya Realitas Komunikasi Politik Indonesia Kontemporer mengatakan, komunikasi politik di Indonesia masih didominasi oleh pilihan agresivitas verbal yang mengarah ke emosi, dibanding pertarungan gagasan dan program yang membutuhkan argumentasi. Persoalan yang mengemuka dan ramai menjadi narasi kegaduhan tidaklah substansial melainkan baru sekedar memalingkan perhatian khalayak pada polemik dan kontroversi. Narasi kegaduhan tentu tidak selalu menguatkan kualitas demokrasi. Gelembung isu politiknya seringkali sekadar menjadi permainan panggung yang temporer. Padahal, kontestasi elektoral seharusnya bergerak ke arah yang lebih substansial yakni tawaran program dan gagasan. Namun, elit politik memilih untuk menjauh dari pertarungan gagasan dan program. Malah terjebak dalam politik pencitraan dengan intensi utamanya yakni mendongkrak elektabilitas dan popularitas kandidat.
Kontestasi elektoral absen dari pembicaraan tentang ide–ide konkret dan lebih sibuk memproduksi propaganda dan jargon politik. Sekalipun, berbicara tentang ide–ide populis seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, tidak ada partai yang berani mengakui terus terang bagaimana mereka akan membiayai pendidikan dan kesehatan gratis ini. Pembicaraan terjebak dalam kedangkalan.
EMBARKASI Surabaya akan memberangkatkan 106 kloter jamaah haji pada tahun 2024 dengan total 39.226 jemaah.…
PUSAT Pengendalian Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis pembaharuan data termutakhir banjir lahar…
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, mengacu data Bank Dunia (World Bank), Indonesia telah berhasil menurunkan…
Pemerintah Indonesia menargetkan sektor maritim mampu menyumbang 15% pada produk domestik bruto (PDB), tahun 2045…
UNIVERSITAS Negeri Yogyakarta (UNY) merayakan Dies Natalis ke-60. Untuk menyemarakkannya menggelar rangkaian kegiatan, salah satunya…
MENTERI Perdagangan RI, Zulkifli Hasan optimistis perdagangan Indonesia akan terus meningkat, termasuk dengan Selandia Baru.…