KDRT atau domestic violence masuk sebagai kekerasan berbasis gender (KBG) yang terjadi di ranah personal. Tahun 2023, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 339.782 kasus KBG. Pengamat sosial dan politik, Rocky Gerung menyebut, kondisi ekonomi masih berpotensi menjadi penyebab terjadinya KDRT.
“Sebetulnya secara pengamatan, angka itu naik terus dan itu bisa kita uji dulu apa penyebabnya. Kalau saya baca sepintas itu kebanyakan krisis ekonomi. Kemarahan di ruang publik dibawa ke dalam rumah tangga. Maka jadilah dia kekerasan dalam rumah tangga itu, yang sebenarnya tidak boleh terjadi,” ujarnya, ditemui di Jakarta (9/10).
Dikutip dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan kesejahteraan yang semakin rendah, memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Perempuan yang berasal dari rumah tangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar dibandingkan kelompok 25% terkaya.
Lebih lanjut, Rocky Gerung juga menyampaikan, pemerintah perlu menyorot penyebab awal terjadinya kasus KDRT. Kemarahan atas kondisi ekonomi disebut Rocky menjadi faktor sosiologi dari kasus KDRT itu sendiri.
“Frustasi dia itu mestinya dibaca sebagai protes terhadap ketidakmampuan pemerintah untuk menjamin stabilitas harga. Begitu sosiologinya. Tentu ada soal psikologi. Tapi, psikologi itu kan baru bekerja setelah ada kasus,” ujarnya lebih lanjut.
UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga. Ini juga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT dinilai belum bisa menurunkan kasus dalam negeri secara signifikan.
KDRT Remaja
Tidak hanya itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan.
Viral di sosial media, remaja putri inisial ANH yang masih berusia 16 tahun harus menjalani perawatan intensif usai dibakar suaminya, B pada 5 Oktober lalu. Sub Koordinator Hukum, Organisasi, dan Humas RSUP Adam Malik Medan, Rosario Dorothy menyampaikan, ANH mengalami luka bakar yang mencapai 13%.
“Pasien (ANH) memang dirawat di RS HAM. Ia mengalami luka bakar 13% di area wajah. Kondisi umum saat ini masih stabil. Telah dipasang alat bantu untuk manajemen jalan nafas. Kini, dia dirawat di ruang perawatan intensif khusus luka bakar,” jelasnya.
Korban dan tersangka KDRT merupakan pasangan muda di Jalan Sei Bilah, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pelaku berinisial B masih berusia 17 tahun. Kondisi rumah tangga keduanya diketahui tengah mengalami permasalahan. B sudah tidak tinggal satu rumah satu pekan sebelum kejadian.
B menyiram ANH dengan bensin dan melemparkan rokok ke arahnya. Tersangka B saat ini masih dalam pengejaran pihak kepolisian. Motif yang diduga melatarbelakangi pelaku nekat membakar ANH adalah kecemburuan. Peristiwa ini viral di sosial media dan mendapat kecaman dari masyarakat.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih kembali terjadi dan menjadikan istri sebagai korban. Laki-laki identik dengan yang mengeksploitasi alam. Kekuatannya diarahkan untuk menguasai dan menaklukkan alam sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Hal ini menyebabkan relasi kuasa dan eksploitasi antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan subordinasi perempuan.
Editor: Dimas Adi Putra/Raja H. Napitupulu